SuaraJogja.id - Raffi Ahmad dan Nagita Slavina diketahui membeli tiga sapi untuk disembelih pada Idul Adha 2022 dari seorang peternak sapi di Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Tiga sapi itu adalah anak-anak bulu dari keluarga Pandi Daryatmo. Mereka adalah tiga dari total sembilan sapi yang kali terakhir ada di kandang Pandi.
Pandi bukan orang baru di dunia ternak sapi. Informasi-informasi baik tentang sapi-sapinya itu, bahkan yang menjadi juru jalan bagi Suarajojgja.id dalam mencari kediaman Pandi.
"Woo, iya. Oalah, itu rumahnya di sana. Ini nanti ada jalan agak naik to, nah ada rumpun bambu. Nanti rumahnya ke kiri, masuk-masuk," terang seorang warga dari Padukuhan Krajan. Sebuah kampung warga yang berdampingan dengan Padukuhan Salam, dibatasi sebuah jembatan.
Baca Juga:Diberi Nama OntoSeno, 5 Potret Sapi Kurban Raffi Ahmad Seberat 1,3 Ton
Saat disambangi, nampak bahwa kediaman Pandi adalah sebuah rumah dengan tampilan sederhana ala keluarga desa di Jawa, yang punya halaman cukup luas dan bersebelahan dengan kandang sapinya.
"Saya itu sudah lama ternak sapi," kata Pandi, membuka percakapan, Senin (11/7/2022).
"Pak Raffi Ahmad dan Nagita Slavina itu beli tiga [sapi] dari sini. Namanya yang Ontoseno itu, lalu Semar, satu lagi Batik Madrim," ujarnya.
Sebetulnya, setiap kali sapi-sapinya tumbuh dewasa dan terlihat bentuk tubuhnya, Pandi selalu memberi nama sapi-sapinya. Walau ia akui, sesekali ia belum memberikan nama sapinya setelah berpindah tuan.
Ia menjelaskan, Ontoseno adalah sapi metal atau jenis simental yang sempat dinaiki Raffi Ahmad. Punya bobot 1,3 ton.
Baca Juga:Raffi Ahmad dan Nagita Slavina Beli 20 Ekor Sapi Kurban, Waw!
"Dinamai Ontoseno karena dia kan badannya tinggi itu, panjang. Wah itu kalem sekali itu, kalau dinaiki [sapinya] kalem," ungkap Pandi, kala diajak mengobrol di teras rumahnya.
Sambil duduk bersila, lulusan SMK Jetis, Kota Jogja ini melanjutkan, dua sapi lain miliknya yang dibeli Rans Entertainment adalah Semar dan Batik Madrim. Masing-masing berbobot 1,1 ton.
"Kalau Semar itu besar badannya. Kalau Batik Madrim itu dinamai karena kalem, Batik Madrim itu kan kalem," sebut Pandi.
Idul Adha kali ini, sapi Pandi bukan hanya dibeli oleh Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Melainkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, untuk keperluan kurban di Blimbingsari.
"Kalau yang dibeli pak Anies itu belum dikasih nama," sebut pria 73 tahun ini.
Bukan hanya Anies Baswedan dan Raffi Ahmad yang pernah membeli sapi dari Pandi. Kalau mau disebutkan, beberapa nama populer yang pernah menjadi pembeli sapi Pandi adalah Presiden Joko Widodo, Irfan Hakim dan Mensesneg, Pratikno.
"Jokowi dua kali dari sini, sapinya untuk Idul Adha juga. Waktu itu untuk dibawa ke Paliyan, Gunungkidul namanya Si Black, satu lagi Jembul, dibawa ke Kalibawang, Kulon Progo," tuturnya.
Kepiawaiannya merawat ternak sapi membuatnya dikenal ke mana-mana. Tim Rans Entertainment bahkan secara spontan, kala menyampaikan keinginan membali sapi yang ia besarkan bersama anggota keluarga itu.
"Itu dia dari Jakarta, ke Jogja. Lalu ke Cangkringan, tanya-tanya, mungkin ya, kan saya punya teman, lalu ingin beli sapi sini," kata dia.
Ludes diborong Rans dan pembeli-pembeli lain, saat ini tinggal dua ekor sapi yang ada di dalam kandangnya. Keduanya sapi metal masih berusia tujuh bulan.
"Itu saja sudah dipesan. Rencananya akan dibawa ke Malang atau Surabaya," ungkap lelaki yang lulus SMK pada sekitar 1970 ini.
Sewaktu Pandi masuk, salah satu sapi sedang asyik rebahan, hanya kepalanya yang masih mau menengok kanan dan kiri. Sedangkan satu yang lain aktif sesekali berpindah tempat dan terus berdiri. Ekornya tak berhenti berkibas.
"Saya selalu pelihara sapi jantan. Kalau betina enggak suka. Sapi betina itu terlalu lama pertumbuhannya," terang dia.
Pandi mengingat-ingat, ia mulai serius beternak sapi kurban saat berkeluarga. Selesai menempuh pendidikan, keluarga tak memperkenankan dirinya untuk bekerja.
Ayah Pandi wafat sejak ia masih duduk di bangku kelas VII SMP. Sebagai cucu paling besar, ia diminta menunggu rumah, mendampingi adik-adiknya sembari beternak.
Ilmu beternak sapi turun-temurun dari orang tua dan kakek neneknya yang ia jadikan bekal saat ini. Tentunya dengan dibantu informasi-informasi terbaru yang mengikuti perkembangan zaman.
"Kalau ada apa-apa ya tanya ke dokter hewan atau ke Puskeswan," ujarnya.
Sebelum beternak sapi, Pandi pernah beternak kerbau. Ia akhirnya ubah haluan, karena bila beternak kerbau, maka harus sesekali menggembalakan kerbaunya di lahan yang lapang.
"Kudu diumbar. Coro jowone ngangon (Harus dilepas. Istilah dalam bahasa jawa itu menggembala)," tambahnya.
Awal beternak sapi, ia hanya membesarkan anabul untuk keperluan membajak sawah. Itupun sapi jenis biasa. Yang menurut dia waktu membesarkannya cukup lama, membutuhkan sekitar tiga sampai empat tahun.
Hingga selanjutnya ia memilih serius beternak sapi pada tahun 2.000. Hasil beternak sudah bisa ia manfaatkan untuk membiayai anak kuliah, sekolah, membeli tanah, kendaraan dan membuatkan anak-anaknya rumah.
Meski ia sudah berhasil sebagai peternak, Pandi tak pelit membagikan ilmu kepada orang-orang yang bertanya kepadanya. Pembelajar yang datang kepadanya bukan hanya dari Jogja, tetapi juga dari Jepara, Banyumas, Sragen, Karanganyar.
"Ilmu itu kan bermanfaat bagi yang membutuhkan," kata dia.
Seperti Malika, Sapi Dirawat Laiknya Anak Sendiri
Sapi-sapi Pandi bisa tumbuh dengan optimal, sehat dan laku dengan harga fantastis tak lain karena dirawat penuh cinta serta kasih bagaikan anak sendiri.
Selama ini, ia merawat sapi bersama seluruh keluarga dengan berbagi tugas. Ada yang kebagian memberi makan, membersihkan kandang, kontrol kesehatan, memberikan obat dan vitamin. Istri dan anak perempuannya mendapat bagian memasak menu pakan.
"Sulistyo [salah satu nama anaknya] itu sebelum kerja membersihkan kandang. Pulang jam 10.00 WIB atau jam 12.00 WIB dia ngombor," sebut Pandi.
Pakan bagi anabul Pandi dan keluarga tak sembarangan. Singkong tua dan rerumputan segar jadi menu wajib bagi sapi-sapi, pagi dan sore. Bahkan ia punya penjual singkong langganan dan menanam sendiri rumput pakan.
Ia menolak memberi rumput fermentasi atau kering bagi anabul mereka. Pakan bagi sapi wajib rumput segar.
"Setiap hari ambil, siang ini ambil [rumput], sore dikasihkan. Kalau difermentasi saya enggak suka, saya juga tidak memberi konsentrat. Makanan lebih baik yang segar, proteinnya lebih alami," ujarnya.
"Kalau makan sehat, sapinya kan sehat juga," imbuh dia.
Sapi-sapi juga diberikan telur bebek dalam jumlah berbeda, menyesuaikan ukuran tubuh masing-masing sapi.
Pemantauan kesehatan seperti pemberian vaksin, vitamin, obat cacing jadi satu agenda yang tak boleh dilewatkan.
"Tanya dokter hewan kalau ada kesulitan apa-apa," ucapnya, sembari mengubah posisi duduknya.
Pandi tak main-main pula menyangkut kebersihan kandang dan tubuh sapi. Kandang dibersihkan setiap pagi dan sore. Selain itu, menjadi sapi di kandang Pandi, artinya harus siap dimandikan dua kali sehari.
"Wah iya, sapi dari sini itu bersih sekali, paling bersih," jawab Pandi, kala sapinya dipuji terlihat bersih, lewat gambar di media sosial dan kanal Youtube.
Pada intinya, merawat sapi membutuhkan komitmen besar untuk mengurus kesehatan, makan dan kebersihannya.
"Seperti anak sendiri. Bahkan yang punya belum makan, sapinya sudah makan duluan," guraunya.
Musim PMK, Pandi: Selain Anggota Keluarga Tidak Boleh Masuk Kandang
Di saat banyak peternak kelimpungan mengurus ternak mereka yang terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK), ia tak menanggapinya berlebihan.
Namun, ia akui, sejak PMK masuk ke DIY, ada sedikit perbedaan yang ia lakukan kepada kandang dan sapi-sapinya. Tentunya sebagai langkah pencegahan agar sapi milik Pandi dan keluarga tetap sehat. Langkah antisipatif yang dipilih Pandi persis semi lockdown.
"Kalau habis ada orang lihat [sapi], langsung saya semprot antiseptik. Baik kandangnya dan sapinya. Terutama kandangnya ya, kalau sapinya semua tubuhnya saya semprot, punggungnya, kakinya, kecuali dahi," sebut dia.
"Akhir-akhir ini, saya larang orang lihat sapi di kandang. Tidak boleh ada yang masuk kandang, kecuali anggota keluarga," tegas dia.
Kini, ia menahan diri membeli anakan baru sapi untuk digemukkan. Situasi PMK membuat ia fokus terlebih dahulu mengurus dua sapi metal terakhir.
"Belum berani [beli]," ucapnya.
Pernah Gagal, Namun Baginya Hal Biasa
Usai mempersilakan tim Suarajogja.id menyeruput teh hangat yang baru saja disajikan oleh putrinya, Pandi melanjutkan bunga rampai kehidupannya sebagai peternak sapi.
Menurut Pandi, menjadi manusia itu harus ada perubahan dari waktu ke waktu. Pandi mengakui, pundi-pundi uang miliknya dulu tak seperti sekarang, biasa saja.
Perjuangannya dalam beternak sapi pada akhirnya bisa sedikit demi sedikit membawa wajah baru dalam kehidupan keluarganya. Setidaknya dalam segi ekonomi.
"Kalau dulu bisa beli sepeda, sekarang bisa beli motor," terangnya.
Sapi hasil gemukan Pandi dibanderol harga Rp25 juta untuk yang termurah, sedangkan untuk harga tertinggi berada pada kisaran Rp200 juta.
Hati lapang Pandi juga membuatnya jujur atas kegagalan membesarkan sapi yang ia miliki. Setahun lalu, salah satu sapi yang ia besarkan mati.
"Bukan karena penyakit. Tetapi karena sapinya terinjak sapi yang lebih besar," paparnya.
Tak perlu menanyakan kepada Pandi bagaimana perasaannya saat itu. Karena sejurus kemudian, kalimat bijak Bestari meluncur dari bibirnya.
"Gagal itu biasa. Rezeki itu kan ditentukan oleh Allah. Hidup mati itu sudah takdir, enggak bisa diingkari. Jadi saya biasa saja [sapi mati terinjak]," kata dia, dengan tangan yang sembari mengelus sendiri kepalanya dan duduk 'jegang' bersandar tembok.
Sekalipun amat bersyukur dapat berkurban sapi kala Idul Adha, Pandi tak pernah mau ikut menjadi petugas penyembelih hewan kurban.
"Gak tega. Karena kan sehari-hari sudah mengurusi. Kalau terpaksa diminta ikut potong dagingnya saya mau, dagingnyapun saya masih bisa makan. Tapi kalau menyembelih saya enggak lihat," kepalanya berpaling diikuti tawa kecilnya.
Dari segenap pengalaman yang ia punya sebagai peternak sapi, Pandi dan keluarga akan terus beternak.
"Sepanjang masih mampu, akan terus," tandasnya.
Tia, Istri Sulistyo: Saya Bangga Dengan Suami Saya dan Perjuangannya
Nama Sulistyo, salah satu putra Pandi Daryatmo ikut dikenal khalayak setelah disebut-sebut sebagai pemilik sapi yang dibeli oleh Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.
Sulistyo benar turut bahu-membahu bersama Pandi dan anggota keluarga yang lain merawat sapi-sapi di kandang.
Tanggung jawab itu terhitung tak mudah bagi seorang Sulistyo, yang merupakan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Asri Medical Center Kota Jogja. Pun demikian bagi Aprilia Dwitiasari, istri Sulistyo.
Sulistyo dan Tia tinggal berbeda rumah dengan Pandi. Keluarga kecil ini tinggal di Padukuhan Panggung, Kalurahan Argomulyo.
Siang itu Sulistyo masih bekerja, sedangkan Tia sedang mendampingi anak-anaknya.
Tia mengaku bangga dengan suaminya, yang sudah berjuang di tengah kesibukannya sebagai tenaga kesehatan, ayah dan suami, sekaligus peternak yang serius.
"Suami saya ikut cari pakan sapi, meracik dan memberi pakan hingga sapi berukuran besar-besar," tuturnya.
Suaminya selalu pulang ke rumah di Salam untuk memberi pakan sapi. Bukan hanya satu atau dua kali, terkadang sampai tiga atau empat kali.
"Sepulang kerja sore, dia nanti urus sapi dari sampai jam 00.00 WIB atau 01.00 WIB. Pagi sudah kerja lagi, dari dulu seperti itu," sebutnya.
Ayah mertua dan keponakan turut ikut serta merawat dan membantu mengurus sapi-sapi tersebut, tambah Tia.
"Suami saya memang lebih sering urus sapi malam hari, apalagi kalau libur dari pagi. Bisa seharian pagi sampai malam ya di kandang sapi," tuturnya, sambil menggoda buah hati terkecilnya. Usaha Tia berhasil, si kecil tersenyum.
"Awalnya sulit menerima itu, waktu untuk keluarga kan kurang. Ya to? Hoo to? Bahkan untuk menyisihkan liburan harus direncanakan jauh-jauh hari. Enggak bisa bisa 'Yah, kita ke nganu [suatu tempat] sekarang. Wah mesti ada agenda, sibuknya luar biasa," terangnya.
Bahkan tak jarang, Sulistyo harus memberikan home care ke rumah pasien-pasiennya. Baik itu pasien di Kotagede, di tengah perkotaan Sleman atau pasien di tempat lain.
"Pulang masih mengurusi sapi jam 01.00 WIB atau jam 02.00 WIB. Setiap hari gitu, yo wis terimalah, wong wis aktivitasnya seperti itu," ungkap dia.
Tia pada akhirnya memahami bahwa yang dilakukan Sulis adalah berjuang untuk keluarga dan menafkahi keluarga. Dengan demikian ia harus menerima, karena ia meyakini, hasil kerja keras Sulistyo juga diperuntukkan bagi keluarga.
"Saya salut dengan suami saya atas usahanya. Ke sana sendiri capek tapi enggak dirasa capek," tandasnya.
Kontributor : Uli Febriarni