SuaraJogja.id - Presiden Joko Widodo melantik Guntur Hamzah menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/11/2022). Pelantikan tersebut merupakan usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) Dian Kus Pratiwi menilai, terdapat rentetan proses inkonstitusional dalam pelantikan Guntur Hamzah menjadi hakim MK oleh Presiden, karena cacat dari segi proses usulan oleh DPR.
"Proses pengusulan Guntur Hamzah dilakukan secara tertutup, hanya melibatkan internal DPR," ucapnya, Rabu siang.
Atas situasi ini, Dian menyatakan maka hal tersebut jelas-jelas telah melanggar Pasal 20 ayat (2) UU MK. Di dalam UU itu diamanatkan, proses pemilihan hakim konstitusi dilakukan melalui proses seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka.
Baca Juga:Guntur Hamzah Pengganti Hakim MK Aswanto Ucapkan Sumpah di Depan Presiden Jokowi
Selain itu perlu diketahui, bahwa sebelumnya, proses pengusulan Guntur Hamzah oleh DPR didahului dengan pemberhentian Aswanto dari jabatan hakim konstitusi.
"Hal tersebut juga telah melanggar Pasal 23 ayat 4 UU MK, yang menyatakan bahwa pemberhentian hakim hanya bisa dilakukan dengan Keputusan Presiden atas permintaan dari Ketua MK," tambahnya.
DPR, menurut PSHK UII, tidak berhak dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian hakim MK.
Tindakan pelampauan kewenangan oleh DPR dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi DPR terhadap kekuasaan kehakiman.
PSHK UII menekankan kembali bahwa ini jelas-jelas melanggar Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa MK bersifat merdeka dan independen. Sehingga, MK tidak ada hubungan dan bukan merupakan bagian dari DPR.
Baca Juga:Sebut DPR Arogan karena Copot Hakim MK Aswanto, Formappi: Injak-injak Independensi Lembaga Negara
Dian menjelaskan, apabila proses pemberhentian dan pengusulan yang berakhir pada pelantikan hakim konstitusi yang inkonstitusional tersebut diteruskan, maka dapat menjadi preseden yang buruk dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Termasuk juga secara umum dalam penyelenggaraan praktik ketatanegaraan.
"Sehingga terjadi pembangkangan terhadap amanat reformasi. Dari yang seharusnya menyelenggarakan rule of law, bergeser menjadi rule by man or politics," sebut Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII ini.
Dian menyatakan, lewat beberapa catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan agar Presiden segera menganulir pelantikan Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi.
"Karena prosesnya yang inkonstitusional," tegas Dian.
Rekomendasi berikutnya, masing-masing lembaga pengusul Hakim Konstitusi yakni DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung perlu merumuskan model serta format seleksi Hakim Konstitusi sesuai prinsip transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel sesuai yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU MK.
Kontributor : Uli Febriarni