Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 07 November 2025 | 23:10 WIB
Para aktivis dari sejumlah organisasi dan masyarakat sipil saat mengikuti Aksi Kamisan ke-885 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (6/11/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Gelar pahlawan untuk Presiden RI ke-2 Soeharto menjadi polemik
  • Akademisi UGM mengingatkan terkait masa lalu Orde Baru
  • Surat penolakan penyematan gelar pahlawan untuk Soeharto dikirimkan ke pemerintah

SuaraJogja.id - Penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kian meluas.

Kini penolakan itu datang dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum (FH) UGM dan Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman menilai langkah pemerintah itu sebagai kemunduran moral dan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998.

Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, keputusan Menteri Sosial Saifullah Yusuf yang mengusulkan nama Soeharto sebagai calon pahlawan nasional bersama 39 tokoh lainnya menjadi sorotan.

Usulan tersebut, kata Herlambang, disetujui oleh Fadli Zon selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tanpa adanya kajian kritis dari parlemen.

"Tidak ada proses kritis dari parlemen mengenai penilaian utuh terhadap Soeharto mengenai begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia [HAM] yang ditimbulkannya semasa rezim Orde Baru," kata Herlambang, dikutip, Jumat (7/11/2025).

Menurutnya, penganugerahan gelar itu sama saja dengan menegaskan budaya impunitas dan menutupi kejahatan masa lalu yang belum terselesaikan.

"Tindakan pemberian penghargaan pahlawan bagi Soeharto sama halnya dengan memperkuat politik impunitas, absennya pertanggungjawaban hukum, termasuk gagalnya peradilan untuk Soeharto yang terlibat dalam kejahatan hak asasi manusia," ujarnya.

Menurut Herlambang, otoritarianisme Soeharto selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru telah menimbulkan kerusakan mendalam, baik secara politik maupun sosial.

Baca Juga: Kasus Narkoba Onad: Psikolog UGM Tegaskan Keluarga Kunci Pencegahan, Bukan Hanya Hukum

Ia menyebut Soeharto bukan hanya bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Lebih dari itu, juga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar.

"Soeharto terlibat dalam pusaran korupsi, kolusi, dan praktik nepotisme [KKN] yang merusak pembangunan dan melahirkan kemiskinan struktural yang menyebabkan ketidakadilan sosial yang dampaknya masih bisa dirasakan hingga sekarang," ungkapnya.

Herlambang turut menilai langkah ini bukan sekadar penghargaan sejarah.

Melainkan manuver politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan yang bersandar pada militerisme.

"Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto jelas menunjukkan untuk legitimasi rezim militerisme Prabowo Subianto, yang telah dimulai dengan ditekennya Revisi UU TNI dan resentralisasi struktur ekonomi-politik dewasa ini," ujarnya.

Melalui surat terbuka itu, Herlambang menyampaikan sikap resmi Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Dewan Mahasiswa Justicia, serta sejumlah jejaring akademik dan mahasiswa di UGM.

Load More