Menteri PPPA Kunjungi Ponpes di Gunungkidul yang Diduga Banyak Santrinya Alami Kekerasan

Santri di pondok pesantren yang dikunjungi Menteri PPPA banyak yang alami kekerasan.

Galih Priatmojo
Senin, 20 Desember 2021 | 10:51 WIB
Menteri PPPA Kunjungi Ponpes di Gunungkidul yang Diduga Banyak Santrinya Alami Kekerasan
Kunjungan Menteri PPPA di ponpes di Wonosari. [Kontributor / Julianto]

SuaraJogja.id - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga melanjutkan rangkaian kunjungan kerjanya di DIY. Setelah Minggu (19/12/2021) sore mengunjungi sentra anyaman daun pandan di Bantul, hari Senin (20/12/2021) ini dia berkunjung ke Gunungkidul.

Salah satu rangkaian acaranya adalah mengunjungi Pondok Pesantren Ansarulloh untuk memberikan motivasi kepada para santri. Pondok pesantren Ansarulloh terletak tak jauh dari Kota Wonosari.

Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3AKBPM) Gunungkidul, para santri di Pondok Pesantren tersebut ternyata dilaporkan banyak yang menjadi korban kekerasan.

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. [Shutterstock]
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. [Shutterstock]

"Beberapa waktu lalu memang ada laporan terjadi kekerasan di Pondok Pesantren itu yang masuk ke kami,"ujar Kepala Seksi Perlindungan Anak DP3AKBPM Gunungkidul, Fajar Nugroho, Senin.

Baca Juga:Temui Perajin Anyaman Daun Pandan di Bantul, Menteri PPPA: Kerajinan Ini Tidak Boleh Punah

Fajar mengakui tahun ini terjadi lonjakan kasus kekerasan karena adanya tambahan klasifikasi. Lonjakan angka kekerasan tersebut tidak lepas dari adanya laporan kekerasan di Pondok Pesantren Ansarulloh Playen. 

Bahkan dugaan kekerasan di Pondok Pesantren tersebut membuat KomNas HAM turun langsung melakukan penyelidikan. Pihaknya pun langsung intensif melakukan assesment.

Dan berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh DP3AKBPM ternyata sama sekali tidak ada kekerasan fisik di pondok pesantren tersebut. Jika kekerasan psikis dimungkinkan terjadi karena di tempat tersebut menjadi sentra rehabilitasi anak-anak korban penyalahgunaan narkoba.

"Banyak santri dari luar daerah yang dikirim ke sana karena penyalahgunaan narkoba,"ungkapnya.

Di Pondok Pesantren tersebur para korban penyalahgunaan narkoba menjalani rehabilitasi. Selain metode mendekatkan diri dengan Tuhan, salah satunya terapi tradisional. Metode yang sebenarnya dulu juga banyak digunakan warga Gunungkidul.

Baca Juga:Menteri PPPA Minta Pemda Tangani Kasus Kekerasan Seksual Secara Komprehensif

"Metodenya itu sederhana. Yaitu menggunakan daun tertentu kemudian dikepyok-kepyoke (dipukulkan pelan-pelan tanpa tekanan) ke bagian tubuh tertentu berkali-kali. Dari dulu di Gunungkidul memang ada metode pengobatan seperti itu,"papar dia.

Fajar melanjutkan, munculnya dugaan kekerasan tersebut bermula ketika ada puluhan warga luar Pulau Jawa yang dikirim ke Pondok Pesantren tersebut karena ketergantungan obat terlarang. 

Mereka dikirim ke Pondok Pesantren untuk menjalani rehabilitasi secara gratis dari pengelola. Namun seiring berjalannya waktu, ada santri dari Luar Jawa tersebut berulah. Mereka kembali sakau dengan sesuatu yang baru yaitu mengoplos bensin dengan minyak kayu putih. 

"Ini cara baru. Saya justru baru tahu kok bisa. Kan biasanya ngelem,"ungkap dia.

Aksi mereka ketahuan oleh pihak pondok pesantren sehingga pengelola melakukan pembinaan. Dan ada beberapa santri yang tidak betah kemudian melarikan diri ke asrama mahasiswa daerah mereka di Kota Yogyakarta. 

Oleh mahasiswa di Asrama, peristiwa tersebut kemudian dilaporkan ke Bupati mereka. Bupati mereka melayangkan surat ke KomNas HAM hingga lembaga tersebut datang ke Gunungkidul melakukan investigasi.

Dari hasil investigasi ternyata tidak ditemukan kekerasan fisik yang ada hanyalah kekerasan psikis karena para santri korban penyalahgunaan Narkoba tertekan dengan metode rehabilitasi di Pondok Pesantren tersebut.

Lebih jauh, Fajar menyebut angka kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak di Gunungkidul mengalami peningkatan signifikan dalam dua tahun terakhir.  Pandemi covid-19 yang melanda kawasan ini memicu peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Pihaknya mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari tahun 2020 ke tahun 2021. Bahkan angkanya naik sangat signifikan. Bahkan kenaikannya mencapa 250 persen di tahun 2021 dibanding 2020.

Fajar menuturkan tahun 2020 yang lalu, kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Gunungkidul hanya sebesar 28 kasus. Namun di tahun 2021 ini, hingga akhir bulan November 2021 pihaknya mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 92 kasus.

info grafis kekerasan terhadap perempuan dan anak di Gunungkidul. [Ema Rohimah / SuaraJogja.id]
info grafis kekerasan terhadap perempuan dan anak di Gunungkidul. [Ema Rohimah / SuaraJogja.id]

Dari berbagai kasus yang menimpa, terbanyak kasus yang masuk ke tempatnya adalah lekerasan psikis. Ia menyebut kekerasan psikis mencapai 71 kasus masing-masing menimpa 19 orang perempuan dan seorang laki laki 1. Tak hanya itu, ia juga mencatat kekerasan psikis ini juga menimpa 21 anak perempuan dan 30 anak laki-laki.

"Kekerasan psikis itu contohnya dikatain kasar. Contohnya menjadi sasaran umpatan,"tambahnya.

Peningkatan signifikan ini memang menjadi sebuah keprihatinan bersama di era pandemi covid19 ini. Namun menurutnya kenaikan ini bukan semata karena kasus. Pemberlakuan aturan terbaru dari Peraturan Menteri Perlindungan Perempuan yang menambah klasifikasi kekerasan membuat kasus meningkat tajam.

Salah satunya adalah kasus kekerasan psiskis yaitu kekerasan suara mengakibatkan depresi. Kekerasan psikis ini akan menimbulkan tekanan mental bagi seseorang yang mengalaminya.


Biasanya, pihaknya hanya mendapat rujukan dari RS daerah dari warga yang konsultasi kepada mereka. Namun karena kasusnya internal rumah tangga maka biasanya diserahkan ke Dinas yang ia ampu. Terakhir pihaknya melakukan mediasi dari 4 rumah tangga.

Kontributor : Julianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini