Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 02 November 2025 | 19:00 WIB
Para mahasiswa berlatih membatik bersama pembatik tradisional Giriloyo, Minggu (2/11/2025). [Kontributor Suarajogja/Putu]
Baca 10 detik
  • Perajin Batik Tulis Giriloyo Bantul terus mempertahankan idealisnya
  • Dilematis sebagai pembatik di era saat ini diuji penuh
  • Pembatik dan industri terus berkolaborasi untuk bisa diterima masyarakat di setiap masa

SuaraJogja.id - Di tengah derasnya arus industrialisasi dan kemunculan batik printing yang kian mendominasi pasar, para perajin batik tulis di Giriloyo, Wukirsari, Bantul, masih teguh mempertahankan idealisme mereka.

Dengan tangan yang terampil dan hati yang sabar, para perempuan pembatik berjuang menjaga warisan budaya sekaligus menegakkan kemandirian ekonomi tanpa bergantung pada juragan.

"Dulu kami hanya buruh yang menjual hasil batik ke kota lewat juragan. Setelah gempa 2006, kami belajar banyak dari pelatihan yang difasilitasi LSM, mulai dari desain, pewarnaan, sampai pemasaran. Sekarang kami bisa menjual sendiri lewat koperasi," tutur Amiroh, salah satu pembatik senior sekaligus anggota Tim Desa Batik Giriloyo dalam Summer Course FKKMK UGM Yogyakarta, Minggu (2/11/2025).

Mak Miroh, sapaan Amiroh mengenang masa-masa sulit ketika para pembatik hanya menerima upah separuh dan harus menunggu lama untuk dibayar lunas.

Kini, lewat koperasi yang berdiri sejak 2018, mereka mampu mengelola produksi dan penjualan secara mandiri.

Di balik keberhasilan Giriloyo sebagai salah satu sentra batik tulis tertua di Yogyakarta, ada perjuangan panjang para perempuan pembatik.

Sebagian besar dari mereka memulai sejak usia sekolah dasar, bekerja di rumah-rumah juragan di kota, lalu kembali ke kampung halaman untuk membangun koperasi sendiri.

"Kami sekarang tidak menunggu juragan datang. Kami memproduksi, menjual, bahkan menerima tamu langsung ke galeri kami," ungkapnya.

Kerja keras tersebut akhirnya berbuah manis. Satu kain batik tulis yang dulu dihargai Rp150 ribu kini bisa mencapai Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta tergantung tingkat kerumitan motifnya.

Baca Juga: Dari Kirab Kampung Hingga Pernikahan Anak Presiden: Kisah Sukses Pemuda Jogja Lestarikan Budaya Lewat Prajurit Rakyat

"Dulu membatik hanya sampai tahap pelilinan, proses pewarnaan dan finishing dikerjakan di kota. Sekarang kami mengerjakan semuanya sendiri, dari awal sampai akhir," jelasnya.

Namun kemandirian itu datang dengan tantangan baru, yakni risiko kesehatan akibat paparan bahan kimia pewarna.

Limbah batik, terutama dari zat pewarna sintetis dan minyak tanah yang digunakan untuk memanaskan malam, berpotensi mencemari lingkungan sekaligus membahayakan para pembatik yang setiap hari bersentuhan langsung dengan bahan tersebut.

"Tapi setelah kami mandiri buka koperasi, akhirnya ada pelatihan untuk mengurangi gatal-gatal karena bahan kimia," sebut dia.

Sementara tim Desa Batik Giriloyo, Tiyastiti Suraya mengungkapkan sejak mandiri memiliki koperasi, para perajin batik memikirkan bagaimana mengelola limbah.

Di desa wisata tersebut ada instalasi pengolahan air limbah terpadu (IPAL) sehingga tidak ada pembuangan ke sungai atau sawah.

Load More