SuaraJogja.id - Kabar miris menimpa seorang penjaga penjaga penangkaran rusa di Taman Hutan Rakyat beberapa waktu lalu. Pria berinisial ADS (35) yang tinggal di Padukuhan Gading IV Kalurahan Gading Kapanewon Playen Gunungkidul nekat gantung diri lantaran tak tahan terjerat pinjaman online atau kini nyaring disebut pinjol laknat.
Siapa kira, tekanan yang dialami ADS akibat jerat pinjaman online nyatanya juga dirasakan hampir sebagian warga Gunungkidul lainnya. Sebagian dari mereka terjerembab dalam pusaran rentenir berkedok pinjaman online atau pinjol laknat hingga koperasi.
Hal itu seperti diungkapkan UNA (28) warga kapanewon Playen. Kepada suarajogja.id, ia mengaku sebagai salah satu korban pinjaman online.
Mirisnya, ia Tak hanya berurusan dengan satu penyedia pinjaman online. Dari penuturannya ia terjerat hingga belasan pinjaman online.
Baca Juga:Kuota Kerap Habis di Kotanya, Gadis Asal Sukoharjo Ini Nekat Ikut Vaksinasi di Gunungkidul
Akibat teror yang bertubi-tubi dari penyedia pinjaman online atau pinjol mengakibatkan ibu anak 1 ini nyaris gantung diri.
UNA menceritakan bagaimana dirinya bisa terjerat pinjaman online tersebut. Waktu itu, dirinya tengah hamil 7 bulan anak pertama bersama suaminya T. Saat itu kondisi keuangan keluarga kecilnya memang belum stabil seperti sekarang ini.
"Saya itu lihat ada iklan pinjaman online di instagram. Saya coba-coba,"ujar dia, Rabu (1/9/2021).
Ia-pun lantas mencoba mengajukan pinjaman dan ternyata langsung cair. Dengan modal foto KTP, UNA mengaku mendapatkan pinjaman sebesar Rp700 ribu kala itu. Namun dari nilai Rp700 ribu, UNA hanya menerima uang sebesar Rp529.000 karena alasan sisanya untuk administrasi.
Awalnya, UNA mampu melunasi pinjaman online tersebut hingga akhirnya dirinya terus mengajukan pinjaman lain. Baru pada hutang ke lima itulah, UNA mengaku mulai tidak bisa membayar angsuran yang menjadi kewajibannya.
Baca Juga:Terpuruk Akibat PPKM, Pelaku Wisata Gunungkidul Terpaksa Jual Ternak untuk Bayar Angsuran
Hingga akhirnya ia mengajukan pinjaman ke penyedia pinjol lain untuk menutupi hutang di pinjol sebelumnya. Hal ini terus terulang hingga akhirnya wanita yang kini menjadi guru ini terjerat hingga 15 perusahaan pinjaman online.
Teror demi teror mulai ia rasakan karena hampir setiap waktu selalu mendapatkan telepon ataupun pesan singkat ke nomor pribadinya. Tak hanya itu, teman-teman dekatnya yang nomornya juga ia simpan di ponsel juga mendapat pemberitahuan agar hutangnya segera ia bayar.
"Malu itu jelas. Wong teman-teman saya jadi tahu,"ungkapnya.
UNA mengaku dirinya tak bisa membayar angsuran karena bunga yang dibebankan cukup tinggi. Ia bahkan mengungkap nilai yang dibayarkan sudah tidak wajar lagi bila dibandingkan dengan hutang pokok yang ia dapat.
Rasa frustasi menghinggapinya karena ia tak mampu lagi membayar angsuran dan justru terjerat semakin banyak pinjol.
Di satu sisi, ia berusaha menutupi persoalan yang menderanya agar tidak diketahui oleh keluarga terutama bapak dan ibunya. Ia tidak mau bapak ibunya mengetahui persoalan tersebut karena khawatir akan membuat orangtuanya drop dan jatuh sakit.
"Saya simpan sendiri bersama suami. Coba kita hadapi,"tambahnya.
Untuk menjual barang yang ia miliki pun adalah hal yang tidak mungkin. Karena ketika menjual barang miliknya maka orangtuanya akan mengetahui persoalan yang menderanya.
Rasa frustasi semakin membuatnya kalut. Bahkan sempat terlintas untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Namun beruntung, Tuhan masih mengingatkannya karena setiap kali keinginan bunuh diri muncul, selalu terbayang wajah anaknya.
Dirinya pun menuangkan kekalutannya ke sebuah blog pribadinya. Semua yang ia alami dan rasakan tersebut masuk dalam blog tersebut. Hingga akhirnya ada seseorang dari Surabaya membaca blog pribadinya dan lantas menghubunginya.
"Orang tersebut akhirnya memberi pencerahan. Dan memberikan solusi,"tambahnya.
Pria asal Surabaya tersebut akhirnya menyarankan agar dirinya membuang handphone dan mengganti dengan nomor yang lain. Selain itu ia juga diminta tidak menghiraukan teror-teror yang masuk serta tidak perlu khawatir dengan black list BI Cheking.
Akhirnya perlahan-lahan teror tersebut berkurang dan sudah tidak ada lagi. Kekhawatiran black list BI Chekingpun tak terbukti karena dirinya masih bisa mengajukan pinjaman ke perbankan dan selalu disetujui.
"Persoalan Pinjol sebenarnya hanyalah mental. Harus kuat mental menghadapi teror pinjaman online. Tagihan itu hanya gertakan, tidak terbukti,"tambahnya.
Dihisap Tujuh Lintah Darat
Ngadiono (52) dan Sumini (44) pasangan suami istri asal Padukuhan Kedungranti Kalurahan Nglipar Kapanewon Nglipar Gunungkidul ini sudah 4 bulan tinggal di kandang sapi ukuran 2 x 2,5 meter. Bersama dua anaknya, pasangan suami istri ini berbagi dengan 3 ekor sapi yang mereka pelihara.
Kandang tersebut berada di bantaran Sungai Oya di mana setiap musim penghujan selalu terendam banjir. Sebagai kamar multifungsi, ia menyekat ruang ukuran 1x1 meter dan mengelilinginya dengan plastik terpal. Kasur yang ia letakkan juga sangat tipis hanya dengan ketebalan 3 cm.
Sementara untuk mandi dan mencuci, keluarga ini mengambil air dari Sungai Oya yang ada di dekat kandang tersebut. Namun untuk memasak, mereka masih meminta kepada tetangganya. Untuk memasak, ia membuat tungku seadanya di luar kandang.
Ngadiono menceritakan alasan mengapa ia bersama keluarganya tinggal di kandang dekat dengan sungai. Karena rumah satu-satunya yang mereka miliki sudah dijual untuk menutup hutang. Untuk tinggal di tempat saudara, adalah hal yang tidak mungkin karena mereka memiliki banyak anak.
Tahun 2007 yang lalu sebenarnya mereka mendapat bantuan pembangunan rumah sederhana dari sebuah lembaga sosial yang perduli korban gempa 2006. Rumah permanen tipe kecil dibangun di atas tanah miliknya pemberian orangtuanya.
Saat itu Ngadiono sudah memiliki usaha sablon kecil-kecilan dan sang istri menjadi pedagang sayur keliling. Karena mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil akhirnya keluarga ini mulai berani mengajukan hutang. Mereka berhutang ke beberapa lembaga keuangan.
"Saya hutang Rp10 juta ke BPR dengan agunan sertifikat tanah yang ada rumah bantuannya itu,"ujar dia.
Namun dalam perjalanannya mereka tak mampu lagi membayar cicilan yang menjadi kewajiban. Tahun 2012 ngadiono memutuskan untuk pergi ke pulau Bangka bekerja di perkebunan sawit.Harapannya dengan bekerja di perkebunan kelapa sawit mata mereka mampu pembayaran cicilan di Bank BPR tersebut.
Namun kenyataannya di pulau bangka Ngadiono tidak mendapatkan pekerjaan. Istrinya pun kembali mengajukan hutang Rp5 juta ke sebuah Koperasi Syariah dengan agunan BPKB sepeda motor. Tak hanya itu istri Ngadiono pun mulai terjerat hutang dari rentenir.
"Tak hanya 1 rentenir, namun saya terjerat hingga 7 rentenir,"papar Sumini.
Rentenir inilah yang membuatnya terpuruk. Karena waktu pertama kali ia hanya mengajukan hutang Rp500 ribu untuk jangka waktu 10 hari. Setiap hari ia harus membayar cicilan sebesar Rp55 ribu. Sehingga total hutangnya menjadi Rp750 ribu.
Dalam perjalanannya ia tak mampu membayar cicilan sehingga mengajukan hutang kembali ke rentenir lain untuk menutup cicilan rentenir sebelumnya. Demikian terus terulang hingga 7 rentenir ia hutangi.
"Saya itu hutang cuma Rp250 ribu sampai Rp500 ribu. Tapi karena tak bisa menyicil ya akhirnya jadi besar jumlahnya,"kenangnya.
Selain untuk hidup, wanita ini sengaja meminjam uang di rentenir untuk membayar cicilan di Koperasi. Sementara di BPR, ia sudah tidak mampu membayar angsuran lagi.
Apes, keluarga ini juga tak mampu membayar cicilan di Koperasi hingga akhirnya satu-satunya motor untuk berjualan disita Koperasi jika ingin dianggap lunas. Kehidupan Sumini yang ditingal suami merantau kian memprihatinkan.
"Suami saya pulang. Dan lantas menjual rumah bantuan itu ke adik untuk menutup hutang di BPR. Rumah laku Rp15 juta dibeli adik ipar saya,"ujar Sumini.
Teror demi teror pun mereka terima karena cicilan di rentenir tidak ada yang bisa mereka bayar. Hingga akhirnya Ngadiono dan keluarga bedol deso ke Sumatera. Mereka merantau karena sudah jenuh dikejar rentenir.
5 tahun merantau di Sumatera akhirnya Ngadiono memutuskan untuk kembali pulang ke Gunungkidul. Awalnya keluarga ini pulang ke rumah orangtua Sumini di Kapanewon Semanu. Namun mereka hanya bertahan selama 4 bulan karena alasannya tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
"Terus saya balik ke Kedungranti. Saya awalnya tinggal di rumah yang saya jual dulu. Namun karena ndak enak, saya akhirnya tinggal di hutan,"kata Sumini.
Tinggal di Hutan Hingga Terpaksa Mencuri
Terhitung 3 tahun mereka tinggal di hutan milik Perhutani. Untuk bertahan hidup, mereka menanam berbagai tanaman mulai dari ketela hingga sayur-sayuran di sela-sela tanaman kayu putih milik Perhutani. Tiga tahun lebih, Sumini mengaku hidup tentram meskipun tinggal di hutan yang letaknya sekitar 1 kilometer dari tanah kelahirannya.
Seminggu sekali Sumini mengaku pergi ke perkampungan untuk menjual sayur yang ia tanam serta membeli bumbu dapur guna keperluan memasak. Namun suatu hari, ia terpaksa mencuri beras karena memang tak ada lagi uang untuk membeli beras.
Lima bulan yang lalu, ia mendapatkan tawaran untuk memelihara dua ekor sapi milik saudara mereka. Awalnya, keluarga ini ingin membangun kandang di dekat mereka tinggal di hutan milik Perhutani. Pihak Perhutani tidak mengijinkan jika keluarga ini membangun kandang sapi di area hutan.
"Terus saya minta ijin sama orangtua untuk mbangun kandang di sini (dekat sungai),"terangnya.
Karena capek bolak-balik dari ladang ke kandang maka akhirnya keluarga ini memutuskan untuk membuat sebuah kamar menyatu dengan kandang sekadar untuk tidur dan beraktivitas lainnya. Hingga akhirnya mereka benar-benar tinggal berbagi dengan 3 hewan ternak.
"Jadi awalnya sapi hanya dua, terus beranak 1. Anaknya milik saya,"ungkapnya.
Keluarga ini sebenarnya memiliki 4 orang anak dimana anak ke-3 ini baru kelas 7 dan untuk anak tempat baru kelas 3 SD. Sementara anak pertama mereka sudah bekerja sebagai buruh serabutan dan anak ke-2 menjadi tukang parkir di sebuah pasar setiap 3 hari sekali.
Tak hanya Ngadiono dan Sumini yang terjerat rentenir hingga terpaksa menjual barang-barang mereka. Cukup banyak warga Gunungkidul yang terjerat lebih dari 1 rentenir. Hingga akhirnya mereka menjual tanah atau rumah yang mereka miliki.
Seperti yang dilakukan oleh Supri warga Kelurahan Putat kapanewon Patuk. Wanita ini terpaksa tiga kali menjual tanah yang mulai memiliki hasil dari warisan orang tuanya. Hal ini juga dialami oleh Sri warga Patuk, Gunungkidul. Suaminya terpaksa menjual 2 petak sawah untuk menutupi hutang ke rentenir.
Cukup Fotokopi KTP, Bisa Langsung Cair
Jeratan rentenir untuk masyarakat Gunungkidul seolah sudah menggurita. Kemudahan yang diberikan rentenir berkedok Koperasi Simpan Pinjam (KSP) ataupun pinjaman online membuat warga mudah tergiur.
Mar (38) salah seorang karyawan KSP membenarkan adanya kemudahan yang diberikan tersebut. Seseorang yang ingin mengajukan pinjaman ke KSP dengan sistem harian maka cukup mengajukan pinjaman hanya dengan modal KTP.
"Jadi cuma bilang saja butuh duit berapa terus ngasih fotokopi KTP, besok cair,"terang dia.
Tak perlu ada survei ke tempat usaha ataupun ke rumah yang bersangkutan. Sehingga nasabah pun tidak perlu khawatir pinjamannya akan diketahui oleh anggota keluarga yang lain ataupun tetangga.
Untuk membayar cicilan, sesuai kesepakatan akan bertemu di mana. Biasanya mereka berhubungan lewat HP untuk pembayaran cicilan. Nasabah tidak perlu datang ke kantor, karena kolektor akan mendatangi lokasi yang dijanjikan setiap harinya.
"Hutang itu hanya jangka pendek 10 hari atau seminggu. Cicilannya harian,"paparnya.
Jika ada warga yang menganggap bunga dari KSP harian tersebut cukup tinggi, ia tidak menampiknya. Karena memang operasional mereka juga cukup tinggi ketika harus mengumpulkan cicilan. Mereka setiap hari harus mendatangi nasabah untuk mengambil uang cicilan.
"Bunga dan administrasinya variatif. Selain operasional, risiko kita juga tinggi wong ndak ada jaminan,"ungkap dia.
Ia mengakui jika petugas penagih mereka terkesan layaknya teror karena setiap saat datang. Pasalnya para kolektor tagihan ini juga dikejar target agar bisa mengumpulkan cicilan sebanyak mungkin seperti yang ditetapkan pihak kantor.
Bupati Gunungkidul, Sunaryanta mengakui masih banyak warga Gunungkidul yang terjerat rentenir. Sebagai langkah antisipasi, pihaknya sebenarnya sudah menugaskan Bank BDG untuk memeranginya dengan memberikan berbagai kemudahan kepada warga yang ingin mendapat pinjaman.
"Saya juga perintahkan untuk semakin mendekatkan diri dengan masyarakat. Agar warga tidak terjerat rentenir,"ujar dia.
Catatan Redaksi: Hidup seringkali sangat sulit dan membuat stres, tetapi kematian tidak pernah menjadi jawabannya. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit dan berkecederungan bunuh diri, sila hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah sakit terdekat.
Bisa juga Anda menghubungi LSM Jangan Bunuh Diri melalui email [email protected] dan telepon di 021 9696 9293. Ada pula nomor hotline Halo Kemkes di 1500-567 yang bisa dihubungi untuk mendapatkan informasi di bidang kesehatan 24 jam.
Kontributor : Julianto