Memahami Childfree dari Sudut Pandang Anak Muda di Jogja, Fala: Aku Takut Tak Mampu Mencukupi Kebutuhan Hidupnya

Beberapa memahami Childfree sebagai pemikiran yang bertentangan dengan fitrah.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 14 Januari 2022 | 11:43 WIB
Memahami Childfree dari Sudut Pandang Anak Muda di Jogja, Fala: Aku Takut Tak Mampu Mencukupi Kebutuhan Hidupnya
Ilustrasi bayi. (Pexels)

SuaraJogja.id - Memiliki sosok yang dapat melanjutkan garis keturunan secara alami hampir menjadi angan-angan semua orang khususnya suami istri setelah menikah. Namun nyatanya, tidak semua pasangan yang mampu memiliki anak menginginkan hal tersebut. Keputusan itu kemudian dikenal dengan istilah childfree yang sering kita dengar dalam beberapa waktu terakhir.

Konsep childfree ramai kembali diperbincangkan setelah YouTuber Gita Savitri sebelumnya mengaku menerapkan itu atau enggan memiliki anak dalam kehidupan rumah tangganya. Gita Savitri dan suaminya, Paul Andre Partohap, menilai punya anak atau tidak merupakan sebuah pilihan hidup, alih-alih kewajiban.

Childfree sebagai Pandangan Politik

Fala Pratika (23) menyebut bahwa childfree sebagai pandangan politik. Secara tidak langsung itu merupakan pandangan politik yang itu bersentuhan dengan otoritas tubuh setiap individu.

Baca Juga:Soroti Kerusakan di Jalan Perwakilan, Forpi Jogja Minta OPD Awasi Parkir di Lokasi Setempat

"Keputusan yang kamu ambil berdasarkan pandangan politikmu dengan tubuhmu. Aku sendiri melihat itu sebenarnya, balik lagi aku sangat percaya bahwa setiap perempuan bahkan setiap orang punya otoritas atas tubuhnya sendiri untuk memilih mau mempunyai anak atau tidak," ujar Fala kepada SuaraJogja.id beberapa waktu lalu.

Fala memandang bahwa mempunyai anak itu adalah tanggungjawab seumur hidup. Sehingga ia pun tidak memungkiri tanggungjawab itu terdengar sangat menakutkan. 

Hal itu juga salah satu faktor yang membuatnya belum memutuskan untuk hendak memiliki anak atau tidak dalam kehidupannya mendatang. Namun tetap ada ketakutan dan keraguan dalam menentukan pilihan itu.

"Itu (punya anak) terdengar sangat mengerikan. Aku sendiri belum memutuskan tapi aku punya ketakutan dan beberapa keraguan terkait itu," ucapnya 

Ia memberi contoh terkait dengan persoalan atau faktor finansial. Tentang bagaimana kebutuhan anak sejak dilahirkan hingga semakin bertumbuh dewasa dengan segala biaya pendidikan yang perlu dikeluarkan. 

Baca Juga:Capaian Vaksin Anak 81,5 Persen, Dinkes Jogja Targetkan Dosis 2 Selesai Februari

Persoalan-persoalan finansial yang harus dihadapi jika memiliki anak itu menjadi salah satu faktor yang menimbulkan ketakutan dalam dirinya. 

Lalu masalah kesiapan mental dari dirinya sendiri. Keraguan terkait perkembangan emosional dirinya juga menjadi faktor tersendiri.

"Kemudian ada kayak bagaimana itu menguras emosional dan mental kita, kayak can I? Bisa ngga ya aku, am i capable?" imbuhnya.

Perempuan yang tinggal di Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul itu mengaku tidak tahu apa yang bisa membuat perempuan-perempuan di luar sana memutuskan untuk childfree atau tidak memiliki anak. Sebab ia sendiri, sekali lagi belum mencapai tahap keyakinan hati yang sekuat itu.

"Tapi tentunya, aku tidak tahu kalau misalnya perempuan-perempuan yang memutuskan childfree seperti itu, apakah atau butuh berapa lama untuk meyakinkan diri mereka semua bahwa childfree itu adalah keputusan yang bulat. Kalau aku sih belum pada titik yang itu," tuturnya.

Tidak dipungkiri bahwa ia masih melihat seorang anak kecil sebagai makhluk yang lucu nan menggemaskan. Pikiran-pikiran itu yang masih kadang muncul di dalam benaknya.

"Walaupun ya bisa jadi hanya romantisasi pikiran kita saja terhadap itu. Padahal di balik punya anak susahnya minta ampun. Hamil sembilan bulan itu tidak semuanya menyenangkan," terangnya.

Fala juga menyebut sudah mempunyai standar atau tujuan tersendiri dalam hidupnya yang lebih dulu akan dituju. Sehingga saat ini tujuan-tujuan itu yang menjadi fokusnya sebelum nanti memutuskan untuk memiliki anak atau tidak.

"Aku yakin betul kalau aku sudah selesai dengan diriku itu. Jadi aku akan bisa sepenuhnya misalkan untuk anakku nantinya. Sudah ada tidak ada lagi beban-bebanku dan tidak terselesaikan sebelumnya yang tertaruh pada anakku," sambungnya.

Perempuan lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga menyoroti tentang warisan trauma antargenerasi. Hal itu yang semakin meyakinkan dirinya untuk lebih fokus menyelesaikan berbagai urusan dalam hidupnya terlebih dulu. 

"Aku merasakannya betul (warisan trauma antargenerasi). Aku tahu bagaimana mereka tidak selesai dengan dirinya sendiri lalu menurunkan itu ke keturunan di bawahnya. Nah aku ingin memutus rantai itu. Dengan bener-bener mempersiapkan diriku ketika benar-benar akhirnya aku memutuskan punya anak rantai itu tidak akan berlanjut," ungkapnya.

Pertimbangan ekologi, ujar Fala juga dinilai menjadi salah satu faktor pertimbangan childfree itu muncul. Di dalamnya juga terkait dengan hunian yang perlu disiapkan untuk anak-anak di masa mendatang.

Sedangkan saat ini saja kerusakan alam paling banyak terjadi akibat perluasan lahan. Tidak bisa dihindari bahwa dengan menambah manusia lahir ke dunia ini berarti juga kebutuhan lahan untuk hunian akan terus meningkat. 

"Ketika kita punya anak, semua orang punya anak banyak, nah itu kan juga memperluas lagi pembangunan-pembangunan pembukaan lahan dan sebagainnya. Akhirnya kita ngga punya lagi akses untuk lingkungan yang asri," ucapnya. 

Belum juga, lanjut Fala, ditambah dengan emisi karbon yang dihasilkan tiap orang pun berbeda-beda. Ketika menambah orang tentu akan seiring dengan bertambahnya emisi karbon di bumi.

Berbeda dengan Fala, Aulia Anggit Hanwita (24) dan istrinya Naomi sudah memantapkan diri untuk mempunyai anak di dalam rumah tangganya.

Pasangan yang sudah menikah sejak 4 April 2021 lalu itu hingga saat ini masih terus berusaha dan menanti kehadiran anak pertama mereka. 

"Sudah direncanakan tapi belum rezekinya. Sudah sejak sebelum menikah memang ingin punya anak," kata Anggit saat dihubungi. 

Warga Banjaran, Hargomulyo, Kokap, Kulon Progo itu menyampaikan bahwa keinginan ia dan istrinya punya anak itu memang dilandasi dari sejumlah faktor. Di antaranya terkait dengan kesiapan mereka sendiri baik dari segi finansial ataupun mental.

Dalam hal mempunyai anak bahkan Anggit dan istri telah memperhitungkan semuanya dengan matang. Mereka menaruh perhatian lebih kepada masa depan keluarganya nanti.

"Awal nikah iya pengen langsung (punya anak). Pertama ya karena ideal. Umur saya sekarang 24 tahun nanti kalau sudah punya anak harapannya pensiun di umur 60 itu sudah anggarannya sudah tertata," ujarnya.

Pria yang berprofesi sebagai guru SD Negeri Hargotirto justru menyatakan enggan untuk menunda-nunda dalam memiliki anak. Pertimbangannya adalah persoalan finansial yang juga sudah diatur dan direncanakan saat ini.

Walaupun Anggit juga tidak lantas memaksakan untuk segera dalam waktu dekat bisa menggendong anak. Namun ia dan istri sudah satu pemahaman untuk dalam memiliki momongan dengan waktu yang relatif tidak terlampau lama.

"Kalau ditunda-tunda nanti kalau kesusul biaya kuliah, pendidikan itu kan perlu dimatangkan betul. Selama ini udah ada planning. Tapi semua sedikasihnya Tuhan kita tetap berusaha saja," tuturnya. 

Menurut Anggit, kesiapan finansial menjadi salah satu yang sangat penting dalam setiap rumah tangga sebelum akhirnya memutuskan untuk memiliki anak. Hal itu tidak seharusnya dianggap sepele begitu saja.

Jika ada pendapat yang mengatakan atau bahkan meyakini bahwa memiliki banyak anak akan seiring dengan banyak rezeki. Anggit tidak serta merta meyakini hal tersebut.

"Kesiapan finansial itu penting karena tidak bisa main-main betul ya. Walaupun ada yang bilang banyak anak banyak rezeki tapi ya banyak anak ya harus cari rezeki yang banyak juga," ucapnya.

Selain dari sisi kesiapan mental dan finansial yang telah dipersiapkan secara matang untuk menyambut kedatangan anak pertama. Lebih jauh, Anggit menyatakan bahwa memiliki anak adalah salah satu cara ia dan istri untuk menjalankan ibadah dari agama yang mereka percaya.

Anggit mempercayai bahwa memiliki anak adalah ibadah setelah menikah dan kehadiran anak di dalam bahtera rumah tangga itu juga sebagai anugerah serta titipan dari Tuhan.

"Ya kalau menurut keyakinan di agama kami memang itu jelas, ibadah. Karena anak itu kan titipan Tuhan maka harus kita jaga sebaik-baiknya dan kita maksimalkan dan intinya beribadah ya," tuturnya. 

Lebih personal, Anggit menyebut bahwa berkah lainnya dalam memiliki anak akan dirasakan di masa tua mereka nanti. Hal itu memang belum bisa dirasakan saat mereka masih dalam muda sekarang.

Tetapi perasaan dan kebutuhan dari kehadiran anak di dalam keluarga itu akan lebih tampak jika sudah memasuki usia senja.

"Nanti di masa tua rasanya tetap beda. Kalau misal kita cuma berdua, terus mau minta tolong tetangga ya, tetangga siapa, kalau minta tolong saudara mosok ngerepotin saudara. Ya karena kita kan masih muda ini, jadi apa-apa bisa ditandangi sendiri besok kalau udah tua?" ungkapnya.

Childfree Bertentangan dengan Fitrah

Senada, Dwiki Ananta Putra (24) juga mengaku kurang setuju dengan konsep childfree. Sama seperti Anggit dan istrinya, ia memilih lebih memandang ada tidaknya anak atau keturunan ini dari perspektif agama.

"Menurutku meneruskan keturunan dengan memiliki anak itu sesuatu hal yang menjadi sunah atau perintah agama karena itu penerus kaum. Ada anjuran di agama mendapatkan keturunan atau kebahagaian melalui itu (keturunan)," kata Dwiki.

Ia menilai pandangan childfree itu merupakan suatu hal yang justru tidak sesuai dengan fitrahnya. Dalam hal ini adalah manusia yang berpasangan dan akhirnya memiliki anak atau keturunan.

Pria yang berdomisili di Kalikepek RT 33 RW 15 Giripeni, Wates, Kulon Progo itu percaya memiliki anak itu semakin melengkapi keutuhan sebuah rumah tangga. Anak juga digadang-gadang akan mewarisi seluruh apa yang telah diusakan orang tuanya selama masih hidup.

"Anak itu tidak hanya hubungan dunia saja tapi sampai ke akhirat. Jadi amal jariah orang tuanya, doa yang tidak akan terputus sampai akhir zaman adalah anak soleh salah satunya," ungkapnya.

Berdasarkan landasan pemikiran itu, Guru Bimbingan Konseling (BK) di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta ini pun tidak berpikir dua kali lagi untuk memiliki seorang anak nanti bersama pasangannya kelak. Sebab bukan, lanjutnya anak bukan hanya soal duniawi tapi lebih dari itu.

"Iya sudah mantap (ingin memiliki anak). Mikirnya tidak hanya di dunia tapi sampai ke akhirat," imbuhnya.

Pria yang memiliki latar belakang pendidikan Bimbingan Konseling di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu menilai konsep childfree secara psikologis bahwa konsep ini muncul akibat dari anak yang memiliki luka batin. Kondisi keluarga yang jauh dari kata ideal membuat anak tidak mendapatkan kasih sayang yang diharapkan.

"Kenapa luka batin yang menjadi cikal bakal adanya pandangan childfree karena anak itu menderita waktu kecil, orang tuanya itu broken, coba kalau orang tuanya itu bahagia dan mengajarkan kalau berkeluarga itu seperti ini," paparnya.

Menurutnya childfree adalah wujud kebebasan sebagai manusia yang utuh dan tidak harus terikat dengan norma-norma tertentu. Seperti salah satunya yaitu memiliki anak. 

"Tapi kembali lagi, memiliki keturunan itu sudah ada tuntunannya. Sudah ada fitrahnya," imbuhnya.

Pengaruh Budaya Barat

Psikolog Univeritas Gadjah Mada (UGM), Sutarimah Ampuni menilai ada banyak faktor yang tidak bisa dilepaskan begitu saja terkait munculnya pemikiran Childfree. Di antaranya adalah value atau nilai dari seorang individu itu sendiri terkait dengan kebebasannya.

Ia menyebut bahwa nilai-nilai mengenai kebebasan masyarakat Indonesia saat ini semakin menyerupai nilai yang dimiliki atau dianut oleh budaya orang-orang di negara barat. Hal itu dapat dilihat dari misalnya mengenai penghargaan atau penerimaan atas keberagaman orientasi seksual hingga kepercayaan yang dianut.

“Ini sama dengan childfree, intinya adalah mengenai kebebasan individu. Kebebasan untuk memilih, menentukan, ‘aku mau seperti apa’ itu kan semakin di-acknowledge. Munculnya ya itu penghargaan akan kebebasan individual,” kata Sutarimah saat dihubungi SuaraJogja.id.

Menurutnya saat ini orang-orang lebih terbuka terhadap segala macam nilai yang hadir di tengah masyarakat. Tidak menutup kemungkinan bahwa nilai-nilai yang muncul itu kemudian diadopsi sebagai sebuah pemahaman sesuai dengan kondisi yang dirasakan.

“Jadi kayak misalnya itu tadi, lebih kepada pergeseran nilai dan tentu saja juga faktor pendidikan ya, artinya orang lebih terbuka terhadap segala macam value. Kemudian terinformasi mengenai beragam value yang ada di luar sana gitu sehingga orang menjadi mengadopsi pemahaman itu,” ujarnya.

Sutarimah melihat fenomena childfree ini dari kacamata yang lebih makro. Walaupun tidak dipungkiri tetap akan ada faktor mikro yang membuat seseorang akhirnya memilih untuk menerapkan nilai-nilai tadi.

Salah satu faktor mikro yang cukup berpengaruh sebut saja terkait dengan pola pengasuhan orang tua di masa lalu.

“Memang tentunya juga faktor mikro itu pasti ada. Artinya orang akan mengambil itu sebagai valuenya atau tidak itu pasti faktor mikro berperan ya. Misalnya, faktor pengasuhan kalau orang yang diasuh dibiasakan paham dengan keluarga adalah aset yang sangat berharga pasti dia juga ngga akan atau setidaknya pasti akan mikir-mikir untuk mengambil itu (childfree),” ucapnya.

Kendati memang ada faktor lebih besar atau makro yang mempengaruhi perubahan pola pikir itu. Pergeseran nilai yang dipahami seseorang saat ini membuat pemahaman akan nilai-nilai atau pemahaman itu lebih dapat diterima.

“Lebih kepada pergeseran nilai. Seperti yang saya sebutkan tadi, itu penghargaan atas individualitas, atas nilai sebagai seorang individu itu harus dihargai,” imbuhnya.

Sutarimah menegaskan kondisi pandemi Covid-19 saat ini bukan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pemahaman tentang childfree ini kemudian muncul. Sebab memang pemahaman terkait dengan childfree ini sesuatu yang mendasar.

Bukan juga lantas bisa dipengaruhi oleh faktor finansial sebagai dampak masa pandemi sekarang ini. Pemahaman mengenai keputusan untuk memilih tidak memiliki anak, kata dia bukan sesuatu yang bisa dipengaruhi secara instan begitu saja,

“Engga lah (pandemi tidak berpengaruh), itu kan satu hal yang mendasar ya, kalau pandemi ini kan sesuatu hal yang insidental. Ngga mungkinlah perubahan tiba-tiba karena pandemi lalu mengubah sesuatu yang sangat mendasar itu, engga lah. Saya kira tidak akan semudah itu lah mengubah keputusan untuk punya anak atau tidak, hal itu ngga atau bukan sesuatu yang bisa dipengaruhi secara instan oleh keadaan sesaat,” tuturnya.

Disampaikan Sutarimah bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan masing-masing. Segala keputusan yang akan diambil mengenai ada atau tidaknya anak dalam kehidupan rumah tangga seharusnya juga menjadi urusan pribadi.

Namun yang perlu diperhatikan adalah tidak bisa lantas keputusan itu dibuat secara sepihak saja tanpa melibatkan calon pasangan baik suami atau istri. Bahkan hal kesepakatan yang dijalin sejak awal hubungan itu mutlak untuk dilakukan.

“Sebetulnya kan setiap orang punya kemerdekaan sendiri. Tetapi tentunya kalau keputusan seperti itu harusnya dengan pasangan ya. Kalau maksudnya dengan keluarga besar ya, saya kira itu sudah ranah pribadi ya. Artinya mungkin kalau keluarga besar ya tidak tapi kalau dengan pasangan itu mutlak harus disepakati sejak awal ya. Maksudnya sebelum menikah itu sudah harus dibicarakan,” jelasnya.

Dalam kesempatan ini Sutarimah menekankan bahwa keputusan terkait dengan childfree sudah seharusnya dipikirkan dengan matang. Terlebih lagi bagi para pemuda-pemudi di usia 20an yang tengah berencana untuk menikah.

Keputusan untuk tidak memiliki anak itu juga tidak serta merta hanya didasarkan pada pasangannya saja. Melainkan lebih kepada bagaimana diri sendiri menyikapi konsep tersebut.

"Mungkin perlu saya higlight ya bahwa keputusan seperti itu harus panjang lebar ya. Jadi jangan sampailah suatu saat nanti menyesal. Jadi memang alangkah baiknya keputusan itu tidak hanya didasarkan pasangannya. Ini agak dari sisi yang berbeda, lebih ke sisi mikro ya," tuturnya.

Pengambilan keputusan juga tidak bisa dilakukan secara gegabah apalagi hanya mengikuti tren saja tanpa ada dasar yang jelas. Keputusan yang dihasilkan dengan matang dan penuh pertimbangan menjadi penting.

"Artinya bagaimana sebagai seorang individu sebaiknya, ketika membuat keputusan jangan sampai gegabah. Ya dipertimbangkan masak-masak meskipun bahwa mereka mempunyai kemerdekaan atas dirinya sendiri, dia mempunyai kebebasan untuk menentukan diri," sambungnya.

Pasangan atau seseorang yang akhirnya memutuskan untuk childfree juga harus siap dengan segala macam tuntutan sosial dari masyarakat. Bahkan mungkin dari keluarga besar mereka sendiri yang mendambakan keturunan.

"Itu pasti (doroang sosial). Itu sesuatu hal yang harus dipertimbangkan juga ya, kalau memutuskan mau childfree itu ya harus siap dengan segala macam tuntutan seperti itu baik sekarang atau besok-besok. Jadi apakah siap dengan itu?" ujarnya.

Bahkan kata Sutarimah, tidak menutup kemungkinan keputusan itu masih mungkin akan berubah di kemudian hari. Terlebih jika yang bersangkutan memang sudah memutuskan itu saat usia-usia muda.

Hal tersebut, menurut Sutarimah sebagai fitrah makhluk hidup salah satunya manusia untuk memiliki anak. Sehingga nantinya keinginan untuk memiliki keturunan atau anak itu akan muncul.

"Sangat mungkin (berubah keputusannya), yang namanya memiliki anak itu kan fitrah ya. Makhluk hidup itu kan salah satu tujuan hidupnya adalah untuk berkembang biak ya. Jadi saya kira itu adalah sesuatu yang alamiah, naluriah sebagai makhluk hidup bukan hanya manusia," ucapnya.

Walaupun ia tidak menampik tetap ada yang berpendapat bahwa bereproduksi tidak bisa disamakan dengan mempunyai anak atau bahkan membesarkan anak.

"Tetapi saya kira keinginan untuk mempunyai keturunan itu adalah sesuatu yang naluriah," imbuhnya. 

Ia menekankan sekali lagi pada generasi muda bahwa childfree memerlukan pertimbangan dan kesadaran diri yang benar-benar matang. Terkait tujuan hingga resiko yang mungkin muncul baik di lingkup kecil atau luas.

"Perlu saya tekankan, untuk generasi muda, sebaiknya jika mengambil keputusan akan childfree dipastikan tidak hanya karena ikut-ikutan saja. Pertimbangkan betul jauh ke depan apa tujuannya, apa resiko-resiko yang mungkin muncul, baik untuk diri sendiri maupun lingkaran yang lebih luas," tegasnya.

Childfree Belum Banyak Dibahas

Kepala Seksi Kesehatan Masyarakat Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan DIY, Prahesti Fajarwati mengaku belum banyak yang membahas terkait pemahaman Childfree khususnya dalam lingkup DIY.

"Kalau saya secara pribadi di DIY ini, di kami secara program pun kok kayaknya teman-teman di kabupaten kota pun seperti malah belum banyak membahas tentang isu itu (childfree) kalau di DIY. Mungkin itu menjadi isu kalau yang ada di kota-kota besar, sudah mulai tren ya, tapi kalau di DIY belum terangkat masalah seperti itu," ujarnya.

Justru, kata Hesti, saat ini yang tengah difokuskan adalah upaya menurunkan risiko pada ibu hamil. Mulai dari menjaga kesehatan ibu itu sendiri dari penyakit-penyakit tertentu sebelum hamil hingga pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB).

"Kita edukasi, tapi itu kadang juga masih lolos terjadi kehamilan ya terus bagaimana lagi terus tetap kita openi dan di layanan kesehatan juga tetap kita pantau baik gitu. Agar harapannya nanti keluar kehamilannya bisa lahir sehat, bayi sehat semuanya seperti itu," terangnya. 

Mengenai pemahaman atau konsep yang memang sengaja tidak memiliki anak, disampaikan Hesti belum ditemukan dalam pasangan-pasangan atau pribadi yang telah ditangani selama ini. 

"Tetapi kalau untuk yang memang sengaja untuk tidak memiliki anak, sepertinya saya belum (menemui). Mungkin nanti malah yang di survei-survei pengetahuan remaja itu mungkin ada pola mungkin di sekolah apa mereka sudah mulai punya insight dalam diri seperti itu mungkin," sebutnya.

Kesehatan reproduksi dan program KB masih menjadi tema yang terus diangkat oleh tidak hanya Dinas Kesehatan tetapi juga ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, dan lainnya.

"Artinya kalau di kesehatan dari kita sudah di hilir. Jadi hulunya itu bagaimana masyarakat ber-KB untuk menjaga kesehatan sejak remaja seperti apa, sehingga nanti pada saat dia menjadi calon ibu itu sehat. Calon ibu pada saat menjalani kehamilan juga harusnya dalam kondisi sehat gitu ya. Tanpa penyakit atau terkontrol jika punya penyakit atau terpantau dengan baik. Harapannya kan seperti itu," paparnya.

Sebab tidak jarang ditemui dalam sejumlah kasus ternyata si ibu tidak pernah memeriksakan kesehatannya. Sehingga baru justru diketahui memiliki penyakit saat sudah hamil.

Hal itu bisa justru membuat blunder dan tidak ideal bagi kondisi ibu hamil sendiri. Dukungan asupan nutrisi yang dibutuhkan dan berbagai perosalan lainnya menjadi serba cepat dan juga belum tentu mendapatkan hasil seperti yang dikehendaki.

Justru mempersiapkan kehamilan itu perlu dilakukan sejak dini bahkan saat usia-usia remaja. Dengan berbagai upaya edukasi kesehatan reproduksi salah satunya dari sekolah-sekolah.

"Kita masuk ke sekolah dengan kendaraan UKS, edukasi ke siswa semua mengenai kesehatan reproduksi merencanakan keluarga, ya itu agar, menyadari bahwa ngga cukup loh kalau mempersiapkan ingin punya anak yang sehat itu hanya pada sudah hamil kemudian makan bergizi dan sebagainya. Tetapi justru sebelum hamil, bahkan sejak masa remaja itu sudah dibentuk supaya saat hamil sudah baik semuanya," tuturnya. 

Edukasi Sepanjang Siklus Kehidupan 

Lebih lanjut, Hesti menuturkan bahwa waktu ideal untuk seseorang mulai mendapatkan edukasi tentang mempersiapkan masa kehamilan itu justru ada di sepanjang siklus hidup. Dalam artian tidak hanya cukup intervensi kesehatan di saat hamil tetapi bahkan jauh sebelum itu.

"Ada istilahnya di sepanjang siklus kehidupan. Jadi kalau ingin ibu itu sehat maka tidak cukup hanya intervensi kesehatan dan lain-lain itu pada saat ibu hamil tetapi sebelum hamil. Seperti pada saat wanita subur atau juga malah sebelummya pada saat usia remaja tadi," ujarnya.

Kesehatan tubuh secara keseluruhan itu menjadi kunci. Dimulai dari pola makan sehat dan bergizi yang dibentuk sejak dini atau saat usia anak-anak. 

Di sini peran keluarga sangat dibutuhkan dalam membangkitkan dan menjaga pola hidup yang sehat itu. Edukasi dari tingkat paling kecil yaitu keluarga menjadi hal yang diperlukan untuk membimbing anak-anak agak tetap ada jalur yang baik.
 
"Untuk meningkatan kesehatan itu memang dari keluarga menjadi landasan yang utama dan pertama ya," tegasnya.

Upaya itu juga telah didukung dengan Perda DIY Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga yang sebelumnya juga diinisiasi oleh DP3AP2.  

Menurut Hesti, pendekatan yang dilakukan saat berada di dalam keluarga itu sangat penting. Sebab nantinya itu menjadi landasan untuk perkembangan dan kesehatan anak selanjutnya. 

Namun ia menilai masih perlu banyak tenaga ekstra atau upaya lebih dalam memaksimalkan peran keluarga tersebut. Sebab tidak dipungkiri bahwa tingkatan keluarga tadi adalah level yang paling kecil dan intens.

"Sehingga pemantauan, intervensi kita kadang masyarakat yang aktif memang aktif. Tetapi yang tidak peduli atau cuek juga ada dan bagaimana juga caranya kita bisa mengakses ke mereka. Kita melalukan pendekatan dari berbagai unsur, sektor, organisasi seperti PKK, dasawisma itu selalu digemborkan," ucapnya.

Hesti menyebut justru yang terpenting sekarang adalah membuat masyarakat itu sadar tentang pentingnya edukasi itu kepada anak-anak. Khususnya edukasi dan pemahaman yang ditanamkan melalui keluarga. 

"Tetapi yang penting sekarang adalah apakah masyarakat itu bisa menyadari bahwa itu (edukasi kesehatan reproduksi dan lainnya) adalah sebuah hal yang penting untuk kita-kita, untuk mereka gitu ya. Jadi bukan kita yang harusnya begini-begini, tetapi menyadari ngga sih itu kebutuhan kita, yang terbaik untuk kita seperti ini. Nah itulah tantangan juga untuk bisa membuat masyarakat lebih menyadari pentingnya keluarga," urainya.

Belum lagi sekarang kondisinya akan semakin bertambah kompleks menyusul kesibukan masing-masing orang tua. Tidak jarang akibatnya anak harus ditinggal hingga dititipkan ke orang lain sehingga pola pengasuhan pun kurang maksimal. 

Ditanya mengenai pandangan masyarakat tentang kesehatan reproduksi sendiri, kata Hesti, dari berbagai kegiatan diskusi yang telah dilakukan tidak lagi terlalu kuat pandangan tabu soal itu. Masyarakat sekarang dinilai sudah lebih bisa mulai terbuka dengan tema-tema pembahasan kesehatan reproduksi. 

Kondisi saat ini berbeda dengan dalam beberapa tahun yang lalu. Saat ini pertemuan-pertemuan di sekolah pun yang membahas kesehatan reproduksi sudah sering dilakukan.

Sekarang, kata Hesti, pada sektor pendidikan bahkan sudah mulai ada inisiatif tersendiri dalam lebih membahas kesehatan reproduksi ini. Salah satunya dengan membuat buku pedoman bagi guru terkait pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja di tingkat SMK.

"Jadi itukan sudah mulai terbuka ya, sudah mulai terbuka tidak tabu sekali seperti itu. Tetapi memang mungkin masih ada kegamangan dari orang tua untuk menjelaskan masalah kesehatan reproduksi pada anak," terangnya.

Hesti menyoroti peran pendampingan orang tua atau bahkan guru terhadap anak-anak khususnya untuk seputar masalah kesehatan reproduksi. Termasuk dengan cara menghadapi rasa penasaran dari anak yang tak jarang membuat orang tua bingung.

Pendampingan secara maksimal dari orang tua kepada keingintahuan anak itu diperlukan agar anak juga tidak sembarangan dalam menyaring informasi yang masuk. Terlebih di era digital saat ini yang membuat mudahnya masyarakat mengakese internet.

"Kira-kira jawabnya apa kalau ditanya tentang pacaran, ciuman seperti itu, mungkin kan rasanya 'ih gimana ya', saya bilang kalau bapak ibu tidak menjawab anaknya nanti tanya kemana. kalau sekarang tanya ke mbah google, itu kan malah lebih bahaya lagi. Nah saya membuka wawasan para orang tua juga para pendidik supaya ayolah kita tangkap anak-anak yang sedang dalam masa keingintahuan yang besar ini," ajaknya.

Jika pun orang tua tidak tahu jawabannya, lanjut Hesti orang tua tetap diharap bisa mendampingi anaknya. Baik dengan cara menanyakan orang lain yang lebih paham atau ikut aktif terlibat dengan anak dalam mencari informasi itu.

Sikap dari orang tua itu akan membuat anak kemudian merasa aman dan nyaman. Sehingga anak juga akan bisa lebih terbuka dengan tema-tema pembahasan khususnya terkait kesehatan reproduksi. 

"Sehingga anak merasa aman dan menganggap orang tua sebagai tempat yang bisa diajak untuk berdiskusi atau bertanya, menganggap masa-masa remaja itu sebagai teman gitu. Itu merasa lebih aman. Pendampingan orang tua itu sangat penting karena keluarga tadi yang pertama dan utama," tegasnya.

Dalam kesempatan ini Hesti turut memberi saran dan imbauan kepada perempuan sebagai calon ibu di masa depan. Baik itu wanitas yang sudah memasuki usia subur atau justru yang masih remaja.

Ia mengajak para remaja dan perempuan terutama untuk lebih sadar dalam mempersiapkan dirinya sendiri jika memang nantinya memutuskan memiliki anak. Sehingga akan lahir generasi yang juga berkualitas dan tetap menjaga kesehatan ibu dan anak.

"Yuk persiapkan untuk nanti bisa menjadi calon ibu yang sehat agar nanti pada saat begitu hamil juga sehat, melahirkan generasi yang berkualitas, sehingga punya tujuan. Remaja itu harus punya tujuan hidup nanti seperti apa dan tujuan harus disiapkan dari awal sejak masa usia remaja," sarannya. 

Ditambahkan Hesti, pihaknya dari Dinkes atau instansi lain hanya bisa memberikan tidak lebih dari konseling atau informasi saja. 

Tetapi kemudian pilihan untuk menentukan kehidupan masa depannya akan dikembalikan ke masing-masing orang dan sudah seharusnya dimulai sejak remaja.

"Jadi kita hanya bisa memberikan kalau konseling itu kita hanya bisa memberikan informasi tentang banyak hal tetapi kemudian pilihan itu ada pada anak-anak remaja semuanya. Mau jadi remaja seperti apa itu ada di tangan teman-teman sendiri," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak