Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 30 September 2025 | 15:18 WIB
Eks Bupati Sleman Sri Purnomo saat memantau pelaksanaan UNBK. (Antara/Humas Pemkab Sleman)
Baca 10 detik
  • Kasus korupsi Dana Hibah Pariwisata 2020 menjadi sorotan sejak 2022 lalu
  • Tersangka yang ditetapkan adalah Sri Purnomo yang merupakan eks Bupati Sleman
  • Dana hibah yang harusnya disalurkan ke desa wisata justru juga diterima kelompok masyarakat wisata

SuaraJogja.id - Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman mengungkap besarnya kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi dana hibah pariwisata tahun 2020.

Nilainya mencapai lebih dari Rp10,9 miliar berdasarkan hasil audit resmi.

Kepala Kejari Sleman, Bambang Yunianto, menyampaikan bahwa audit tersebut dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DIY.

Hasil perhitungan itu diterbitkan melalui laporan resmi pada pertengahan 2024.

"Kerugian keuangan negara yaitu sebesar Rp10.952.457.030," kata Bambang, Selasa (30/9/2025).

Adapun Kejari Sleman telah menetapkan mantan Bupati Sleman periode 2010-2015 dan 2016-2021 Sri Purnomo sebagai tersangka dalam kasus ini.

Bambang mengungkap modus yang digunakan SP dalam kasus itu.

SP disebut memanfaatkan kewenangannya dengan cara menerbitkan aturan baru yang membuka celah penyimpangan.

Dipaparkan Bambang, SP menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 49 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Hibah Pariwisata.

Baca Juga: Modus Korupsi Eks Bupati Sleman Sri Purnomo: Perbup jadi Celah Penyimpangan Dana Hibah Pariwisata

Aturan itu diteken pada 27 November 2020, hanya beberapa bulan setelah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengeluarkan keputusan resmi mengenai pedoman hibah.

"Ada pun modus yang digunakan atau dilakukan oleh saudara SP adalah dengan menerbitkan Peraturan Bupati nomor 49 tahun 2020 tentang pedoman pemberian hibah pariwisata tanggal 27 November 2020," ucapnya

Perbup tersebut diduga digunakan SP untuk memperluas penerima hibah.

Bukan hanya desa wisata dan desa rintisan wisata yang diatur pemerintah pusat, melainkan juga kelompok masyarakat pariwisata lain.

Penyidik menilai langkah itu bertentangan dengan perjanjian hibah dan keputusan Kemenparekraf.

"[Aturan itu] mengatur tentang alokasi hibah dan membuat penetapan penerima hibah pariwisata, yaitu kelompok masyarakat di sektor pariwisata di luar desa wisata dan desa rintisan wisata yang telah ada," tandasnya.

Load More