- Gelar pahlawan untuk Presiden RI ke-2 Soeharto menjadi polemik
- Akademisi UGM mengingatkan terkait masa lalu Orde Baru
- Surat penolakan penyematan gelar pahlawan untuk Soeharto dikirimkan ke pemerintah
SuaraJogja.id - Penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kian meluas.
Kini penolakan itu datang dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum (FH) UGM dan Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM.
Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman menilai langkah pemerintah itu sebagai kemunduran moral dan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998.
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, keputusan Menteri Sosial Saifullah Yusuf yang mengusulkan nama Soeharto sebagai calon pahlawan nasional bersama 39 tokoh lainnya menjadi sorotan.
Usulan tersebut, kata Herlambang, disetujui oleh Fadli Zon selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tanpa adanya kajian kritis dari parlemen.
"Tidak ada proses kritis dari parlemen mengenai penilaian utuh terhadap Soeharto mengenai begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia [HAM] yang ditimbulkannya semasa rezim Orde Baru," kata Herlambang, dikutip, Jumat (7/11/2025).
Menurutnya, penganugerahan gelar itu sama saja dengan menegaskan budaya impunitas dan menutupi kejahatan masa lalu yang belum terselesaikan.
"Tindakan pemberian penghargaan pahlawan bagi Soeharto sama halnya dengan memperkuat politik impunitas, absennya pertanggungjawaban hukum, termasuk gagalnya peradilan untuk Soeharto yang terlibat dalam kejahatan hak asasi manusia," ujarnya.
Menurut Herlambang, otoritarianisme Soeharto selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru telah menimbulkan kerusakan mendalam, baik secara politik maupun sosial.
Baca Juga: Kasus Narkoba Onad: Psikolog UGM Tegaskan Keluarga Kunci Pencegahan, Bukan Hanya Hukum
Ia menyebut Soeharto bukan hanya bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Lebih dari itu, juga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar.
"Soeharto terlibat dalam pusaran korupsi, kolusi, dan praktik nepotisme [KKN] yang merusak pembangunan dan melahirkan kemiskinan struktural yang menyebabkan ketidakadilan sosial yang dampaknya masih bisa dirasakan hingga sekarang," ungkapnya.
Herlambang turut menilai langkah ini bukan sekadar penghargaan sejarah.
Melainkan manuver politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan yang bersandar pada militerisme.
"Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto jelas menunjukkan untuk legitimasi rezim militerisme Prabowo Subianto, yang telah dimulai dengan ditekennya Revisi UU TNI dan resentralisasi struktur ekonomi-politik dewasa ini," ujarnya.
Melalui surat terbuka itu, Herlambang menyampaikan sikap resmi Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Dewan Mahasiswa Justicia, serta sejumlah jejaring akademik dan mahasiswa di UGM.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
- Siapa Saja 5 Pelatih Tolak Melatih Timnas Indonesia?
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Pilihan Sunscreen Wardah dengan SPF 50, Efektif Hempas Flek Hitam hingga Jerawat
- Siapa Shio yang Paling Hoki di 5 November 2025? Ini Daftar 6 yang Beruntung
Pilihan
-
PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
-
Menkeu Purbaya Segera Ubah Rp1.000 jadi Rp1, RUU Ditargetkan Selesai 2027
-
Menkeu Purbaya Kaji Popok Bayi, Tisu Basah, Hingga Alat Makan Sekali Pakai Terkena Cukai
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
-
Bisnis Pizza Hut di Ujung Tanduk, Pemilik 'Pusing' Berat Sampai Berniat Melego Saham!
Terkini
-
Keracunan Massal Makan Bergizi Gratis di Jogja, 8 Dapur Ditutup, Pemda Bentuk Satgas
-
Libur Nataru di Jogja, Taman Pintar Hadirkan T-Rex Raksasa dan Zona Bawah Laut Interaktif
-
Nyeri Lutut Kronis? Dokter di Jogja Ungkap Rahasia UKA: Pertahankan yang Baik, Ganti yang Rusak
-
Target Tinggi PSS Sleman di Kandang Barito: Bukan Sekadar Curi Poin
-
Mahasiswi UNY Gandeng Gitaris Jikustik Ciptakan 'Balada Rasa': Debut yang Menusuk Kalbu