SuaraJogja.id - Pemerintah Kalurahan Caturtunggal, Kapanewon Depok, Kabupaten sleman mengajukan surat pencabutan izin pemanfaatan tanah kas desa, di suatu area Pedukuhan Manggung.
Hal itu dilakukan, mengingat sedikitnya ada dua potensi pelanggaran yang dilakukan oleh penyewa pertama.
Sub Koordinator Perundangan Undangan Bagian Hukum Setda Sleman, Hendra Adi Riyanto menyebutkan, pemanfaatan tanah kas desa yang izin Gubernurnya turun pada 2015 itu, diawali adanya perjanjian sewa-menyewa antara Lurah Caturtunggal dan pihak pertama.
"Penyewa merupakan warga Kemantren Tegalrejo, Kota Jogja. Dalam perjanjian, izin penggunaan sebagai pertokoan dan perkantoran. Berada di atas tanah seluas 1.550 meter persegi, dari total 8.000 meter persegi yang ada," sebut dia, Jumat (12/8/2022).
Namun diketahui, ternyata ada pengalihan pengelolaan tanah tersebut di luar sepengetahuan pemerintah kalurahan. Hal inilah yang dinilai oleh Pemerintah Kalurahan dan Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai pelanggaran pertama.
"[Seharusnya] tidak boleh dialihkan. Di perjanjian sudah ada. Ini sedang kami cermati," tegasnya.
Potensi pelanggaran kedua, yang bersangkutan sudah terlambat membayar sewa sejak 2021. Dalam perjanjian, penyewa tersebut diwajibkan membayar sewa Rp30.000 per meter persegi tiap tahunnya, dengan perkiraan nilai naik--berdasarkan appraisal--sekitar 15% tiap tahunnya.
Di dalam norma perjanjian sewa, dinyatakan bahwa terlambat bayar diberi tenggang waktu selama empat bulan. Lewat dari waktu itu, bila penyewa tak memenuhi kewajibannya, maka pemerintah kalurahan bisa mengambil langkah tegas.
Hendra menjelaskan, sebagai upaya menyelesaikan masalah ini, Pemerintah Kalurahan sudah menghubungi penyewa dan memberi surat pemanggilan, namun belum pernah mendapat respon. Surat Peringatan 1 hingga Surat Peringatan 3 telah dilayangkan, masih nihil hasil.
"Dari rapat koordinasi bersama antara Pemerintah Kalurahan, Sekretaris Daerah, Pemerintah Kabupaten, maka kalurahan bersurat dengan Gubernur, lewat Kabupaten," tuturnya.
"Untuk mencabut izin Gubernur atas pemanfaatan tanah kas desa tersebut," lanjut Hendra.
Menurut dia, langkah yang diambil pemerintah kalurahan sudah betul dan kini Pemerintah Kalurahan Caturtunggal punya kewenangan membatalkan perjanjian dengan penyewa.
Dengan demikian sudah sesuai prosedur. Awal sewa dilakukan atas izin Gubernur, selanjutnya untuk mencabut izin pemanfaatan juga lewat Gubernur lagi.
"Dari sisi upaya administrasinya sudah bagus ini, karena sudah sampai 2022 baru kemudian dicabut," tambahnya.
Hingga Kini Tak Ada Itikad Baik Penyewa Memperjelas Situasi
Hendra menekankan, kendati pihak penyewa masih tak bisa dihubungi, tak merespon surat pemanggilan dan surat-surat peringatan, pemerintah kalurahan Caturtunggal masih melakukan upaya administratif dulu bersama Pemerintah Kapanewon, Pemkab Sleman maupun kasultanan.
"Potensi pelanggaran hukum yang ada di situ akan kami koordinasikan lagi setelah dapat arahan dari provinsi. Karena ada pengalihan pengelolaan juga," ungkap dia.
Melihat tak adanya itikad baik dari penyewa, pihaknya berpendapat bahwa perjanjian antara penyewa dan kalurahan sudah memenuhi unsur 'batal demi hukum'-nya perjanjian.
"Karena unsur subjek dan sahnya perjanjian sudah tidak memenuhi," imbuh Hendra.
Lebih lanjut ia menjelaskan, langkah administratif diambil dengan melibatkan Gubernur, karena tanah kas desa merupakan aset kalurahan dan alas hak ada di tangan kasultanan. Mengingat pula, Sultan Hamengku Buwono X yang merupakan raja Jogja juga merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Dulu kan kalurahan menyewakan tanah juga atas izin Gubernur," lanjutnya.
Ada Empat Kali Transfer Uang Masuk ke Kalurahan dari Pihak Ketiga
Lewat pembahasan bersama, diketahui pula ada sejumlah uang yang ditransfer kepada pihak pemerintah kalurahan, oleh pihak ketiga.
"Dari pihak ketiga, kurang tahu siapa tepatnya yang melakukan transfer. Sebanyak empat kali, kalau diperkirakan mencapai Rp90 juta," terang Hendra.
Uang itu dikirimkan ke nomor rekening yang sama, namun oleh kalurahan tak dimasukkan ke dalam kas kalurahan. Melainkan diamankan, disimpan, karena tidak jelas peruntukkannya.
"Uang diamankan karena kalurahan tidak merasa berhak atas uang itu, kalurahan sudah mencoba menghubungi pengirim tapi tidak bisa dihubungi," kata dia.
Berdasarkan informasi pihak kalurahan, tak ada konfirmasi apapun yang menyertai dikirimkannya uang itu. Termasuk benar tidaknya tujuan transfer adalah untuk membayar sewa tanah kas desa yang sedang dibahas ini.
"Mungkin niatnya seperti itu [bayar sewa]. Karena kami ada upaya pengecekan, mungkin dia mentransfer sebagai bentuk 'Aku wis mbayar'," duga Hendra.
Kalurahan tidak tahu-menahu soal kesepakatan apapun antara pihak penyewa kedua ini dengan penyewa pertama.
"Itu sudah keputusan aspek bisnis antara mereka saja. Kami hanya melihat soal wanprestasi sewa penyewa pertama dan adanya pengalihan pengelolaan tanah kas desa olehnya," tuturnya.
Sementara itu, Hendra tak dapat menyebutkan potensi kerugian yang dialami kalurahan akibat tindakan penyewa.
"Wah tadi saya tidak menghitung sampai sana," ucapnya.
Namun dari perjanjian diketahui bahwa, jangka waktu perjanjian sewa tanah selama 20 tahun. Tetapi dievaluasi tiap empat tahun sekali, dan ada kenaikan nilai sekitar 15% dari sewa tanahnya.
Tanah Pelungguh Lebih Rawan Salah Prosedural
Hendra menambahkan, Pemkab Sleman terus menyosialisasikan ke kalurahan-kalurahan soal prosedur dan aturan pemanfaatan tanah desa dan tanah kas desa.
Termasuk juga prosedur sewa-menyewa berdasarkan aturan terbaru, yakni Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.
"Pasti, selalu sosialisasi ke desa. Tapi kan biasanya itu dilakukan oleh pamong lama, pamong yang sekarang tidak tahu," kata dia.
Pasalnya, masa jabatan lurah berlaku enam tahunan. Sedangkan, masa sewa tanah mencapai 20 tahun. Bisa jadi yang mengurus sewa-menyewa adalah lurah sebelumnya. Kecuali kalau itu dilakukan saat kalurahan masih dipimpin pejabat atau lurah yang sama.
Tak jarang, Bagian Hukum Setda Sleman juga menerima konsultasi dari kalurahan soal aturan pemanfaatan tanah desa.
"Ada. Dari Prambanan misalnya, pernah ketemu saya, tanah desanya disewa oleh perusahaan alkes," ungkapnya.
Maka, tidak ada salahnya pemerintah kalurahan berkonsultasi ke Pemkab bila ada persoalan menyangkut pemanfaatan tanah desa mereka. Apalagi, kini banyak kalurahan berkonsultasi menyangkut ini.
"Yang rawan itu tanah pelungguh, yang haknya pamong. Mungkin dia sudah rembukan sendiri, mungkin ada yang seperti itu," terangnya.
Agar penyalahgunaan maupun malaadministrasi sewa tanah desa tak terulang, pihak kalurahan harus mengawasi.
"Kalau kasus Caturtunggal ini pengawasan kalurahan sudah ada. Tapi ya itikad baik penyewa yang......, ya ini soal personal ya," kata dia.
"Mungkin saat sampaikan ide dia sampaikan ide bagus, janji-janji manis. Berjalannya seperti ini, inikan sudah di luar kuasa ya," tambahnya.
Selain pengawasan, kalurahan diminta tak mudah tergiur janji manis calon penyewa tanah desa.
Apalagi di masa sekarang, yang mana baik pihak kasultanan, provinsi DIY dan Pemkab Sleman sudah semakin intensif mengingatkan pemerintah kalurahan soal pemanfaatan tanah desa.
"Pihak kasultanan dan Pemprov DIY juga sudah semakin upayakan pengawasan tanah kasultanan. Melibatkan aparat penegak hukum juga, kejaksaan, kepolisian," tandasnya.
Sementara itu, kala ditemui langsung, Lurah Caturtunggal Agus Santoso enggan memberikan keterangan soal sengkarut ini.
"Tidak. Cukup satu pintu saja semua ke pak Hendra," jawabnya.
Kontributor : Uli Febriarni