SuaraJogja.id - Laki-laki bertubuh kurus dengankulit sawo matang mengayuh sepedanya menuju ke komplek makam sewu. Sarung yang ia kenakan tak sedikitpun menyulitkannya dalam mengayuh sepeda tuanya.
Matahari tepat berada diatas kepala saat pria bernama Wahono itu tiba di halaman makam sewu. Sejenak ia merapikan baju koko, sarung dan pecinya sebelum memasuki masjid yang tak jauh dari komplek pemakaman.
Wohono memang sering mengimami jamaah masjid makam sewu. Ia juga yang memimpin witir dan doa seusai sholat. Seusai salat, ia menaiki tangga menuju makam Panembahan Bodho, seorang tokoh masyarakat yang menyebarkan agama islam di kawasan Wijirejo, Pandak, Bantul.
"Ya kalau siang itu jamaah di masjid terus nyapu-nyapu di makam," kata Wahono Senin (27/4/2020).
Baca Juga:Partai Berkuasa dan Pengacara Turki Ributkan Ceramah Ulama Soal Homoseksual
Sebagai juru kunci makam sewu, Wahono memiliki kewajiban senantiasa menjaga kondisi makam. Tiap harinya, ia menyapu area makam Panembahan Bodho. Bersama dengan belasan warga lainnya, ia mengelola makam salah satu murid Sunan Kalijaga tersebut.
Profesi tersebut telah ia jalani selama 17 tahun lalu, sejak usianya masih kepala empat. Ia dipercaya oleh pengurus makam untuk mengisi posisi juru kunci. Orang yang mengisi posisi tersebut sebelumnya sudah pikun termakan usia.
Bertugas sebagai juru kunci, Wahono setidaknya harus memahami sejarah makam Panembahan Bodho sebagai tokoh yang disegani masyarakat Wijirejo. Selain itu, ia juga harus memiliki pengetahuan agama seperti memimpin tahlil dan doa.
"Yang pasti dilihat itu kemampuan agamanya, mengimami jamaah, mimpin doa," tuturnya.
Makam Panembahan Bodho selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah di Indonesia. Selain kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam di Bantul, istri Panembahan Bodho, Nyai Brintik merupakan tokoh yang terkenal berpengaruh di kawasan Muntilan, Sleman.
Baca Juga:Catat! Ini 16 Check Poin Selama PSBB Surabaya Raya di Sidoarjo
Setiap Senin Pon, Selasa Kliwon, dan Jumat Kliwon komplek makam sewu selalu dipenuhi peziarah yang datang untuk berdoa. Terutama pada bulan Ruwah menjelang Ramadan, jumlah peziarah bisa mencapai ribuan orang.
Saat para peziarah berdatangan, Wahono harus selalu siaga untuk membantu. Terutama bagi mereka yang baru kali pertama datang ke makam sewu. Terkadang, ia diminta untuk mengantar berkeliling atau juga memimpin doa para tamu yang datang.
Bahkan dalam kegelapan malam hingga dini hari, saat ponselnya berdering Wahono akan datang melayani para peziarah. Nomor telfonnya sebagai guru kunci juga terpasang besar di pos penjagaan untuk memudahkan para peziarah menghubunginya.
"Kalau dulu ya pada nyari ke rumah itu. Kadang pada kesulitan. Sekarang sudah ada hape, tinggal telfon saja," tukasnya.
Sama seperti masyarakat Indonesia lainnya, bagi Wahono, Ramadan kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kehadiran wabah corona sebagai tamu yang tak diinginkan turut membawa dampak pada aktivitas di makam sewu.
Pemerintah desa setempat memasang spanduk besar di halaman makam sewu, sebuah himbauan agar segala aktivitas di makam sewu ditunda. Begitu pula hari ini (27/4/2020), beberapa peziarah yang datang juga diminta pulang kembali.
Masjid yang berada di komplek pemakaman masih menyelenggarakan salat fardhu dan tarawih dengan jamaah yang terbatas dan berjarak. Wahono masih rutin pergi ke makam untuk membersihkan pasarean tersebut.
Wahono menangkupkan kedua tangannya, dengan mata terpejam ia berdoa disamping pusara Panembahan Bodho. Bibirnya basah akan kalimat pujian kepada Tuhan dan doa-doa baik agar wabah ini segera berakhir.