SuaraJogja.id - I'historie se repete atau sejarah akan berulang sungguh bukan sekadar kiasan. Bahkan penyanyi country amerika Buddy Starcher pun menegaskan hal itu lewat lagunya History Repeat Itself.
Ya, sejarah memang tengah berulang, ini berulang dalam konteks tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Urung kering duka dua suporter PSS Sleman yang tewas, urung pula reda kerusuhan yang terjadi di laga PPSM kontra Persitema di Magelang, tragedi kelam di lapangan hijau kembali mencuat.
Kesaktian Pancasila yang diperingati tiap 1 Oktober seketika berubah suram saat ratusan suporter yang menyaksikkan laga Arema FC versus Persebaya Surabaya meregang nyawa, lagi-lagi di Stadion Kanjuruhan.
Laga bertajuk derby Jatim itu memang berakhir antiklimaks bagi suporter tuan rumah. Arema FC yang sempat memimpin laga harus merelakan kehilangan 3 poin untuk ketiga kalinya di laga kandang setelah Sho Yamamoto mencetak gol ketiga untuk Persebaya Surabaya.
Kekalahan skuat berjuluk Singo Edan di kandang itu kemudian menyentak hingga memicu amarah suporter yang berujung kerusuhan. Kerusuhan yang tak terkendali membuat aparat kepolisian gabungan bertindak represif. Tembakan gas air mata menyalak. Ratusan suporter pun bertumbangan.
Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta dalam jumpa pers di Kabupaten Malang, Minggu (2/10/2022) dini hari menyebutkan korban tewas akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan menembus 127 orang, sementara sebanyak 180 lainnya masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit.
Publik sepak bola tanah air terhenyak. Media sosial dibanjiri ucapan duka mendalam hingga kekhawatiran terkait sanksi yang bakal dijatuhkan oleh FIFA.
Dan, tragedi di Kanjuruhan ini mengulang peristiwa tak kalah kelam pada 13 Juli 2005 silam. Di hari itu seorang suporter meregang nyawa akibat berdesak-desakan kala menyaksikkan perjuangan Arema yang tengah mengusung misi memimpin klasemen wilayah barat Ligina XI.
Dikutip dari berbagai sumber, sebelum petaka saat itu terjadi, suasana di Stadion Kanjuruhan penuh sesak oleh para aremania. Menurut Jawa Pos dan AFC saat itu ada sebanyak 50 hingga 80 ribu penonton yang memenuhi Kanjuruhan hingga meluber ke seluruh sisi lapangan.
Kericuhan pecah ketika puluhan suporter yang ingin menyaksikkan laga Arema tak kebagian tempat duduk di tribun ekonomi. Aksi berebut kursi hingga berdesak-desakan pun tak terhindarkan.
Akibatnya pagar stadion ambruk. Puluhan suporter yang terdesak berjatuhan ke parit stadion sedalam 2 meter. Beberapa menderita luka. Sementara seorang penonton yakni Fajar Widya Nugraha harus meregang nyawa lantaran jatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu terantuk tanah hingga tertindih penonton lainnya.
Kematian seorang penonton akibat over kapasitas di Stadion Kanjuruhan itu terdengar hingga ke AFC. Mereka meminta kepada federasi sepak bola Indonesia untuk melakukan investigasi dan menyelesaikan permasalahan di Kanjuruhan hingga tuntas.
Merespon pernyataan AFC, setelah dua minggu melakukan investigasi, PSSI akhirnya menjatuhkan sanksi kepada Panpel Arema yang dianggap lalai dan bersalah, dimana Arema dilarang bermain satu kali di kandang melawan Persekabpas. Mereka juga diganjar denda sebesar Rp30 juta.
Lalu, apakah juga sejarah lagi-lagi akan berulang? Tragedi kelam di Kanjuruhan 1 Oktober malam itu apakah akan kelar dengan denda atau hukuman laga tanpa penonton bahkan hiatus kompetisi?
Seperti halnya kalimat yang sudah kerap kali terucap "Tak Ada Sepak Bola Seharga Nyawa" dan Nyawa Bukanlah Sekadar Angka. Sepak bola tanah air harus berbenah dan berubah!
"...pertandingan sepak bola berakhir setelah 90 menit, tetapi kehidupan harus terus berjalan," Socrates.