- Bu Isah Ponirah memikul 50 kg di Pasar Beringharjo untuk menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah.
- Mbah Giyah (80 tahun) masih bekerja menggendong karena senang berkumpul dengan rekan sesama profesi.
- Yayasan Yasanti telah memberdayakan buruh gendong melalui pelatihan negosiasi tarif dan keterampilan usaha.
SuaraJogja.id - Punggung Isah Ponirah tetap tegak setiap menyambut pembeli. Padahal, sehari-hari ia memikul beban seberat 50 kilogram, menembus lorong-lorong Pasar Beringharjo yang padat merayap.
Bermodalkan keranjang anyaman dan kain jarit, bu Isah, begitu sapaannya, terbiasa berjalan ratusan meter, kadang mencapai 1 kilometer, untuk sekali jasa menggendong. Profesi ini sudah dijalaninya selama 15 tahun.
"Kalau saya dulunya sekali gendong itu Rp3 ribu untuk 50 kilogram dari lantai 2 sampai lantai atas tempat parkiran. Tapi alhamdulilah sekarang sudah (diupah) Rp5 ribu untuk 50 kilogram," ucap bu Isah dengan senyum tulusnya kepada Suara.com.
Rumahnya berada di Kulon Progo. Untuk mencapai Pasar Beringharjo, bu Isah setiap hari menempuh perjalanan 20 kilometer dengan ongkos pulang pergi Rp20 ribu.
Setiap langkahnya menjadi asa bagi keluarganya. Dengan penghasilan tak menentu, bu Isah menjadikan punggungnya sebagai tulang punggung 3 anaknya yang masih sekolah.
"Saya memilih menjadi buruh gendong karena kalau ada yang memakai jasa kita itu langsung terima uang. Jadi saya pulang dari Beringharjo itu sudah bawa uang untuk sangu (uang jajan) anak saya sekolah besok," katanya.
"Penghasilan kita tidak menentu. Kalau ada yang memakai jasa kita banyak, kita itu pulang bawa uang. Kalau tidak ya paling sedapatnya, kadang dapat Rp30 ribu, dapat Rp40 ribu, dapat Rp50 ribu. Nanti ongkos pulang pergi saya itu Rp20 ribu," sambungnya.
Untuk menambal keuangan keluarga, bu Isah juga bekerja sambilan. Ia membawa aneka dagangan dari rumah untuk dikelilingkan di Pasar Beringharjo.
"Saya selain menggendong, saya juga punya kerja sampingan. Misalnya dari rumah ada pisang, ada apa gitu dibawa ke sini. Jadi kalau gak laku gendongnya, kita bisa jualan di sini. Kadang malam buat snack itu nanti paginya dikelilingkan di sini," tambahnya.
Baca Juga: Menjaga Nada dari Pita: Penjual Kaset Terakhir di Beringharjo yang Bisa Kuliahkan Tiga Anaknya
Rasa pegal dan lelah sudah menjadi makanan sehari-harinya, bahkan terkadang tidak terlalu dirasakannya. Jamu dan tukang urut pun menjadi obat mujarab.
"Ya kadang kalau capek-capek itu kita itu cuma bikin jamu, jamu bikinan sendiri itu seperti temulawak atau jahe. Ya mungkin kalau capek banget itu kita ke tukang pijat, ke tukang urut," kata bu Isah.
Sejak 2010 menjadi buruh gendong, bu Isah jarang tidak masuk kerja. Yang menjadi masalah ketika kecelakaan kerja menghampirinya. Di masa lalu, ia pernah terpeleset kala membawa beban 50 kilogram di punggungnya.
"Kalau di sini, buruh gendong itu setiap hari itu berangkat. Liburnya itu semisal kalau sakit, atau di pasar itu bisa keseleo atau jatuh. Saya pernah saya jatuh menggendong berat 50 kilogram, saya kepleset saya tidak masuk hampir seminggu karena kaki saya itu sakit," ceritanya.
Terlepas dari bahaya yang mengancam, profesi buruh gendong dijalaninya dengan penuh rasa bangga. Tiada kata malu di hatinya. Bu Isah sukses menjadi buruh gendong berdaya berkat pelatihan-pelatihan dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti).
"Saya enggak malu. Saya itu malah bangga menjadi buruh gendong. Saya di sini ikut paguyuban. Buruh gendong kan ada pendamping Yasanti. Nah, dari Yasanti itu saya mendapatkan pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman yang belum pernah saya alami," tutur bu Isah.
Meski pendidikan terakhir sekolah menengah pertama, tetapi rasa bangga bu Isah membuncah saat ia sanggup mewakili buruh gendong se-Daerah Istimewa Yogyakarta di luar negeri.
"Saya kan gak sekolah, bekalnya terakhir sekolah SMP. Jadi pengalaman dan pengetahuan saya dari Yasanti. Saya bangga tahun 2024 diutus Yasanti ke luar negeri untuk mewakili buruh gendong di Jogja. Saya bangga. Saya gak malu," tandas bu Isah.
Usia Senja Tanpa Jaminan: Mbah Giyah Giat Menggendong di Umur 80 Tahun
Di usia 80 tahun, mbah Giyah masih semangat menggendong. Badannya terlihat sehat dan bugar. Sehari-hari beliau mampu mengangkat beban 25 kilogram di punggungnya yang telah renta.
Alasan mbah Giyah masih menikmati menjadi buruh gendong ternyata sangat sederhana: ia bahagia berjumpa teman-teman satu profesi di Pasar Beringharjo.
"Saya senang kalau masih di pasar. Kalau di rumah nanti cuma gimana ya, gak ada kerjaan lainnya. Senang di pasar, gak dapat uang banyak tapi senang ketemu sama teman-teman," ungkap mbah Giyah kepada Suara.com.
Sang cucu sebenarnya telah mewanti-wantinya untuk beristirahat di rumah. Namun tentu saja, mbah Giyah menolaknya. Kesenangan menggendong sudah mendarah daging dan menjalar ke nadinya.
"(Keluarga) memperbolehkan. Aku itu sudah disuruh sama cucu, 'Mbok, nek wes kesel yo ning omah wae, rasah kerja (Nek, kalau sudah capek ya di rumah saja, tidak usah kerja). Tapi saya belum mau. Aku masih senang kerja," ucap mbah Giyah dengan ceria.
Hebatnya, mbah Giyah dulu hampir tidak pernah merasa pegal-pegal. Rasa capek baru terasa di usia senja. Padahal, beban yang diangkutnya tidak main-main.
"Ya kira-kira cuma 25 kilogram. Kalau dari atas ke bawah menggendong 25 kilogram masih kuat. Tapi kalau dari bawah ke atas, paling 15 kilogram ya mau, kalau berat ya gak mau. Kalau dulu 1 kwintal kuat. Satu karung gula pasir, dulu saya satu karung mau," kenang Mbah Giyah.
Sama seperti bu Isah, mbah Giyah juga pernah mengalami kecelakaan kerja sepanjang menjadi buruh gendong. Masalahnya sama: kepleset.
"Saya pernah jatuh waktu gendong. Tapi masih baru berapa tahun di sini, masih ada pasar lama. Saya kan bawa semen 2 sak, saya kepleset kulit mangga saat membawa 2 sak semen, terus jatuh. Terus saya masuk rumah sakit. Tapi kejadian sudah lama sekali," kisah mbah Giyah.
Ironinya, di usia renta ini, mbah Giyah justru tidak bisa mendapatkan akses perlindungan berupa BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Ini karena usianya sudah menginjak 80 tahun, yang mana seharusnya beliau dikategorikan telah pensiun.
"Sekarang itu saya sudah tidak ada BPJS. Dulu ya ikut paguyuban itu, tapi kan saya sudah tua jadi gak boleh. Jadi sekarang udah gak punya aku. Kalau dulu iya punya. Sekarang kalau sudah di atas 50 tahun ke atas sudah gak boleh," aku mbah Giyah.
Meski demikian, mbah Giyah tetap tersenyum penuh syukur, sambil mengaku sudah tidak pernah mengalami kecelakaan kerja lagi. Ia pun menitipkan harapannya kepada pemerintah.
"Iya bayar sendiri kalau ke rumah sakit. Ya alhamdulilah aku ndak pernah ke rumah sakit. Alhamdulilah. Harapan ke pemerintah yang pemerintahnya itu harus peduli sama yang gak punya-punya gitu lah," ucapnya.
Upaya Yasanti Memberdayakan Buruh Gendong di Jogja
Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) adalah organisasi perempuan pertama di Indonesia. Didirikan pada tahun 1982, Yasanti bertumbuh menjadi yayasan pelindung kaum buruh gendong.
Kisah kedekatan Yasanti dengan buruh gendong berawal dari penelitian sekumpulan mahasiswa pada 1980. Dari situlah, tumbuh bibit-bibit kepedulian Yasanti kepada buruh gendong.
"Hasil penelitian itu kondisinya memprihatinkan. Jadi kita berpikir kalau mereka hanya menjadi konsumsi penelitian, kita tidak bisa membantu mereka. Maka kita assesment lagi, pendekatan lagi ke kos buruh gendong, ke rumahnya, dan ke pasar. Bagaimana kalau kita bikin kegiatan bareng-bareng," terang Direktur Yasanti, Nadlrotussariroh kepada Suara.com.
Kegiatan bersama pun dimulai. Buruh gendong menginginkan belajar baca tulis dan mengaji. Kegiatan ini diusahakan ada oleh Yasanti melalui mahasiswa hingga sukarelawan mereka. Sampai akhirnya, berdirilah Yasanti yang giat memberdayakan buruh gendong Yogyakarta.
Sejauh ini, buruh gendong tidak hanya berada di Pasar Beringharjo, tetapi juga tersebar di Pasar Giwangan, Pasar Gamping, dan Pasar Kranggan.
"Di Beringharjo itu ada 200 buruh gendong, di Giwangan ada sekitar 135 buruh gendong, di Gamping 40 buruh gendong, di Kranggan 10 buruh gendong karena beberapa sudah meninggal. Masing-masing pasar punya organisasi. Jadi Paguyuban Sayuk Rukun Buruh Gendong itu ada di masing-masing pasar," jelas Sariroh.
Melalui paguyuban, buruh gendong bersatu mengikuti aneka ragam pelatihan dari Yasanti. Sebut saja pelatihan gender, keterampilan, kepemimpinan, hingga penguatan ekonomi.
"Kita juga mengajari bagaimana dia bisa bernego dengan pemberi kerja. Kalau tadinya hanya dikasih seribu dua ribu, bagaimana biar kalian berani nego? Kita juga ada pelatihan public speaking, advokasi untuk mereka. Jadi dengan itu, mereka sekarang sudah mampu bernego dengan pemberi kerja," tambahnya.
Sebagai contoh, buruh gendong sekarang sudah membuat kesepakatan tarif menggendong. Untuk 1 lantai, sekali gendong tarifnya Rp10 ribu. Jika membutuhkan naik tangga, maka tarif naik menjadi Rp13 ribu.
Menurut Sariroh, keberanian buruh gendong untuk bernegosiasi dengan pemberi kerja bukan sesuatu yang terjadi secara instan, melainkan harus melewati proses panjang yang berdarah-darah.
Keluhan buruh gendong yang sering berseliweran adalah pasar sepi. Mendengar ini, Yasanti berusaha membantu dengan memberikan pelatihan agar buruh gendong berdaya untuk berusaha, tidak serta merta mengandalkan penghasilan dari menggendong.
"Kita coba cari cara bagaimana dia bisa belajar berusaha. Maka kita panggilkan narasumber yang berpengalaman dalam usaha biar memberikan motivasi kepada mereka. Kemudian ada sekarang buruh gendong yang sudah melakukan usaha itu. Kita melakukan pelatihan seperti pelatihan digital marketing," ujar Sariroh.
Sayangnya, kepedulian pemerintah terhadap buruh gendong masih terbatas. Tidak ada dana bantuan yang tersalurkan dari pemerintah.
Pedihnya, selama 10 tahun memperjuangkan toilet gratis, baru tahun ini buruh gendong berhasil mendapatkan haknya: sebuah kartu untuk masuk toilet secara gratis di Pasar Beringharjo.
Refleksi Hari Ibu: Buruh Gendong adalah Pahlawan Keluarga
Sebagai ibu, buruh gendong harus membagi waktunya untuk bekerja dan mengurus rumah tangga. Tak terkecuali bu Isah.
Dia menceritakan kondisi rumah tangganya setelah bekerja selama 9 jam setiap hari. Beruntungnya, bu Isah memiliki sosok suami yang mau ikut membantu pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan menyapu rumah.
Dalam memperingati Hari Ibu, bu Isah membagikan refleksinya. Baginya, Hari Ibu merupakan momentum untuk menghormati dan mengapresiasi peran ibu yang membentuk diri kita menjadi seorang manusia seperti hari ini.
Secara pribadi, bu Isah juga mengungkapkan rasa bangganya menjadi ibu dari 3 anaknya. Asanya hanya membesarkan anak-anak dalam kondisi sehat, kuat, dan sabar.
"Saya bangga dan saya senang menjadi seorang ibu. Ya walaupun anak-anak saya itu tidak setinggi kuliah itu, tetapi saya juga bangga karena anak-anak saya juga bisa sekolah. Saya juga bisa membantu suami untuk mencari tambahan ekonomi keluarga," ungkapnya.
"Saya berterima kasih kepada Allah yang telah memberikan kekuatan, kesehatan, serta kesabaran kepada saya sehingga saya bisa bertahan menjadi ibu hingga saat ini. Saya bersyukur bisa menjadi ibu," pungkas bu Isah.
Di sisi lain, mbah Giyah merefleksikan Hari Ibu dengan lebih sederhana nan tulus.
"Simbah pesannya cuma gini, semoga semuanya sukses, lancar, dan apa yang dibutuhkan sama ibu-ibu itu kesampaian," ucap mbah Giyah.
Sebagai ibu, asa mbah Giyah hanya satu: berharap masih diberi kekuatan untuk terus berjalan. Sosoknya begitu mencintai menggendong, serta teman-temannya di pasar.
"Kalau harapan saya, kalau saya masih kuat jalan itu ya masih senang di pasar. Kalau di rumah nanti ya cuma keluar masuk rumah, ndak nanti malah stroke. Kalau di pasar kan senang ketemu sama teman-teman," ucap mbah Giyah sambil tertawa lebar.
Sementara itu, makna Hari Ibu begitu mendalam di mata Sariroh selaku Direktur Yasanti. Secara bijak, ia memandang buruh gendong sebagai pahlawan keluarga yang wajib dipedulikan di Hari Ibu.
"Ya ibu itu tidak sekadar menjadi ibu dari anaknya. Ibu itu kadang-kadang menjadi ibu bagi sekitarnya. Kayak buruh gendong itu, buruh gendong itu adalah pahlawan keluarga. Itu kalau mau hari ibu, dia harus diutamakan karena dia yang mencari nafkah," ungkapnya.
Sariroh mengisahkan ada beberapa buruh gendong yang sukses mengantar anak mereka menjadi sarjana. Ini menjadi bukti bahwa buruh gendong adalah perempuan hebat sekaligus perempuan berdaya.
"Buruh gendong menjadi teladan bagi perempuan-perempuan yang lain. Kalau saya, Hari Ibu tidak sekadar jadi hari ibu, tetapi menjadi perempuan yang berdaya, perempuan yang bisa berjuang untuk memperjuangkan kaumnya," pungkas Sariroh.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
Pilihan
-
Luar Biasa! Jay Idzes Tembus 50 Laga Serie A, 4.478 Menit Bermain dan Minim Cedera
-
4 Rekomendasi HP OPPO Murah Terbaru untuk Pengguna Budget Terbatas
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
Terkini
-
3 Pendaki Ilegal Masuk Gunung Merapi, Satu Berhasil Selamat, Dua Masih Dicari
-
Banjir Merenggut Sawah dan Rumah, Mahasiswa Sumatera dan Aceh di Jogja Berjuang Bertahan Hidup
-
3.000 Personel Gabungan Diterjunkan Amankan Nataru, Siagakan 20 Pos Operasi Lilin Progo 2025
-
Lewat Jalan Sehat, BRI Group Himpun Dana Kemanusiaan untuk Pemulihan Sumatra
-
4 Link Saldo DANA Kaget Bisa Bikin Wisata Akhir Tahun Makin Cuan!