Zainal melanjutkan, sempat ada upaya pemakzulan Nurdin Abdullah dari DPRD Sulsel sekitar delapan bulan setelah ia dilantik sebagai gubernur.
"Akhirnya dia lepas dari itu setelah melakukan upaya-upaya politik," terang Zainal.
Dirinya menilai, ada faktor umum dan faktor khusus di balik praktik korupsi di daerah. Faktor umum, kata dia, antara lain pemilu berbiaya mahal, kualitas individu, hingga ketidakmampuan membangun pengawasan.
Sementara itu, faktor khusus dalam kasus Nurdin Abdullah berasal dari sang koruptor sendiri, yang berkaitan dengan akomodasi politik.
Baca Juga:KPK Sita Uang Rp 1,4 Miliar, Nurdin Abdullah : Itu Bantuan Untuk Masjid
"Dia harus mengakomodir kepentingan-kepentingan berbagai klan dan kekuatan-kekuatan besar di Sulawesi Selatan," jelas Zainal.
Terkait pemilu, yang berbiaya mahal hingga mendorong kandidat untuk melakukan korupsi, Zainal menyebutkan, perlu adanya perbaikan sistem pemilihan, aturan, sampai penegakannya.
Kondisi biaya politik mahal ini juga diamini Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Kendati begitu, ia menggarisbawahi ketidakjujuran peserta pilkada saat melaporkan dana kampanye.
Berdasarkan kajian KPK, Titi menerangkan, kandidat kepala daerah membutuhkan biaya rata-rata Rp20 miliar hingga Rp30 miliar untuk maju sebagai bupati/wali kota dan bisa ratusan miliar untuk calon gubernur dalam pilkada.
Namun kenyataannya, dalam laporan dana kampanye calon para kepala daerah yang dipublikasikan KPU di situs resminya, tak ada angka sebesar itu.
Baca Juga:Ditahan Sejak Akhir Februari, Nurdin Abdullah Baru Diperiksa KPK Hari Ini
"Anomalinya adalah, yang disebutkan itu selalu politik biaya tinggi, tetapi ketika kita ingin mengkonfirmasi melalui mekanisme formal, data yang kita dapat adalah data yang seperti ini," kata Titi.