SuaraJogja.id - Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman digegerkan dengan adanya kasus pencabulan yang dilakukan oleh pemuda, berinisial AS (28), terhadap seorang remaja laki-laki yang masih tetangga sekampung.
Sebelumnya diberitakan, AS yang juga ketua remaja masjid itu, mencabuli korbannya kala si korban sedang tertidur.
Korban yang menceritakan apa yang ia alami kepada teman-temannya, akhirnya mengetahui bahwa ada beberapa anak lain yang juga pernah menjadi korban AS.
Polisi bahkan menduga, korban AS mencapai sekitar 20 orang semuanya dari sesama laki-laki.
Baca Juga:Jasa Rental Playstation Lakukan Pelecehan Seksual pada Anak Dibawah Umur, Bikin Geram!
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Anak Daerah Istimewa Yogyakarta, Y. Sari Murti Widyastuti mengatakan, adanya pelecehan seksual yang dilakukan sesama jenis, ditegaskan dengan kemunculan kasus AS. Keberadaan kasus ini juga menegaskan bahwa 'tidak muncul bukan berarti tidak ada.
"Faktanya [pelecehan seksual terhadap sesama jenis] ini terungkap ada. Biasanya selalu di bawah permukaan," terangnya, kala dihubungi lewat sambungan telepon, Senin (6/1/2023).
Berkaitan dengan kasus tersebut, yang diketahui ternyata ada banyak korban tidak mengungkap apa yang mereka alami; menunjukkan ada relasi kuasa, yang membuat korban tak bisa speak up.
"Korban tidak mampu mengungkap kalau mereka menjadi korban, sehingga itu berlanjut," ungkapnya.
"Ini sebetulnya menjadi kasus ke sekian kali, yang kalau dulu pernah anda dengar? kasus dukun yang melecehkan lebih dari 30-an anak laki-laki. Itu sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu," kata dia.
Menurut Sari, ini merupakan 'peristiwa berulang' dari pelaku berbeda, yang juga perwujudan dari relasi kuasa.
"Modusnya macam-macam. Namanya remaja, ketika ingin nembak (menyatakan perasaan) cewek tidak ditolak, datanglah ke dukun itu. Tapi di situ ada ritual macam-macam yang ujungnya pelecehan. Ada yang dimintai duit," sebut dia.
Demikian juga dalam kasus AS dan para korbannya. Pelaku memiliki relasi kuasa sebagai ketua pengurus remaja masjid. Kemudian korbannya adalah orang-orang muda yang belajar ataupun sering berinteraksi di masjid itu.
"Sehingga, itu menjadi sesuatu yang tak bisa terbuka karena takut. Mungkin diancam, 'Awas kamu gak boleh omong', 'Kamu gak boleh cerita sama siapapun'. Tertutup, sehingga sekian banyak sampai 20-an," ucapnya.
Selain dugaan ancaman yang menyebabkan korban enggan membuka suara, korban merasa malu. Terlebih ada doktrin bila mereka melakukan hal itu, maka ada konsekuensi yang harus ditanggung.
"Jadi takut salah, berdosa, jadi tambah tidak berani bicara," terangnya.
Pelaku Harus Diberi Intervensi Psikologis
Ia menegaskan, harus ada pendampingan psikologis secara tuntas kepada korban.
"Kalau bagi korban mutlak harus ada pendampingan psikologis," kata dia.
Selain pertanggungjawaban secara hukum yang harus diterapkan bagi pelaku, juga ada tindaklanjut intervensi psikologis, sesuai dengan hasil asemen yang dilakukan para psikolog klinis.
"Selain itu, juga pemeriksaan medis. Jangan-jangan ada penyakit menular," paparnya.
Orang Tua Jangan Hanya Lihat Masalah Dari Satu Arah
"Memang beda [antara] relijiusitas dengan yang tahu agama. Seharusnya kemampuan pengendalian dirinya [pelaku] ada," jelas Sari lebih jauh.
Di kesempatan sama, Sari juga mengimbau agar kita bisa menjadi masyarakat yang cerdas secara intelektual, emosional, dan sosial.
"Orang tua harus mau belajar banyak hal. Jangan hanya berpikir satu arah semuanya kalau dengan urusan agama pasti beres, tapi harus membuka cakrawala yang lebih luas," tambahnya.
"Orang tua juga harus mau mendengar jika anak ada keluhan. Jangan tiba-tiba marah dulu, supaya anak tidak takut mengungkap apa yang mereka alami. Sebetulnya menderita anak-anak itu," tuturnya.
"Kalau orang tua marah dulu, anak-anak jadi takut to?! Secara sosial, masyarakat ikut memberi perhatian dengan kepedulian," imbuh Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.
Ia juga meminta orang tua di luar keluarga korban jangan merundung atau mengusik, dengan menyebut 'orang tua korban tidak mengurus korban dengan baik'.
"Mereka itu korban kok," ucapnya.
Kontributor : Uli Febriarni