Tak Cari Untung, Perjuangan Inem Jalankan Sanggar Tari di Tengah Pandemi

Dengan menjadi sosok yang disebut orang gila tersebut, Inem justru mendapatkan banyak berkah dalam berbagai bentuk.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Mutiara Rizka Maulina
Jum'at, 23 Oktober 2020 | 07:08 WIB
Tak Cari Untung, Perjuangan Inem Jalankan Sanggar Tari di Tengah Pandemi
Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)

SuaraJogja.id - Namanya adalah Made Dyah Agustina. Ia seorang perempuan keturunan Bali yang lahir dan besar di tanah Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebagai seorang penganut agama Hindu, Dyah, begitu ia akrab dipanggil, lekat dengan dunia seni, terutama tari. Bahkan, dalam agamanya, tarian menjadi salah satu bentuk peribadatan yang ia lakukan untuk menjalin hubungan dengan Tuhan.

Akrab dengan dunia tari sejak kecil membuat Dyah akhirnya jatuh cinta secara utuh dengan seni gerak tubuh tersebut. Ia besar bersama dengan beragam tarian dan berhasil lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) sebagai seorang Magister Seni Pertunjukan.

Ayah Dyah berasal dari Singaraja, Bali, sementara Ibunya merupakan wanita asal Wijilan, Yogyakarta. Sejak belia, Dyah sudah dikenalkan dengan tarian Bali, hingga beranjak dewasa ia kemudian mulai mempelajari jenis-jenis tarian lainnya.

Jatuh cinta dengan cabang kesenian berolah tubuh ini, Dyah sudah bertekad agar saat dewasa nanti ia ingin bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah dari hobinya tersebut.

Baca Juga:Pendeta Wanita Alih Profesi Jadi Penari Telanjang, Mengaku Bahagia

Sejak 2014, Dyah kemudian memberanikan diri untuk membuka sebuah sanggar seni tari bernama Artha Dance. Tempat tersebut ia bangun dengan tujuan untuk melestarikan kesenian, sekaligus menjadi ajang olah tubuh bagi anak-anak.

Ibu dari dua orang anak ini berharap agar nantinya Artha Dance bisa menjadi tempat untuk anak-anak dalam berkreasi, melestarikan kesenian, dan mengekspresikan jiwa mereka.

Berawal dari sebuah garasi sederhana di rumahnya, sanggar tari milik mantan Dosen PGSD itu kali pertama memiliki murid sebanyak 15 orang anak. Awalnya, Dyah belum memiliki bangunan sanggar sendiri; ia hanya memanfaatkan tempat penyimpanan mobilnya di rumah.

“Jadi pada tahun 2014 itu saya pengin mempunyai sanggar, di mana sanggar itu nantinya sebagai wadah untuk anak-anak berkreasi, melestarikan kesenian, mengekspresikan jiwa mereka,” ujar Dyah di sela-sela aktivitas mengajarnya.

Sebelum memiliki sanggar tari sendiri, Dyah sudah aktif mengajar tarian kepada generasi muda. Ia bekerja sama dengan beberapa tempat untuk menggelar les menari, di antaranya adalah Tembi Rumah Budaya dan Yayasan Darma Rini.

Baca Juga:Lama Menghilang, Mantan Pendeta ini Muncul Jadi Penari Erotis

Dengan tipe rumah 40 dan luas garasi yang hanya muat untuk 10 anak saja, Dyah bisa berkreasi bersama dengan murid-muridnya. Bahkan anak didiknya yang bergabung sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga saat ini sudah memasuki tingkat kelas menengah dan menempuh pendidikan di bidang seni karawitan.

Asah kreativitas ciptakan tarian baru di sanggar

Ketika berhasil mendirikan Artha Dance, Dyah lantas mencoba menggabungkan tarian Bali dan Yogyakarta. Istri anggota kepolisian ini menjelaskan bahwa semua tarian yang diajarkan di sanggarnya merupakan karyanya sendiri.

Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)
Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Semua karya tari yang ia ciptakan berasal dari apa yang tengah menjadi perhatian masyarakat saat ini, atau yang dengan bahasa modern disebut viral.

Bagi Dyah, Artha Dance selain menjadi tempat anak-anak untuk berolah tubuh, juga menjadi tempatnya mengasah kreativitas, menciptakan tarian-tarian baru. Setiap tiga bulan sekali, Dyah memastikan jika karya tari di sanggar pribadinya tersebut selalu baru.

Siswa-siswa baru akan mempelajari gerak tarian lama, sementara siswa yang lama akan selalu mendapatkan koreografi tarian baru. Ia menyebutkan bahwa ciri khas tarian miliknya adalah sederhana, unik, dan lucu.

“Artha Dance ini selain jadi tempat anak-anak untuk mengolah tubuh juga menjadi tempat saya mengasah kreativitas karena kalau tidak diasah mungkun kreativitas saya sudah mati,” tukasnya.

Dalam waktu dekat ini, Dyah juga tengah mempersiapkan karya tari terbarunya bertema ‘Virus Corona’, dengan judul tarian ‘Dadi Siji Indonesia’, yang menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia yang saling bahu membahu dan bekerja sama untuk menolak kehadiran virus corona.

Mengkolaborasikan tari Bali dan Jawa, Dyah akan menggunakan porperti bendera di antara gerakan tarian. Mengambil tarian ‘rangde’ dari Bali, Dyah menggambarkan corona seperti Butakala atau sosok raksasa jahat. Karya tari ini akan disajikan ke hadapan masyarakat secara virtual pada November mendatang.

Berkreasi sejak 2014, Dyah memperkirakan, sudah ada kurang lebih 20 tarian yang ia ciptakan dengan inspirasi berasal dari anak-anaknya. Sayangnya, meskipun keberadaan sanggar tarinya sudah mendapatkan izin, tetapi untuk karya tarinya belum sempat didaftarkan dalam Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

Selain karena keterbatasan dana, bagi Dyah, kesenian ini biarlah menjadi milik masyarakat. Ia mengaku membuat karya tari ini untuk masyarakat dan akan kembali kepada masyarakat. Biarlah tarian ciptaannya digunakan oleh masyarakat asal tidak diubah atau digunakan untuk hal-hal yang negatif, katanya.

Dirikan sanggar tari tak hanya untuk cari untung

Sebelum pandemi, Dyah memiliki sekitar 300 murid di sanggar tarinya. Setelah vakum selama empat bulan lantaran merebaknya wabah corona, kini ia memiliki 80 orang murid yang berlatih bergantian di garasi rumahnya.

Kehilangan mata pencaharian selama empat bulan, Dyah mengaku sempat merasa kelimpungan. Terutama, ia juga memiliki empat orang guru tari yang biasa membantunya.

Terpaksa ia merumahkan tiga di antaranya lantaran tidak adanya kegiatan meskipun empat orang guru tari tersebut juga kehilangan mata pencaharian lainnya karena kegiatan di sekolah juga diliburkan. Siswa yang dimiliki Dyah sendiri memiliki rentang usia mulai dari 7 tahun hingga 15 tahun.

Dalam menjalankan bisnis keseniannya itu, Dyah mengaku jarang mendapatkan untung. Dibanding dengan sanggar tari lainnya, ia mematok biaya pendaftaran dan SPP yang bisa disebut cukup murah.

Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)
Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Untuk bergabung dengan Artha Dance, setiap anak dikenakan biaya Rp100.000. Sementara untuk biaya setiap bulannya senilai Rp60.000.

Selain murah, Dyah juga menggratiskan biaya SPP untuk anak yang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sementara untuk anak-anak di sekitar rumahnya yang ingin ikut latihan, mereka ditarik biaya Rp5.000 setiap pertemuan.

“Karena memang, sanggar tari ini kita buat bukan untuk sekadar profit saja, tapi memang untuk sebagai wadah anak-anak yang mampu maupun tidak mampu untuk berolah tubuh,” tukasnya.

Dyah menyebut kegiatan ini sebagai pesta seni, di mana tidak hanya boleh dinikmati oleh kaum borjuis saja, melainkan juga milik rakyat kecil.

Artha Dance memang tidak mengambil keuntungan dari uang SPP dan pendaftaran. Perempuan kelahiran 18 Agustus 1986 ini mengambil keuntungan dari hadiah perlombaan yang mereka ikuti maupun acara-acara yang secara khusus mengundang mereka.

Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)
Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Setelah diterpa pandemi sendiri, Dyah sengaja mengizinkan guru tari yang biasa membantunya untuk berjualan di sanggar. Ia juga menjelaskan kondisi keuangan dirinya dan para guru tari kepada orang tua siswa, agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Bagi Dyah, membiarkan anak-anak untuk hanya diam di rumah saja selama pandemi bukanlah solusi yang sepenuhnya baik. Sebab, anak-anak dibiarkan hanya berkecimpung dalam kegiatan seputar belajar, bermain gawai, menonton televisi, dan jarang melakukan gerakan mengolah tubuh.

Dengan kembali aktif di sanggar tari dan berlatih gerakan-gerakan baru, Dyah percaya, anak akan lebih aktif dan imun tubuh meningkat. Selain membuat tubuh berkeringat, menari, kata dia, meningkatkan kesehatan tubuh, dan yang paling penting juga menari membuat anak-anak menjadi ceria.

“Corona sampai saat ini belum ada obatnya, jadi dengan menjaga tubuh kita tetap sehat adalah obatnya,” imbuh Dyah.

Kebiasaan di sanggar berubah karena pandemi

Selain itu, perempuan berusia 34 tahun ini juga menyampaikan banyaknya permintaan dari orang tua siswa untuk kembali membuka sanggar setelah vakum selama 4 bulan. Di samping kegiatan sekolah online yang terus berlangsung, baik siswa maupun orang tua juga sudah mulai jenuh untuk terus berkegiatan dari rumah saja.

Untuk menjaga kondisi setiap siswanya, Dyah membatasi jumlah anak-anak dalam setiap pertemuan menjadi hanya 7 hingga 11 orang saja. Sebelum membuka sanggar, Dyah juga sudah terlebih dahulu mengajukan izin kepada RT setempat untuk mengadakan kegiatan yang melibatkan anak-anak.

Selain jumlah siswa yang dibatasi, dalam setiap sesi latihan, setiap anak juga diminta untuk tetap mengenakan masker. Sebelum memasuki area latihan, mereka dipastikan mencuci tangan terlebih dahulu dan diukur suhu tubuhnya.

Dyah juga tidak bisa menyentuh muridnya seperti sebelumnya. Mengandalkan penyampaian secara lisan, Dyah tidak bisa membetulkan gerakan muridnya secara langsung.

Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)
Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Melalui karya-karyanya, Dyah ingin menjalin komunikasi dengan masyarakat, bahwa kesenian khusunya seni tari eksistensinya dapat dijaga. Jika bukan para penerus bangsa yang menjaga, ujar Dyah, maka siapa lagi?

“Indonesia ini dikenal karena kekayaan budayanya, bukan karena hal yang lain. Indonesia kaya karena batiknya, diakui oleh UNESCO juga karena kebudayaannya. Nah, saya membuat karya-karya ini untuk mengumpulkan penerus-penerus bangsa yang nantinya bisa mewarisi karya-karya tari dan seni,” terang Dyah.

Ia berharap nantinya kesenian yang sudah ada saat ini bisa terus tumbuh dan terjaga di tengah budaya global yang modern. Tradisi akan tetap dijunjung oleh generasi muda tanpa rasa malu dan risi, melainkan dengan rasa bangga.

Dikenal dengan nama "Inem"

Selain sebagai pencipta tarian yang sudah banyak diundang di berbagai acara televisi, sosok Dyah lebih dikenal masyarakat Jogja dengan nama Inem, yakni seorang perempuan dengan dandanan badut dan riasan yang menyeramkan bagi sebagian orang.

Menggunakan pakaian ala perempuan desa zaman dulu, sosok Inem sering berkeliaran di jalanan Jogja sekadar untuk membagikan bingkisan kepada yang membutuhkan maupun membersihkan sampah yang berserakan.

Bagi Dyah, tokoh Inem adalah bentuk karya seninya yang lain. Bukan hanya dalam bentuk tarian, Dyah juga ingin menciptakan sebuah karya seni yang memiliki dampak positif untuk masyarakat.

Bersembunyi di balik riasan badut dan pakaian kunonya, Inem mencoba hadir dan memberikan apa yang dimiliki untuk masyarakat yang membutuhkan serta mendengarkan langsung keluh kesah rakyat kecil.

Dari karya seni berupa tokoh tersebut, Dyah juga banyak diundang untuk hadir di berbagai acara-acara televisi. Ia juga mengaku dekat dengan beberapa tokoh papan atas.

Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)
Kegiatan di sanggar tari Artha Dance milik Made Dyah Agustina selama pandemi - (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Dengan menjadi sosok yang disebut orang gila tersebut, Inem justru mendapatkan banyak berkah dalam berbagai bentuk. Hal itu membuatnya ketagihan menjadi badut yang gemar berbagi. Meski dicaci, tetapi ia merasa berguna.

Setiap Senin hingga Jumat, sejak pukul 15.00 WIB kediamannya selalu dihiasi semarak aksi anak-anak yang berlatih tarian karya-karyanya. Rasa lelah dan letih tidak menjadi penghalang Dyah untuk berhenti membagikan tradisi dan budaya Indonesia kepada generasi selanjutnya.

Sejak sinar matahari mulai lengser, hingga tenggelam di ujung hari, Dyah terus bergerak menebarkan rasa cinta kesenian pada generasi pemilik masa depan. Dari balik jendela rumahnya, anak, suami dan mertuanya memberikan dukungan untuk hal-hal baik yang dilakukan perempuan berhati tulus ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini