SuaraJogja.id - Sudah 110 tahun alias 1,1 abad lebih Mbah Sarikem hidup di dunia ini. Umur panjang pun menjadikan warga Dukuh Lemah Ireng RT 005, Kebayanan Putat Sewu, Desa Jatitengah, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah sebagai wanita tertua di Sragen.
Data di kartu tanda penduduk (KTP) elektronik Sarikem, yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Sragen, menunjukkan bahwa Sarikem lahir pada 5 Februari 1910 silam di Sragen.
Dari catatan Dispendukcapil yang kemudian diverifikasi BPS, maka Sarikem sementara menjadi orang tertua di Kabupaten Sragen dengan umur 110 tahun.
Pada Senin (21/9/2020) Sarikem didatangi Kepala Badan Pusat Statustik (BPS) Sragen Toga Hamonangan, didampingi Koordinator Sensus Kecamatan Sukodono Juli Kusmanto.
Baca Juga:Studi: Lansia Hadapi Pandemi Covid-19 Lebih Baik dari Anak Muda
Keduanya disambut Kepala Desa Jatitengah Sadi, bersama perangkat desa lain dan ketua RT setempat, yang sudah berada di sebuah rumah tempat Sarikem tinggal bersama anak dan menantunya, pasangan Sasmo Pawiro (77) dan Kamsinah (76) beserta anak mereka.
Saat itu Sarikem duduk di amben kayu yang juga menjadi tempat tidurnya. Di depannya terdapat meja bundar tempat meletakkan minuman dan makanan ringan.
Sadi sempat berbicara dengan Sarikem. Ia harus menaikkan volume suaranya setiap kali berbicara dengan Sarikem. Suaranya harus keras seperti orang berteriak, bahkan harus ditempelkan ke telinga kiri Sarikem supaya Sarikem bisa mendengar.
Fungsi organ Sarikem sudah menurun, termasuk telinganya, yang kini hanya bisa menangkap suara yang keras saja. Terkadang Sadi pun mendapat jawaban yang tidak berkaitan dengan pertanyaannya dari Sarikem.
"Umurku wis atusan taun. Kupingku wis budek. Ragaku ya wis ora kuat. Sikilku rasane jimpe-jimpe ora kuat kanggo jangkah. Mataku eneke mung pedhut, peteng, srengenge ora ketok blas [Umur saya sudah ratusan tahun. Telinga saya tuli. Badan saya ya tidak kuat. Kaki saya rasanya kesemutan, tidak kuat untuk melangkah. Di mata saya yang ada hanya kabut, gelap, matahari sama sekali tidak kelihatan]," ujar Sarikem saat berbincang dengan Solopos.com -- jaringan Suara.com, Senin (21/9/2020).
Baca Juga:Jaga Kesehatan Lansia Saat Pandemi, Sediakan 3 Alat Kesehatan Ini di Rumah
Tak hanya itu, Sarikem juga menyelipkan satu petuah hidup dalam ucapannya. Hal tersebut ia ungkapkan setelah menceritakan bahwa dirinya sudah lebih dari 20 tahun hidup tanpa suami.
"Ditinggal bojo wis 26 taun. Cara wong nandur ngono, Sing nandur durung wancine ngunduh sing ditandur, arep piye meneh [Ditinggal suami sudah 26 tahun. Ibarat orang menanam, orang yang menanam itu belum waktunya untuk menuai apa yang ditanam, mau bagaimana lagi]," kata dia.
Keriput kulit tangan dan wajahnya menunjukkan betapa banyak pengalaman hidup yang sudah dilakoninya.
Saat muda, Sarikem dikenal ulet, tekun, dan pekerja keras sebagai pedagang keliling. Ia biasa berdagang bumbu dapur, tempe, minyak, dan lain-lain.
Ia biasanya kulakan dari Pasar Bunder Sragen dijual lagi ke Pasar Jatitengah, Pasar Pojok Sukodono, dan Pasar Ngijo Pengkol, Tanon, serta ke Pasar Gabugan, Tanon.
Sarikem memiliki delapan anak dari dua suaminya, yakni Sarbini dan Narto Dikromo, yang sudah meninggal.
Baik dengan suami pertama, Sarbini, maupun suami kedua, Narto Dikromo, pernikahan Sarikem masing-masing dikaruniai empat anak. Kini Sarikem tinggal di rumah anak keempat dari suami pertamanya.
Ketika Kepala BPS Toga Hamongan berpamitan, Sarikem sesegera mungkin menyahut dan memegang erat tangannya seraya berkonsentrasi mendengarkan ucapan keras yang dilontarkan Toga.
Banyak cerita yang disampaikan Sarikem pada Toga karena ia memang gemar mengobrol kepada siapa pun, terutama tentang anak pertamanya yang bernama Kamit, yang sudah meninggal belasan tahun silam saat berumur 63 tahun.
Anak Sarikem, Pawiro, membenarkan bahwa ibunya, yang merupakan wanita tertua di Sragen, sudah berusia lebih dari 1 abad.
"Dari keterangan di KTP umur Simbah itu 110 tahun. Padahal lebih. Dari delapan anaknya, yang masih hidup tinggal lima orang. Istri saya Kamsinah itu anak keempat. Saya menikah dengan Kamsinah itu tahun 1963, saat itu saya berumur 20 tahun dan istri saya berumur 19 tahun. Cucunya lebih dari 30 orang, buyutnya 20 orang ada, dan canggahnya sekitar 10 orang," ujar Sasmo Pawiro.