Budi Arista Romadhoni
Rabu, 17 Desember 2025 | 16:24 WIB
Gubes UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah menyampaikan paparan dalam diskusi Menuju 1 Abad Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, Rabu (17/12/2025). [Suara.com/Putu]
Baca 10 detik
  • Menjelang satu abad perjuangan perempuan, keadilan gender masih terhambat oleh stigma kuat menyalahkan korban kekerasan.
  • Sebanyak 70 persen masyarakat beranggapan pakaian korban kekerasan adalah penyebab utama, menunjukkan kegagalan pemahaman gender.
  • Keterwakilan perempuan di DPR RI masih minim (21,9 persen), padahal penting untuk arah kebijakan strategis.

SuaraJogja.id - Menjelang satu abad perjuangan perempuan Indonesia pada 2028, kenyataan yang  pahit masih membayangi upaya panjang menuju keadilan gender.

Bilamana tidak, berbagai capaian hukum, kebijakan hingga representasi politik masih belum sepenuhnya mengubah cara pandang masyarakat terhadap perempuan di Indonesia.

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah dalam diskusi Menuju 1 Abad Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, Rabu (17/12/2025) menyatakan, salah satu indikator paling mencolok adalah masih kuatnya stigma terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

"Sekitar 70 persen masyarakat masih beranggapan perempuan menjadi korban kekerasan karena cara berpakaian mereka. Itu menunjukkan bahwa keadilan gender belum benar-benar dipahami," tandasnya.

Menurut Alimatul, data menunjukkan kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, terutama pada rentang usia 25–40 tahun, sementara kekerasan dalam pacaran banyak terjadi pada usia 18–24 tahun. Masih terdapat kecenderungan menyalahkan korban, termasuk anggapan pakaian perempuan menjadi penyebab kekerasan seksual.

Pelaku kekerasan sering kali justru berasal dari orang-orang yang seharusnya melindungi. Sebut saja  guru, dosen, tokoh agama, pejabat publik, tenaga medis, dan aparat penegak hukum.

Kondisi tersebut menunjukkan perjuangan perempuan selama hampir 100 tahun belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan. Tanpa langkah-langkah konkret, maka penderitaan perempuan akan terus berulang.

Padahal Yogyakarta memiliki posisi historis dan strategis sebagai salah satu pusat lahirnya gerakan perempuan Indonesia. Namun, posisi tersebut harus diikuti dengan gerakan nyata yang berdampak langsung pada kesejahteraan perempuan, baik di ranah sosial, ekonomi, maupun politik. 

"Perjuangan perempuan tidak bisa berjalan sendiri. Melainkan harus dilakukan secara berdampingan antara perempuan dan laki-laki dalam relasi yang setara," ungkapnya.

Baca Juga: Di Tangan Perempuan, Keris Bicara Tentang Lingkungan dan Kesetaraan Gender

Anggapan  pakaian, sikap, atau pilihan hidup perempuan menjadi penyebab kekerasan yang masih saja muncul saat ini, lanjut Alimatul, mencerminkan kegagalan kolektif dalam memahami keadilan gender.

Stigma yang  lahir dari konstruksi sosial yang panjang, mulai dari pendidikan, media, hingga tafsir keagamaan menunjukkan belum sepenuhnya keadilan berpihak pada perempuan. Mestinya tafsir agama tidak boleh dijadikan pembenar kekerasan. 

"Jika suatu tafsir justru melahirkan ketimpangan dan kekerasan terhadap perempuan, maka tafsir itu harus ditinjau ulang. Keadilan dan kemaslahatan adalah tujuan utama,” katanya.

Menjelang peringatan 100 tahun perjuangan perempuan pada 2028, Alimatul mengingatkan sejarah panjang gerakan perempuan tidak boleh berhenti sebagai perayaan simbolik. Sejarah seharusnya menjadi dasar untuk memperbaiki kebijakan, pendidikan, dan kesadaran publik. 

"Jika tidak, penderitaan perempuan hanya akan terus diwariskan dari generasi ke generasi," tandasnya.

Sementara itu, GKR Hemas, Anggota DPD RI, mengungkapkan kuatnya gerakan perempuan harus diiringi dengan keberpihakan kebijakan. Ia menyebutkan saat ini terdapat 55 perempuan yang menjadi anggota DPD RI atau sekitar 36,2 persen, bahkan di satu provinsi keterwakilan perempuan telah mencapai 70 persen. 

Load More