SuaraJogja.id - Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) beranggapan bahwa proyek padat karya dengan membangun jalan desa sarat akan praktik korupsi. Hal itu disampaikan Staf Ahli Pustral UGM Bambang Hudayana.
Dia menjelaskan, pembangunan jalan desa melalui proyek padat karya tidak berdampak pada peningkatan penghidupan berkelanjutan di desa. Proyek tersebut sarat dengan praktik korupsi dan aksi politik bantuan dan transaksional.
"Bahkan proyek pembangunan jalan tidak menuntaskan masalah keterbatasan akses orang desa pada pasar, pelayanan pendidikan, kesehatan, dan sarana produk padi (saprodi)," terangnya, Jumat (13/8/2021).
Saat jalan desa dibangun, diperkeras dan diaspal, pajak tanah naik, sehingga petani dan penduduk lokal menjerit. Dampak lanjutan yang muncul adalah ketika jalan desa dibangun, tanah diincar pendatang, sehingga penduduk lokal tergeser.
Baca Juga:Nasib Juliari di Ujung Tanduk, KPK: Optimis Vonis Majelis Sesuai Tuntutan JPU
Menurut dia, sebagian besar di daerah jalan desa yang dibangun umumnya menggunakan dana swadaya dan gotong-royong. Tetapi yang terjadi kemudian diakusisi sebagai jalan kabupaten, sehingga seolah tidak terdapat pengakuan atas peran dan kekayaan desa.
Disamping itu, Bambang menyampaikan bahwa pembangunan jalan desa belum maksimal, dan cenderung menjadi beban desa dan masyarakatnya daripada sebagai solusi dalam hal konektivitas. Oleh karena itu, perlu pengembangan berbagai praktik baik pembangunan jalan desa sebagai kerja kolaboratif pemerintah, desa, CSO, CSR, dan masyarakat desa.
“Pembangunan jalan desa perlu disertai dengan pemberdayaan masyarakat dan memperkuat ekonomi masyarakat di pedesaan melalui perkuatan usaha desa dan BUMDes sehingga desa mampu mendanai pembangunan jalan desa,” terangnya.
Kepala Pustral UGM, Profesor Bambang Agus Kironoto mengatakan, implementasi dana desa dalam pembangunan pedesaan, khususnya dalam penyediaan infrastruktur jalan masih menemui beberapa permasalahan. Masalahnya yakni dalam hal ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dan transparansi penggunaan dana desa.
“Perlu didorong adanya inovasi yang dibutuhkan dalam pembangunan jalan desa,” katanya.
Baca Juga:Diduga Korupsi Hingga Rugikan Negara Rp250 Milyar, Berapa Harta Bupati Bintan?
Terpisah, Kepala Desa Pandowoharjo, Sleman, Catur Sarjumiharta menyebutkan, perangkat desa harus tahu banyak soal mekanisme pembangunan jalan desa, tata kelola dana desa, dan bagaimana menyelesaikan potensi terjadinya konflik sosial.
Kemampuan APBDes untuk penanganan jalan desa sangat minim dibandingkan dengan banyaknya permintaan dan aspirasi masyarakat untuk pengembangan jalan desa.
“Pembangunan jalan desa dilakukan dengan mekanisme padat karya namun budaya gotong royong perlu tetap dilestarikan,” paparnya.
Salah satu inovasi yang dilakukan di wilayahnya dalam penggunaan dana desa ialah dengan memberikan stimulan kepada masyarakat melalui pedukuhan untuk membangun jalan desa.
Dengan begitu, budaya gotong royong yang sudah melekat di masyarakat, hasil yang dihasilkan justru melebihi dari angka stimulan yang diberikan.
"Budaya gotong royong yang ada jangan sampai hilang," imbuh Catur.