Banyak Praktik Money Politic di Pileg 2024, Ini Dua Faktor yang Paling Mempengaruhi

Bentuknya politik uang pun dapat dibagikan dengan berbagai cara dan terus berkembang.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 16 Februari 2024 | 20:05 WIB
Banyak Praktik Money Politic di Pileg 2024, Ini Dua Faktor yang Paling Mempengaruhi
Ilustrasi money politic. [Shutterstock]

SuaraJogja.id - Pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi menyebut politik uang atau money politic dalam Pemilu 2024 masih cukup masif. Terutama serangan fajar yang dilakukan oleh para caleg di berbagai daerah.

"Jadi vote buying atau politik uang lebih masif di level caleg dan itu sudah terjadi sejak 2009 ketika dulu legislatif itu dilakukan dengan sistem proporsional terbuka," kata Arya, Jumat (16/2/2024).

Sejak saat itu hingga sekarang gerakan politik uang masih berlangsung dan semakin tinggi. Sistem proporsional terbuka itu yang dimanfaatkan oleh para caleg untuk mengerahkan politik uang.

Di sisi lain, diakui Arya memang serangan fajar ini dapat berimbas cukup efektif dalam perolehan suara. Faktor penting yang tidak bisa dilepaskan akibat dari proporsi pemilih di Indonesia yang masih berada di kelas ekonomi menengah ke bawah.

Baca Juga:Gubernur DIY Sri Sultan HB X dan Keluarga Ikut Nyoblos di TPS 12 Kraton

Berdasarkan data yang pernah dihimpun, tercatat bahwa ada sekitar sepertiga atau 30an persen warga yang pendapatan perbulan hanya di bawah Rp1 juta atau bahkan tidak memiliki pendapatan tetap. Sedangkan untuk pendapatan di bawah Rp2 juta per Rp1 juta sebesar 55 persen.

"Lebih dari separuh kita itu menengah ke bawah, pendapatnya tidak lebih dari Rp2 juta sebulan. Secara teoritik ya dan sudah diuji di beberapa negara, vote buying itu bekerja sangat efektif dengan populasi pemilih yang tingkat pendapatannya sangat rendah," terangnya.

"Karena pemilih-pemilih ini kan bukan memikirkan penegakkan hukum, korupsi dan seterusnya, tetapi anak, sekolah itu bisa atau tidak bulan depan," imbuhnya.

Pihaknya mengaku memang belum memiliki data lengkap terkait praktik politik uang pada Pemilu 2024 kali ini. Namun ia menduga angkanya kurang lebih sama dengan 2019 lalu atau bahkan lebih.

"Kita belum uji dan saya belum punya data tapi dugaan saya sama atau lebih tinggi, kalau lebih rendah tidak," tegasnya.

Baca Juga:Tegur Pratikno dan Ari Dwipayana Karena Jadi Bagian Perusak Demokrasi, Mahasiswa dan Alumni Fisipol UGM Tuntut Ini

Selain faktor pendapatan populasi yang berada di level menengah ke bawah. Tidak adanya reformasi kepemiluan terkait vote buying ini juga menjadi faktor penting.

"Selama tidak ada reformasi terkait dengan pembiayaan politik, vote buying itu akan masif karena caleg-caleg yang merasa punya uang akan menggunakan instrumen itu karena memang efektif karena tadi faktornya piramida pendapatan populasi itu lebih besar di bawah. Menengah ke bawah cukup tinggi lebih dari separuh yang itu sangat rentan terhadap vote buying karena bisa mengkonversi suara," paparnya.

Bentuknya politik uang pun dapat dibagikan dengan berbagai cara dan terus berkembang. Tak melulu soal cash langsung tapi bisa pula dengan barang-barang lain.

"Barang-barang pun bukan hanya dihitung sebagai pemberian sembako ke masing-masing rumah, tetapi barang-barang yang sifatnya kolektif seperti jalan, kemudian tempat ibadah tiba-tiba dibangun padahal tidak ada di APBN atau APBD itu masuk di dalam vote buying," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini