"Ini seperti anak yang dijanjikan untuk dibelikan sesuatu dan orang tua harus bekerja keras mewujudkan keinginan sang anak itu. Ya ini ibarat hadiah pelaju Jogja-Solo dan sebaliknya," sebutnya.
Ia mengaku telah menunggu momen uji coba KRL ini sejak lama. Awalnya, rencana itu muncul pada Oktober 2020 lalu hingga November, lalu mundur dan sampai pada hari ini.
Harsa menyampaikan sedikit saran untuk operasional KRL Jogja-Solo supaya bisa dioptimalkan lagi dalam beberapa waktu ke depan, yaitu terkait jarak naik-turun kereta dengan tinggi lantai peron, yang masih belum sejajar, sehingga cukup menyulitkan saat penumpang akan turun.
"Kalau masih kurang, ya detailnya belum bisa disampaikan karena baru sekali, tapi mungkin tentang naik-turunnya itu yang agak susah, lantai peron di beberapa stasiun seperti Maguwoharjo dan Brambanan masih cukup tinggi, jadi memang perlu berhati-hati," tandasnya.
Sementara itu, Dosen Teknik Kimia UMS Atiga Mulyaningtyas, yang juga turut dalam uji coba KRL Jogja-Solo ini, menilai bahwa kehadiran perkembangan transportasi semacam ini memang diperlukan untuk menjawab perkembangan zaman yang terus bergerak.
"Kalau saya realistis saja karena memang KRL ini dibutuhkan. Jadi memang sudah seharusnya ada," katanya.
Ia menyebutkan, jika dilihat secara kultur, penglaju di Jogja-Solo dengan di Jakarta itu sangat berbeda. Menurutnya, penglaju di Jogja-Solo lebih menikmati waktunya.
"Jadi kalau di Jogja itu lebih kepada alon-alon waton kelakon, kalau di Jakarta lebih lari-lari, grusah-grusuh. Ya saya harap kehadiran KRL Jogja-Solo bisa lebih mempertahankan kultur Jawa-nya," pungkasnya.