SuaraJogja.id - Produksi pangan nasional dihadapkan pada tantangan besar. Kenaikan signifikan populasi peduduk tidak dibarengi dengan produksi pangan yang juga meningkat.
Di satu sisi, upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi pangan juga terkendala berbagai persoalan. Terutama terkait persoalan pelemahan daya dukung lingkungan.
Padahal, jumlah produksi pangan harus diupayakan setidaknya dua kali lipat dibandingkan dengan produksi pangan saat ini. Hal itu untuk menghindari bencana kelaparan pada tahun 2050.
Strategi pengembangan intensifikasi pertanian dan pengembangan material genetik baru untuk tanaman pangan dinilai dapat menjadi terobosan untuk mengatasi ancaman bencana kelaparan tersebut.
Baca Juga:Pakar dari Unsoed Ingatkan Dampak El Nino : Satu Diantaranya ke Sektor Pertanian
Dosen Pemulia Tanaman, Fakultas Pertanian UGM, Taryono menuturkan setidaknya ada dua skenario peningkatan produksi pangan. Perluasan areal tanam atau ekstensifikasi dan optimalisasi operasional produksi atau intensifikasi.
Namun skenario ekstensifikasi pada beberapa tahun ke depan bukan tanpa kendala. Mengingat dari penguasaan lahan per petani yang terus menyempit.
Ia menyebutkan pada tahun 1960, rerata penguasaan lahan per petani yaitu 5 ribu meter persegi. Sedangkan pada tahun 2020 lalu saja penguasaan lahan per petani sudah menurun signifikan menjadi 2 ribu meter persegi.
Menyiasati kondisi tersebut, Taryono menyebut pengembangan material genetik baru untuk jenis tanaman pangan perlu mulai dilakukan. Dalam rangka mewujudkan peningkatan produksi pangan melalui skenario intensifikasi.
"Program pengembangan material genetik baru merupakan terobosan utama untuk memecah kebuntuan dalam skenario peningkatan produksi pangan," kata Taryono dalam Webinar Nasional dengan tema Sumber Daya Genetik untuk Produksi Pangan Berkelanjutan: Studi Kasus Pengembangan Padi Seri Gamagora, Kamis (16/3/2023).
Baca Juga:Pemerintah dan Swasta Dukung Masa Depan Pertanian Berkelanjutan Demi Ketahanan Pangan
Kepala Pusat Inovasi Agrotenologi (PIAT) UGM itu mengatakan bahwa diperlukan percepatan pemanfaatan sumber daya genetik Indonesia. Agar dapat mewujudkan material genetik baru tanaman pangan yang lebih produktif.
Dengan tetap menhasilkan mutu tinggi, tahan berbagai tekanan lingkungan abiotik dan tahan terhadap tekanan lingkungan biotik seperti hama, penyakit dan gulma.
Serangkaian program pemuliaan tengah dilakukan PIAT UGM dan tim peneliti dari Fakultas Pertanian UGM. Material genetik baru itu di antaranya untuk jenis tanaman pangan seperti padi, bawang merah, tomat, cabai rawit, jagung, terong, mentimun, kedelai, kacang panjang, kacang hijau, kacang koro dan melon.
"Salah satu material genetik baru tanaman padi yang sudah mendapatkan izin pelepasan varietas dari Kementerian Pertanian RI yaitu Gamagora 7," terangnya.
Menurut Taryono, varietas padi itu dirancang untuk memiliki sifat produktivitas tinggi dengan potensi hasil gabah kering giling mencapai 9,80 ton per hektar per musim. Bahkan dari mutu citarasa menyamai beras pulen dan tahan dinamika cuaca ekstrem.
Peneliti Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Bandung, Agung Karuniawan menuturkan program pemuliaan tanaman melalui pemanfaatan kelimpahan sumber daya genetik merupakan terobosan utama yang perlu dilakukan. Demi mewujudkan produktivitas pangan yang tinggi dan berkelanjutan di Indonesia.
"Saya kira tren dalam program pemuliaan ke depan juga memasukkan aspek kekayaan metabolit di dalam produk untuk mendukung produksi pangan fungsional," ujar Agung.