Heru Hidayat Lolos Hukuman Mati Dapat Vonis Nihil, Pukat UGM Soroti Hal Ini

Sejak awal pihaknya berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Heru Hidayat itu bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Eleonora PEW | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 20 Januari 2022 | 15:31 WIB
Heru Hidayat Lolos Hukuman Mati Dapat Vonis Nihil, Pukat UGM Soroti Hal Ini
Terdakwa korupsi dana Asabri, Heru Hidayat memberi salam usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan kasus korupsi ASABRI oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/1/2022). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraJogja.id - Terdakwa korupsi dana ASABRI Heru Hidayat menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan kasus korupsi Asabri oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/1/2022). Majelis Hakim menjatuhkan vonis nihil kepada Heru Hidayat karena sudah mendapatkan hukuman maksimal dalam kasus sebelumnya.

Menanggapi hal tersebut, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menegaskan bahwa sejak awal pihaknya berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Heru Hidayat itu bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Dalam kasus ini terdakwa dinilai telah melakukan tindak pidana yang perbarengan. Artinya, terdakwa melakukan suatu perbuatan pidana kemudian melakukan tindak pidana yang lain sebelum tindak pidana yang pertama diadili.

"Jadi meskipun salah satu kemudian yang Jiwasraya itu diadili terlebih dahulu tetapi kan setelah jatuh pidana di Jiwasraya kemudian tidak melakukan tindak pidana korupsi di Asabri," kata Zaenur saat dihubungi awak media, Kamis (20/1/2022).

Baca Juga:PN Jakpus Jatuhkan Vonis Nihil ke Heru Hidayat, Pakar Hukum Pidana Buka Suara

Dilanjutkan Zaenur, karena kemudian tindakan yang bersangkutan tidak termasuk dalam kategori pengulangan tindak pidana maka syarat untuk penjatuhan pidana mati tidak terpenuhi.

Ia menjelaskan setidaknya ada tiga kondisi pidana mati dalam tindak pidana korupsi bisa dijatuhkan. Di antaranya kondisi perberatan saat korupsi dilakukan dalam situasi bencana, kedua krisis ekonomi atau keuangan, ketiga adalah pengulangan tindak pidana.

"Nah tiga syarat itu tidak terpenuhi dalam konteks perbuatan yang dilakukan oleh Heru Hidayat. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa Heru Hidayat tidak dijatuhi pidana mati oleh majelis hakim itu sudah seharusnya. Karena memang syarat untuk dijatuhi pidana mati tidak terpenuhi," terangnya.

Namun terkait dengan pidana nihil yang dijatuhkan majelis hakim, kata Zaenur, memang dimungkinkan untuk menyerap pidana maksimal yang sudah dijatuhkan sesuai dengan aturan KUHP. Mengingat pidana mati tidak mungkin dijatuhkan kepada terdakwa sebanyak dua kali.

"Tetapi menurut saya, karena KUHP itu di Pasal 193 ayat 1 itu menyatakan bahwa kalau terdakwa berhasal harus dijatuhi pidana. Maka seharusnya majelis hakim bisa menjatuhkan pidana seumur hidup bersyarat kepada Heru Hidayat," ungkapnya.

Baca Juga:Vonis Nihil Heru Hidayat Usik Rasa Keadilan Masyarakat, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin: Tak Ada Kata, Selain Banding!

Ia memaparkan pidana seumur hidup dari kasus PT. Asabri itu tidak perlu dijalankan jika pidana seumur hidup Jiwasraya itu sudah dijalankan. Tetapi pidana seumur hidupnya PT. Asabri dijalankan kalau misalnya terjadi perubahan kondisi pada pidana seumur hidupnya Jiwasraya.

Hal itu guna mengantisipasi jika nantinya Heru Hidayat menerima perubahan pidana. Misalnya melalui pidana hukum dengan peninjauan kembali atau upaya-upaya hukum lainnya.

"Misalnya diubah hukumannya, melalui proses peninjauan kembali begitu ya, misalnya di situ diubah dari seumur hidup menjadi 20 tahun maka kondisi pidana seumur hidupnya (kasus) Asabri itu menjadi berlaku begitu," urainya.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai oleh Ignatius Eko Purwanto sebelumnya telah memvonis nihi Heru sebagai terdakwa kasus korupsi PT Asabri.

Dia lolos dari tuntutan hukuman mati yang dijatuhkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam sidang putusan, Eko menyatakan Heru terbukti bersalah melakukan korupsi bersama-sama. Meski demikian, Eko berpedoman pada Pasal 67 KUHP yang menyatakan, seseorang yang telah dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhi pidana lagi, kecuali hak-hak tertentu.

Heru sendiri memang telah divonis maksimal pidana penjara seumur hidup dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara sebesar Rp 16,807 triliun. Oleh karenanya, majelis hakim menjatuhkan pidana nihil kepada terdakwa.

Hakim anggota, Ali Muhtarom menjelaskan ada tiga alasan tuntutan jaksa tidak dikabulkan oleh majelis hakim.
Pertama, jaksa menuntut Heru dengan pasal berbeda yang digunakan dalam dakwaan.

Heru didakwa Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001. Namun, jaksa menuntut hukuman mati dengan menggunakan Pasal 2 ayat 2 di UU yang sama.

Selain itu, majelis hakim menilai jaksa tidak bisa membuktikan Heru telah melakukan tindak pidana korupsi sesusai dengan ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.

Tak hanya itu, dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor tersebut juga dijelaskan bahwa pemberian hukuman mati dalam pasal tersebut tidak diwajibkan atau bersifat fakultatif.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak