Invasi Rusia ke Ukraina Jadi Bibit Perang Dunia Ketiga, Pengamat: Segala Kemungkinan Bisa Terjadi

Rusia menjadi begitu geram dengan keinginan Ukraina yang mau gabung NATO

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 25 Februari 2022 | 18:24 WIB
Invasi Rusia ke Ukraina Jadi Bibit Perang Dunia Ketiga, Pengamat: Segala Kemungkinan Bisa Terjadi
Sebuah gedung tampak hancur usai dihantam roket yang dilepaskan tentara Rusia di wilayah timur Ukraina, Kamis (24/2/2022). (Foto: AFP)

SuaraJogja.id - Ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina semakin memanas. Invasi Rusia di Ukraina sudah tidak bisa dihindari. 

Tak sedikit masyarakat internasional yang berspekulasi bahwa konflik tersebut akan bermuara pada perang dunia ketiga. Bahkan pengamat Hubungan Internasional UGM Muhadi Sugiono pun menilai bahwa kemungkinan terburuk dari konflik tersebut bisa saja menuju ke arah sana.

"Kalau bicara tentang kemungkinan menjadi perang dunia ketiga ya atau tidak segala kemungkinan bisa saja terjadi ya," ujar Muhadi saat dihubungi awak media, Jumat (25/2/2022).

Belum lagi mengingat bahwa proses terjadinya konflik geopolitik ini berlokasi di daratan Eropa. Kemudian ketika ditelisik lebih jauh juga sebenarnya Eropa menjadi asal dari semua perang dunia.

Baca Juga:Bisnis dan Kekayaan Roman Abramovich, Taipan Rusia yang Dipaksa Hengkang dari Chelsea

"Nah persoalannya sekarang ini sebenarnya terjadi karena rasa ketidakamanan Rusia dengan keinginan Ukraina ingin menjadi anggota NATO," ucapnya.

Dijelaskan Muhadi, Rusia menjadi begitu geram dengan keinginan tersebut karena saat ini Ukraina adalah benteng terakhir yang memberikan ruang kosong antara Rusia dengan NATO. Jika Ukraina ini menjadi anggota NATO berarti Rusia akan berhadapan langsung di perbatasan dengan NATO. 

"Oleh karena itu bagi Putin sebenarnya ini situasi yang tidak bisa diterima," jelasnya.

Muhadi menuturkan bahwa kekecewaan Putin sendiri sebenarnya punya alasan. Sebab saat Gorbachev dulu menjadi presiden di Rusia atau lebih tepatnya di Uni Soviet, ketika Tembok Berlin akan diruntuhkan.

Saat itu kemudian Gorbachev ingin memperoleh jaminan bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi keanggotaan ke timur ke wilayah yang bekas Uni Soviet. Namun itu tidak terjadi justru NATO menambah banyak anggota kemudian Uni Eropa juga melakukan ekspansi ke timur termasuk ke Ukraina.

Baca Juga:Petinju Bersaudara Klitschko Kobarkan Genderang Perang Melawan Rusia, Siap Angkat Senjata!

Meskipun belum menjadi anggota Uni Eropa, Ukraina dinilai sudah memperoleh associated agreement yang itu menjadi langkah awal sebelum sebuah negara itu menjadi anggota Uni Eropa. 

"Nah, ini menjadi faktor sensitif karena Rusia seperti terkepung nantinya, dia akan terisolir dan sebagainya-sebagainya. Oleh karena itu di dalam perundingan-perundingan awal ketika krisis ini di awal, itu kan Rusia menekankan pentingnya jaminan bahwa NATO tidak akan memasukkan Ukraina ke dalam keanggotaan NATO nanti. Itu yang tidak mau dilakukan oleh Amerika," paparnya.

Amerika di satu sisi ingin bahwa hal itu dilakukan tanpa syarat. Rusia harus menarik pasukannya dari sana tanpa syarat apapun. 

"Jadi ini sebenarnya sikap yang take it or leave it itu kan hanya bisa dilakukan oleh negara dengan kekuatan yang tidak seimbang. Jadi kalau kita bernegosiasi dengan dasar yang tidak seimbang misal saya dalam posisi superior gitu saya mengatakan, kamu mau ini atau tidak? Ya kan, tapi persoalannya Rusia tidak seinferior itu," terangnya.

Di sini, kata Muhadi, Rusia punya kebutuhan yang serius bahwa negaranya membutuhkan jaminan keamanan itu. Dengan tidak menjadikan Ukraina menjadi bagian dari NATO tetapi itu yang tidak diinginkan Amerika.

"Sebenarnya kalau kita mau berbicara tentang perdamaian, perdamaian itu negosiasinya ya harus kita memperhatikan concern dari lawan itu. Nah saya tidak mengatakan invasi Rusia itu betul tetapi Rusia itu punya alasan yang mungkin banyak yang tidak mempertimbangkan itu," ujarnya.

Di sisi lain, NATO juga tidak bisa masuk ke dalam konflik tersebut. Pasalnya Ukraina sendiri belum tergabung dalam NATO. 

"Makanya yang bisa dilakukan hanyalah mensuplai senjata atau memberi bantuan," sebutnya.

Muhadi mengungkapkan keadaan saat ini yang dinilai cukup merisaukan adalah Amerika yang juga mengirimkan pasukan ke Eropa. Hal itu membuat adanya potensi eskalasi konflik yang menambah runyam persoalan tersebut.

"Ini kalau kita bicara tentang perang dunia ketiga itu ya di situ itu kemungkinannya. Eskalasi itu, misalkan rudal Rusia ternyata masuk ke wilayah salah satu negara NATO, kan Ukraina itu sebelahnya sudah NATO semua itu. Nah itu kalau satu negara anggota NATO itu terkena, ya sudah NATO punya alasan untuk masuk ke sana," urainya.

"Jadi ruang itu terbuka sekali. Nah bayangannya Ukraina itu selama ini kan agak keras kepala juga gitu ya. Jadi dia membayangkan NATO akan masuk tapi kan gak bisa begitu saja. Kecuali kemudian NATO kemudian merasa terancam karena ada rudal yang masuk ke salah satu negara anggota NATO, kemudian semua negara anggota NATO bisa masuk," sambungnya.

Ketika ditanya kemungkinan Ukraina yang bergabung je NATO saat konflik sekarang ini, kata Muhadi, tidak mungkin terjadi. Sebab tetap akan memerlukan proses yang lama untuk mengatur hal tersebut.

"Selama ini sebenarnya Amerika selalu mengatakan open keanggotaan Ukraina tapi kalau dalam situasi seperti ini nggak mungkin (bergabung NATO)," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak