Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 01 November 2025 | 15:25 WIB
Seminar nasional 'Disinformasi dan Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik' di UC UGM, Sabtu (1/11/2025). [Hiskia/Suarajogja]
Baca 10 detik
  • Tantangan media saat ini adalah menjaga kebenaran dan kepercayaan publik
  • Ketajaman dan kecerdasan audiens harus lebih tajam di era seperti sekarang
  • Ancamannya demokrasi tercoreng terhadap oknum yang sengaja memperkeruh isu

SuaraJogja.id - Gelombang disinformasi dan dominasi algoritma digital dinilai kian meresahkan.

Tidak hanya mengancam fondasi demokrasi tapi turut pula merusak ekosistem media di Indonesia.

Fenomena ini menjadi sorotan oleh sejumlah akademisi dan praktisi media dalam Seminar Nasional 'Disinformasi dan Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik' yang digelar di University Club (UC) Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (1/11/2025).

Para pembicara sepakat bahwa tantangan terbesar media hari ini bukan lagi sekadar produksi berita, melainkan menjaga kebenaran dan kepercayaan publik di tengah pusaran algoritma yang tak terprediksi.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, menilai ruang digital kini menjadi arena produksi dan reproduksi informasi tanpa batas.

"Media sosial makin banyak memproduksi dan mereproduksi apapun sebagai counter maupun kontestasi informasi," kata Arie.

Menurutnya, kecerdasan dan ketajaman audiens menjadi faktor kunci untuk menahan laju disinformasi.

Ia menekankan pentingnya memperkuat warga negara agar tetap cerdas dan kritis di tengah ruang informasi yang kian terbuka.

"Soal disinformasi dengan algoritma baru dan seterusnya, kecerdasan pembaca audiens itu sangat menjadi faktor kunci, bukan sekadar produsen informasi," tegasnya.

Baca Juga: Setahun Prabowo-Gibran: Kedaulatan Energi Nol Besar! Pengamat: Kebijakan Setengah Hati

Masa Sulit Bagi Media

Sementara itu, Aghnia Adzkia, jurnalis visual dan data BBC News Asia Pacific, menilai perkembangan era digital sekarang ini merupakan masa paling sulit bagi jurnalis.

"Di tengah gempuran AI dan ketidakpercayaan orang terhadap media dan tidak menganggap media sebagai sumber informasi reliable, ini menjadi masa yang paling sulit," ungkap Aghnia.

Namun persoalan ini tak bisa diselesaikan oleh jurnalis atau industri media semata. Melainkan perlu berbagai pihak untuk menghadapi gelombang disinformasi.

"Kita tidak bisa bergerak sendiri. Misalkan tingkatkan literasi digital, tingkatkan kolaborasi antar jurnalis, akademisi, praktisi, membuat sesuatu yang paling tidak meminimalisir adanya kesalahgunaan AI untuk penyebaran disinformasi," tandasnya.

Dari sisi industri media, Elin Y Kristanti, Executive Director Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), menyoroti bagaimana algoritma telah mengubah perilaku pembaca dan cara redaksi bekerja.

"Media kehilangan pembaca, pembaca masuk situs berita lewat sosmed atau Google," tutur Elin.

Pergeseran tersebut membuat media kini lebih menyesuaikan diri pada selera atau kepentingan algoritma.

Elin menjelaskan bahwa ketergantungan terhadap platform digital telah menciptakan situasi paradoks. Kini media berlomba mengejar page view demi revenue.

Namun di sisi lain justru kehilangan kepercayaan publik terhadap media itu sendiri.

Ia menegaskan bahwa tantangan terbesar industri media saat ini adalah memulihkan kepercayaan publik dan memastikan keberlangsungan media di masa depan.

"PR terbesar adalah mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan media masih ada di masa mendatang," tegasnya.

Sejumlah narasumber memberikan paparan saat Seminar nasional 'Disinformasi dan Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik' di UC UGM, Sabtu (1/11/2025). [Hiskia/Suarajogja]

Disinformasi dan Demokrasi

Pandangan senada diungkapkan Abdul Gaffar Karim, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.

Ia menilai disinformasi dan algoritma kini telah mengancam bahkan merusak fondasi demokrasi.

Demokrasi tak hanya dirusak lewat kecurangan saat pemilu saja. Melainkan ketika masyarakat tak lagi dapat membedakan fakta dan fiksi.

"Demokrasi rusak bukan hanya lewat kecurangan hari pemilu, melainkan lewat keruntuhan epistemik dalam kehidupan sehari-hari, ketika masyarakat tak mampu membedakan fakta dari fiksi," ucap Gaffar.

Menurut Gaffar, erosi kepercayaan publik dan penyempitan ruang sipil menjadi ancaman nyata di era industrialisasi misinformasi.

Industrialisasi misinformasi merupakan masalah besar masa kini.

Apalagi produksi konten palsu di internet sudah mencapai skala industri, bukan lagi hanya sebatas iseng.

Konten hiper-realistik seperti deepfake di rangkaian pemilu Asia-Pasifik 2024 bahkan mengikis kepercayaan publik pada institusi, dan sesama warga negara.

"Penyempitan ruang sipil seperti unggahan di media sosial kini digunakan sebagai bahan serangan-balik terhadap reputasi elemen masyarakat sipil," tandasnya.

Perlu Kolaborasi dan Tetap Kritis

Dari perspektif kebijakan, Fransiskus Surdiasis dari Komite Publishers Rights menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk memerangi disinformasi.

"Disinformasi, ini fenomena lama tapi terus meningkat dengan daya desak yang semakin mendesak," ujar Frans.

Ia menilai, meski ancaman disinformasi sudah diakui secara global, Indonesia belum siap menanganinya.

"Kalau disinformasi saat ini kita anggap sebagai bahaya yang terbesar, celakanya, banyak negara sebetulnya tidak siap menghadapi itu. Termasuk Indonesia," jelasnya.

Fransiskus mendorong pemerintah mengambil peran lebih besar dalam perang melawan disinformasi dengan strategi yang terstruktur, sistematis, dan berkesinambungan.

"Perang melawan disinformasi itu harus melibatkan banyak stakeholder. Tidak cukup hanya Komdigi," ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa kunci utama terletak pada masyarakat yang kritis.

"Pertahanan terbaik bagi literasi itu adalah masyarakat yang kritis," ujar dia.

Load More