“Sampai direbus ternyata airnya aneh dan warnanya tidak bisa bening, kasihan santri waktu itu,” kenang Mbah Illah.
Namun, kesulitan mendapatkan air tidak memutuskan langkah Mbah Illah untuk tetap menyajikan makanan pagi para santri Nurul Qur’an Patuk. Tekadnya sudah bulat bahwa hanya keberkahan yang akan diburu selama sisa hidupnya.
Kini Mbah Illah sangat bersyukur, anaknya yang terakhir juga bisa melanjutkan sekolah SMK setelah anak pertamanya hanya selesai di bangku SMP karena terkendala biaya. Keikhlasannya menjadi modal utama untuk melanjutkan hidup bersama keluarganya.
“Selama di Rumah Tahfidz ini cukup rasanya, saya juga bisa nyekolahin anak yang penting. Kalau dituruti ya kurang terus, tapi saya bisa nyekolahin anak itu senang banget, wong enggak punya apa-apa dan saya cuma buruh,” ucap Mbah Illah, terus bersyukur.
Baca Juga:Badan Penuh Tato, Tujuh Pemuda Ini Fasih Lantunkan Syair Aqidatul Awam
Selain memasak, Mbah Illah juga ikut mengaji di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an Patuk bersama ibu-ibu lain di sekitar rumah tahfidz. Kini Mbah Illah sudah mengaji sampai jilid 4 dengan metode Qira’ati yang diajarkan.
Selain mengaji Al-Qur’an, setiap bakda Magrib, keseharian Mbah Illah juga dipenuhi dengan berbagai kajian di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an, seperti pengajian malam Rabu, pembacaan selawat setiap malam Jumat, dan aktivitas lainnya.

Kini Rumah Tahfidz Nurul Qur’an telah menjadi cahaya di tengah masyarakat Desa Patuk. Cahaya keikhlasan para penghafal Al-Qur’an terus terpancar, tidak hanya untuk santri, tetapi juga warga sekitar rumah tahfidz seperti Mbah Illah.
Berkah Al-Qur’an rupanya memang nyata. Tak kasat wujudnya, tetapi dirasakan ketenangannya bagi siapa saja yang turut serta mendawamkan dan menjaganya.