SuaraJogja.id - Pemerintah memang telah membatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal atau UKT di tahun ini. Tapi keputusan tersebut nyatanya bukanlah pamungkas dari persoalan mahalnya biaya kuliah yang mencekik sebagian besar mahasiswa.
Persoalan kuliah mahal setidaknya sudah mulai terdengar sejak beberapa tahun terakhir, termasuk di Jogja yang punya jargon sebagai Kota Pendidikan. Perguruan tinggi negeri yang dulu diharap dapat menjadi kebanggaan kini justru kian tak bisa diandalkan.
Ketidaksesuaian UKT hingga proses penyesuaiannya yang berbelit membuat mahasiswa dan juga orang tua pun kelimpungan menyikapinya.
Tim Suarajogja menemukan ketika proses tarik ulur mengenai wacana kenaikan UKT di tahun ini masih berlangsung, tak sedikit di antara para mahasiswa yang kuliah di Jogja harus putar otak agar bisa mengakali biaya kuliah yang dianggap mahal. Skema utang dan cuti pun ditempuh demi satu tujuan tuntas menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana yang diimpikan.
Baca Juga:Ratusan Mahasiswa UGM Terancam Tak Lanjutkan Kuliah Akibat UKT, Kampus Genjot Cari Beasiswa
Tapi tak sedikit diantaranya yang terpaksa memupus mimpinya itu dan menyerah di tengah jalan. Mereka harus merelakan berhenti kuliah karena tak tahan dicekik biaya yang tak terjangkau.
Aku Terpaksa Berhenti Kuliah
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Thoriqotur Romadhani atau pria yang akrab disapa Toy pernah bersaksi perihal fenomena mahasiswa yang terpaksa berhenti kuliah karena tak tahan dengan beban UKT yang besar.
Toy mengungkapkan salah seorang mahasiswa yang berhenti kuliah itu merupakan angkatan 2022 yang berasal dari Lampung. Saat kuliah mahasiswa itu mengambil program studi Perbandingan Mahzab.
"Itu sampai putus kuliah karena tidak mampu membayar UKT," kata Toy saat membuka acara dialog terbuka bakal calon rektor UIN Sunan Kalijaga Jogja, Senin (27/5/2024).
Baca Juga:UGM Bakal Tinjau Ulang Kerjasama Jasa Pinjol untuk Bayar UKT Mahasiswa
Ditanya lebih lanjut mengenai hal tersebut, Toy mengatakan mahasiswa tersebut kini sudah tak berada di kampus lagi. Berdasarkan informasi yang diterima mahasiswa itu mendapat golongan UKT yang di atas kemampuan keluarga.
"Setiap malam informasinya selalu ditelpon orang tuanya untuk meminta berhenti (kuliah) saja, karena tidak sanggup membayar (UKT)," terangnya.
"Dia masuk dalam golongan 7 sedangkan orang tuanya sangat tidak mampu. Sudah melakukan banding tapi ditolak. Sempat di-follow up lagi, apakah masih bisa lanjut kuliah atau tidak tapi tidak direspon," sambungnya.
Tak hanya satu, Toy juga mengungkap cerita mahasiswa lainnya yang mengeluh hal serupa. Ia menyebut seorang mahasiswi asal Rembang yang keberatan dengan UKT yang harus dibayarkannya. Pasalnya yang bersangkutan telah ditinggal sang ayah yang bekerja sebagai PNS meninggal dunia.
Meskipun mendapat tunjangan, namun tetap sulit untuk membayar UKT yang telah dibebankan kepada dia. Apalagi tunjangan dari ayahnya itu harus dibagi untuk sejumlah anggota keluarganya.
"Jadi dapat tunjangan itu ya paling berapa untuk berapa bersaudara, sampai sekarang putus kuliah padahal itu anak PNS. Dia cuti, dari Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, angkatan 2022 atau 2023," terangnya.
Sebenarnya, diakui Toy, masih banyak mahasiswa lain yang mendapat UKT tidak sesuai kemampuan. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Forum Mahasiswa Kalijaga (Formal) dari 300 lebih responden, ada 82 persen yang mengeluhkan soal UKT itu.
"Jadi 300-an responden itu memang mereka mengeluhkan soal penetapan besaran UKT yang tidak sesuai dengan apa yang didapatkan. Jadi ketidakpuasannya itu sekitar di angka 82 persen," ujarnya.
Toy menjelaskan saat ini UKT paling tinggi berkisar antara Rp9 juta-Rp10 juta. Penentuan besaran UKT itu mengacu pada Keputusan Menteri Agama (KMA). Kalau yang paling murah kita ada di besaran Rp400.000 itu di UKT I, ada golongan 8 golongan," terangnya.
UKT Memberatkan (Mahasiswa)
Incas (bukan nama sebenarnya) merupakan mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta yang mengaku keberatan dengan penetapan UKT yang diterimanya. Ia merupakan mahasiswa baru (maba) angkatan 2024.
Berdasarkan pengumuman yang didapatkan, ia ditempatkan pada UKT golongan 5 dengan besaran Rp6,3 juta. Besaran itu disebut tidak sesuai dengan latar belakang keluarganya sekarang.
"Saya baru masuk, baru mau semester 1. Di pengumuman kemarin, saya dapat UKT golongan 5 di besaran Rp6,3 juta. (Besaran UKT itu) sangat tidak sesuai," kata dia saat dihubungi tim Suarajogja, Kamis (30/5/2024).
Dia mengungkapkan bahwa ayahnya hanya bekerja sebagai tukang jahit. Sedangkan ibunya sendiri merupakan ibu rumah tangga dan tidak bekerja.
"Ayah saya pekerjaannya tukang jahit, kalau ibu itu tidak bekerja. Jadi semua kebutuhan keluarga, pendidikan, semuanya itu ditanggung oleh ayah saya," ungkapnya. Penghasilannya rata-rata Rp1,5 juta per bulan, mengingat kebutuhan keluarga juga banyak, pun sudah pasti kalau menyangkut pendidikan sangat penting sekali. Jadi uang dari penghasilan ayah tidak cukup untuk memenuhi kedua aspek tersebut," sambungnya.
Apalagi dia merupakan tiga bersaudara di dalam keluarga tersebut. Satu kakaknya sudah menikah sedangkan adiknya baru memasuki bangku kelas 3 SD tahun ini.
Kondisi kian pelik ketika sebagai mahasiswa baru, dia sudah ditetapkan dengan nominal UKT tinggi tadi. Mereka harus memutar otak untuk membayar biaya kuliah itu agar bisa mengamankan posisinya sebagai mahasiswa.
Apalagi saat ini, kata dia, pengajuan banding atau penurunan UKT belum dibuka. Pembukaan untuk pengajuan banding itu baru akan dibuka pada akhir atau awal semester nanti.
Dia sudah berupaya untuk mengajukan pembayaran dengan metode cicilan dengan prosentase 50:50. Kabar baik yang diterima, pengajuan itu disetujui oleh pihak kampus.
Walaupun ke depan pihaknya tetap akan mengajukan banding untuk nilai UKT tersebut. Namun setidaknya metode cicilan itu bisa dimanfaatkan untuk memperpanjang napasnya sedikit lebih panjang.
"Sebenarnya kalau dilihat dari kuantitas awal, tentu tidak cukup. Tetapi jika dibandingkan lagi, setidaknya cicilan itu bisa meringankan sedikitnya beban kita, untuk mempertahankan posisi kita di kampus," terangnya.
"Jadi kita perlu meng-keep terlebih dahulu posisi kita. Maka dari itu, kita benar-benar berusaha untuk memenuhinya (UKT). Dan mungkin dengan berat hati, dana kebutuhan keluarga yang mungkin lebih penting terpaksa kita gunakan untuk keperluan pendidikan terlebih dahulu," tambahnya.
Walaupun memang dari sisi nominal awal cicilan tersebut tetap tidak sesuai kemampuan. Namun hal itu harus dilakukan untuk tetap membuka peluang berkuliah di kampusnya.
"Meski nilainya tidak memenuhi nominal awal bahkan mungkin nominal cicilannya, tetapi kita memaksakan demi mendapatkan posisi di kampus tersebut," ucapnya.
Posisinya yang sebagai pendatang dari luar Jogja pun makin membuat kondisinya tidak ideal. Maba asal Ciamis, Jawa Barat itu pun bahkan sudah mulai berencana untuk mengambil kerja sampingan setibanya di Jogja nanti.
"Tentu (berpikir kerja sampingan), rencananya saya akan mengambil kerja sampingan, entah itu secara langsung maupun freelance," imbuhnya.
Selain pula berencana untuk mengikuti program beasiswa, ia pun masih menunggu keputusan pengumuman untuk penerimaan beasiswa KIPK.
Kedatangannya ke Jogja sendiri direncanakan baru dilakukan pada sekitar awal Juli nanti. Dengan biaya kehidupan mulai dari kos serta kebutuhan lain sehari-hari, dia merasa UKT yang ditetapkan tadi memberatkan.
"Kalau diperkirakan, pasti sangat tidak cukup, apalagi kebutuhan penunjang studi sangat banyak dan nominalnya lumayan juga, belum lagi biaya tak terduga lainnya yang mungkin lumayan besar juga," tandasnya.
Dengan kata lain memang biaya kuliah yang diterimanya masih tinggi dan tidak sesuai kondisi keluarga. Bertahan dengan banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup selama berkuliah di Jogja menjadi upaya utama yang akan dilakukan.
Syarat Ajukan Banding UKT Berbelit
Durka (bukan nama sebenarnya) mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta lainnya mengaku terkejut dengan penetapan UKT yang diterimanya. Ia merupakan mahasiswa baru (maba) angkatan 2024 yang lolos dari melalui jalur SNBP.
Mahasiswa asal Jabodetabek itu mendapatkan UKT golong X dengan nominal Rp9,2 juta. Walaupun merasa masih tidak terlalu jomplang dengan kondisi latar belakang keluarga namun perbedaan UKT tahun ini cukup mengejukan.
"Sebetulnya kalau melihat dari latar belakang kondisi keluarga saya itu sesuai-sesuai saja, namun dilihat dari UKT 2023 itu sangat berbeda. Makanya saya terkejut setelah mengetahui saya dapat UKT golongan 10," kata dia, dihubungi, Selasa (28/5/2024).
Ayahnya merupakan PNS sedangkan sang ibu merupakan ibu rumah tangga. Nilai UKT yang cukup tinggi itu dirasa tidak sesuai dengan kondisinya. Apalagi dia yang merupakan pendatang masih memerlukan biaya hidup di Jogja selama kuliah. Termasuk untuk membiayai adiknya yang juga tengah menempuh pendidikan.
Ia kini belum melakukan upaya penurunan atau banding untuk penyesuaian UKT yang didapatnya. Pasalnya, ia menilai masih banyak persyaratan yang sulit untuk dipenuhi dalam prosesnya.
"Belum (upaya penurunan), dikarenakan untuk banding UKT itu agak sulit harus memenuhi syarat-syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh saya dan banding juga akan dibuka saat bulan September-Oktober," ungkapnya.
Syarat-syarat yang dianggap terlalu sulit dipenuhi itu di antaranya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), Surat PHK, Surat pernyataan Kebangkrutan Usaha, hingga surat keterangan kematian untuk yang mencari nafkah. Setidaknya syarat-syarat itu yang digunakan untuk banding UKT pada 2023 kemarin.
Namun tak berhenti di situ, dia masih berupaya mencari jalan lain untuk membantu meringankan biaya kuliahnya itu. Termasuk dengan mencari beasiswa yang tersedia.
"Untuk mengatasinya saya harus mencari beasiswa prestasi. Namun beberapa beasiswa sudah tutup sejak Mei lalu dan persyaratannya kebanyakan harus ada SKTM. Insya allah saya menunggu beasiswa unggulan 2025 nanti," terangnya.
"Selagi Beasiswa Unggulan 2025 belum dibuka, saya akan terus berprestasi dan menambah kemampuan-kemampuan yang saya punya untuk memenuhi syarat beasiswa unggulan," sambungnya.
Sementara ini, kata dia, biaya kuliah tersebut masih akan diusahakan oleh kedua orang tuanya. Sembari dia pun mencari jalan lain untuk mencoba memenuhi kebutuhan dan biaya kuliah itu.
90 Persen Lebih Tak Sesuai Kemampuan
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Farras Raihan membeberkan kajian terkait biaya pendidikan atau UKT di kampusnya.
Dalam kajian itu, diungkap Farras, pada tahun ajaran 2023/2024 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) resmi menambah golongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk Program Sarjana dan Sarjana Terapan sampai dengan Golongan X dengan jumlah besaran UKT yang berbeda-beda setiap program studi.
Dilansir dari laman pmb.uny.ac.id UNY, besaran UKT Golongan X tertinggi Fakultas Kedokteran (FK) mencapai Rp30 juta; Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Vokasi (FV) mencapai Rp14 juta; lalu Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) dan Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik mencapai Rp10,9juta.
Kemudian untuk Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) dan Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) mencapai Rp10,4 juta; Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB) dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) mencapai Rp10 juta.
Besaran UKT yang didapat tiap golongan sendiri tentu bisa berbeda menyesuaikan dengan program dan juga program studi yang diambil mahasiswa. Kondisi itu pun tak dipungkiri cukup mengejutkan bagi para mahasiswa baru 2024 yang telah lolos seleksi masuk ke UNY.
BEM KM UNY 2024 sudah sempat melaksanakan survei pada 28 Maret 2024 sampai 29 April 2024 lalu. Survei tersebut ditujukan kepada seluruh mahasiswa UNY untuk mengetahui kesesuaian golongan UKT yang didapatkan mahasiswa memberatkan atau tidak.
Survei ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan total 380 responden dari mahasiswa UNY.
"Berdasarkan hasil survei dengan responden sebanyak 380, mayoritas sebanyak 351 atau 92,4 persen responden menyatakan bahwa golongan UKT yang ditetapkan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi mereka," kata Farras.
Sedangkan, 29 atau 7,6 persen responden menyatakan bahwa golongan UKT yang ditetapkan telah sesuai dengan kondisi ekonomi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan UKT yang telah dijalankan belum sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa.
Mayoritas responden yang merasa bahwa UKT yang ditetapkan tidak sesuai dengan kondisi ekonominya memenuhi kewajiban pembayaran UKT dengan sejumlah cara. Ada yang dengan pengajuan skema angsuran sebesar 28,7 persen.
Selain mengajukan skema angsuran, sebanyak 23,4 persen mahasiswa memenuhi kewajiban pembayaran UKT dengan berutang. Ada pula yang bekerja paruh waktu sebanyak 12,9 persen, lalu memanfaatkan beasiswa non-bidik misi/KIP-K sebesar 11,3 persen dan menjual aset 9,7 persen.
Disampaikan Farras, kurang fleksibelnya aturan untuk mengajukan penyesuaian UKT dapat menghambat upaya mahasiswa dalam memperjuangkan haknya. Selain itu tidak tepatnya target penerima KIP-K membuat dana bantuan tidak dapat dialokasikan secara efisien kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya.
"Permasalahan dan isu yang saat ini terjadi di UNY memerlukan serangkaian solusi yang komprehensif dan terintegrasi," tuturnya.
Pertama, mulai dari penyesuaian UKT yang sesuai dengan kondisi sebenarnya ekonomi mahasiswa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap kriteria yang digunakan dalam menentukan besaran UKT, serta mempertimbangkan faktor-faktor seperti pendapatan keluarga, tanggungan finansial, dan biaya hidup.
Kedua, penjaringan dan penambahan kriteria penyesuaian UKT perlu diperluas. Guna memastikan bahwa mahasiswa yang benar-benar membutuhkan bantuan finansial dapat diidentifikasi dengan lebih efektif.
"Misalnya, kriteria penyesuaian dapat diperluas untuk mencakup mahasiswa yang berhenti dibiayai oleh walinya karena alasan ekonomi atau kondisi khusus lainnya yang mengharuskan mereka mengurangi beban finansial," tuturnya.
Ketiga, adanya penambahan cara mengangsur UKT bagi mahasiswa yang ingin mengajukan skema angsuran. Melalui pembayaran UKT yang dilakukan dalam bentuk angsuran per bulan di setiap semester, mahasiswa akan memiliki lebih banyak fleksibilitas dalam mengelola keuangan mereka dan mengurangi tekanan finansial yang mereka hadapi.
Keempat, perubahan periode pengajuan penyesuaian golongan UKT dari yang semula dilakukan setiap akhir tahun menjadi setiap akhir semester. Hal ini dapat mempercepat proses penyesuaian dan memberikan bantuan finansial yang lebih cepat kepada mahasiswa yang membutuhkannya.
"Selain itu, perlu adanya penjaringan ulang penerima KIP-K untuk memastikan bahwa bantuan tersebut tepat sasaran," tegasnya.
Setelah penjaringan dilakukan, perlu adanya pencabutan bantuan KIP-K. Khususnya bagi mereka yang ternyata mampu secara ekonomi dan pengalihan bantuan tersebut ke mahasiswa yang terbukti kurang mampu tetapi belum mendapatkan beasiswa apapun.
Diharapkan melalui implementasi solusi-solusi tersebut secara komprehensif akan tercipta sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Sehingga setiap individu memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas secara merata.
Dalam survei serupa yang dibeberkan Forum Advokasi UGM 2024 terkait pandangan mahasiswa soal UKT, diketahui setidaknya ada lima golongan UKT yang ada di UGM saat ini.
Berdasarkan hasil survei kepada 722 mahasiswa UGM angkatan 2023, terungkap sebanyak 511 mahasiswa atau 70,7 persen merasa keberatan dengan besaran UKT yang ditetapkan oleh kampus.
Kemudian ada 52,1 persen mahasiswa angkatan 2023 yang kemudian memilih jalur banding atau melakukan peninjauan kembali terkait UKT yang diterimanya. Kemudian sebanyak 397 mahasiswa dalam survei itu mengaku merasa kesulitan untuk membayar UKT 2023.
Berbagai alternatif pun diupayakan untuk tetap bertahan dan berkuliah. Dari hasil temuan Forum Advokasi tersebut, setidaknya ada 93 mahasiswa yang berupaya untuk mencari dan mendaftar beasiswa.
Namun di sisi lain ada sebanyak 65 mahasiswa yang kemudian berutang atau pinjam terhadap keluarganya. Kemudian ada 34 mahasiswa yang harus terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan atau barang berharga miliknya.
Tuntutan Cabut Uang Pangkal
Sementara itu, Maulana, selaku Humas Aliansi Mahasiswa UGM dengan tegas menyampaikan penolakan kebijakan baru penerapan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal. Pasalnya dalam rencananya IPI di UGM 2024 akan diberlakukan ke semua golongan UKT jalur mandiri kecuali mahasiswa yang menerima UKT golongan 0.
Disampaikan Maulana, Iuran Pengembangan Institusi (IPI) berdasarkan Pasal 1 ayat (6) Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 adalah biaya yang dikenakan kepada Mahasiswa sebagai kontribusi untuk pengembangan perguruan tinggi. Jalur yang dikenakan IPI ini ada di dalam Pasal 27 ayat (1) Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yaitu melalui seleksi mandiri oleh PTN, diterima melalui jalur kelas internasional, melalui jalur kerja sarna, dan lain-lain.
Berdasarkan informasi dari laman resmi UM UGM, IPI akan dikenakan kepada seluruh mahasiswa baru jalur seleksi mandiri. Bahkan, tidak hanya mahasiswa baru jalur UM UGM CBT, tetapi juga mahasiswa jalur Penelusuran Bibit Unggul (PBU).
"Jelas (IPI memberatkan) karena dengan penerapan IPI ke semua golongan kecuali golongan 0 itu tentu akan mengecilkan kuota daripada mahasiswa yang itu tidak mampu atau golongan menengah ke bawah," ucap Maulana ditemui di UGM, Selasa (27/5/2024).
Bahkan, kebijakan itu membuat sejumlah calon mahasiswa batal untuk mendaftar ke UGM.
"Itu sangat-sangat merugikan bagi calon mahasiswa. Bahkan sudah banyak yang mahasiswa yang pada awalnya ingin mendaftar di kampus kerakyatan ini (UGM) akhirnya mengundurkan diri untuk mendaftar," terangnya.
Apalagi, diungkapkan Maulan, jalur mandiri memiliki kuota penerimaan paling besar dibandingkan lainnya yakni 40 persen. Dikhawatirkan itu menjadi peluang bagi kampus untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari mahasiswa.
"Semuanya harus tahu bahwa jalur mandiri itu kuotanya sebanyak 40% penerimaan dan itu kuota terbesar daripada jalur-jalur lainnya. Tentu itu akan menjadi lahan basah bagi kampus untuk mencari mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari mahasiswa," ungkapnya.
Pihaknya menyoroti kurangnya pelibatan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan UKT dapat menyulitkan terciptanya kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Hal yang sama berlaku untuk Iuran Pengembangan Institusi (IPI).
Meskipun tujuannya untuk mendukung pengembangan institusi, kurangnya transparansi dan partisipasi mahasiswa dalam penetapan dan penggunaan dana IPI dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan ketidakpuasan.
Dalam konteks ini, penting bagi UGM untuk meningkatkan transparansi dalam proses penetapan UKT dan IPI. Memberikan informasi yang jelas dan terbuka kepada mahasiswa dan masyarakat tentang alasan di balik peningkatan biaya pendidikan, serta memperkuat mekanisme partisipasi mahasiswa dalam pengambilan keputusan
"Hal ini dapat membantu memperkuat hubungan antara universitas dan mahasiswa, sambil memastikan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Penetapan IPI ke semua golongan UKT jalur mandiri tahun 2024 justru telah bertentangan dengan statuta UGM sebagai kampus kerakyatan," terangnya.
Sudah Rencanakan Penyesuaian
Sekretaris Universitas Gadjah Mada (UGM) Andi Sandi mengakui memang sudah ada rencana untuk melakukan penyesuaian kembali besaran UKT pada tahun ini. Namun kenaikan UKT di UGM sendiri baru direncanakan pada tahun ini setelah lima tahun tanpa perubahan.
"Jadi UGM itu lima tahun terakhir sebelum tahun ini ya, itu tidak pernah menaikkan. Jadi UGM itu tidak pernah menaikkan hampir lima tahun ya, baru tahun ini ada penyesuaian," ujar Andi Sandi.
Namun tidak semata-mata menaikkan saja, bahkan justru ada beberapa prodi yang mengalami penurunan atau bahkan tak berubah.
"Kalau yang penyesuaiannya bervariasi bahkan ada enam prodi itu yang turun. Turun dia punya UKT, seperti Fakultas Filsafat itu turun UKT-nya. Program Studi Sosiologi itu turun. Tetapi di sisi yang lain ada juga yang naik, ada juga yang tetap," terangnya.
Diungkapkan Andi Sandi, kenaikan UKT itu memang bervariasi untuk masing-masing prodi. Mulai dari kisaran Rp200 ribu hingga Rp5,3 juta untuk yang kenaikan.
Sedangkan untuk penyesuaian yang turun berkisar antara Rp580 ribu sampai dengan Rp1,7 juta. Satu sisi, pihak kampus pun tetap mempertahankan program UKT 0 bagi mahasiswanya.
Rata-rata penerima atau pengguna UKT 0 itu pun, kata Andi Sandi cukup banyak. Setidaknya sudah mencapai rata-rata yang ditentukan oleh undang-undang yakni 20 persen.
"Dari zamannya, Prof Pratikno sampai sekarang kita tetap menjaga itu UKT 0 dan itu sampai saat ini masih ada, kami tetap mempertahankan itu. Kalau rata-rata, ratenya di atas 20 persen karena ketentuan undang-undang itu minimal 20 persen untuk yang kurang mampu, kalau UGM itu di atas 20 persen," tandasnya.
Selain UKT, Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal yang ditetapkan oleh UGM untuk mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri (UM) juga mendapat sorotan. Kebijakan IPI yang diterapkan itu dinilai akan memberatkan para mahasiswa baru.
Pembatalan kenaikan biaya pendidikan yang disampaikan Mendikbud Ristek kemarin juga akan memengaruhi penerapan IPI. Andi Sandi menyebut ketentuan UKT maupun IPI dimungkinkan bakal kembali ke aturan tahun 2023 kemarin.
Kemungkinan langkah tersebut disusul dengan terbitnya edaran dari Kemendikbudristek Nomor: 0511/E/PR.07.04/2024 tanggal 27 Mei 2024 tentang Pembatalan kenaikan UKT dan IPI Tahun Akademik 2024/2025.
Selain itu, kini kampus lantas berpedoman dengan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) dan Kepmendikbudristek Nomor 54 Tahun 2024. Dua aturan itu yang kemudian masih menjadi acuan penyesuaian UKT serta IPI nanti.
"Nah untuk pedoman itu mereka (kementerian) akan mereview kembali yang 2023 itu seperti apa. Jadi apakah itu memenuhi standar yang ditentukan dalam Permendikbudristek 2/2024 atau Permen 54/2024 itu," ungkapnya.
Andi Sandi bilang pihaknya tidak bisa serta merta menentukan perubahan IPI atau UKT pada tahun ini. Kampus akan terlebih dulu berkonsultasi dengan Kemendikbudristek untuk hal tersebut.
UGM sendiri diminta sudah mengirimkan usulan untuk UKT dan IPI terbaru paling lambat per 5 Juni 2024 esok. Andi Sandi tak memungkiri memang ada perbedaan aturan dalam penetapan IPI atau uang pangkal UGM tahun ini dibanding tahun sebelumnya.
Rencana skema penerapan baru IPI itu sendiri ditujukan kepada calon mahasiswa yang lolos jalur mandiri dan disesuaikan dengan golongan UKT yang dikenakan.
Penerapan UKT di UGM sendiri dibagi menjadi ke dalam lima golongan. Meliputi golongan UKT dengan subsidi 100 persen, 75 persen, 50 persen, 25 persen dan golongan UKT unggul.
Dalam hal pembayaran uang pangkal atau IPI, besaran nominal yang akan dibayarkan bakal disesuaikan dengan golongan UKT para calon mahasiswa.
"IPI itu kalau berdasarkan periode tahun akademik yang lalu hanya dikenakan untuk mahasiswa yang direkrut melalui ujian Mandiri dan juga yang ditetapkan mendapatkan UKT tertinggi," terangnya.
"Jadi perbedaan yang minta disesuaikan itu perbedaan dengan tahun yang lalu, IPI-nya itu (tahun ini) dikenakan untuk semua golongan sesuai dengan golongannya," imbuhnya.
Kebijakan itu yang telah dipilih dan diajukan UGM untuk penerapan IPI pada tahun 2024. IPI itu akan ditetapkan untuk semua golongan sesuai dengan komposisi jenis UKT-nya.
"Kalau yang 2023 itu hanya kena bagi mahasiswa dengan UKT tertinggi saja yang masuk dengan ujian mandiri," tegasnya.
Sebagai contoh penerapan skema tersebut, misalnya seorang calon mahasiswa berada di golongan UKT subsidi 75 persen. Maka kemudian yang bersangkutan akan mendapatkan subsidi 75 persen untuk pembayaran IPI.
Dengan gambaran besaran IPI yang dibagi tiap di UGM yakni adq klaster sosial humaniora (soshum) sebesar Rp20 juta dan saintek Rp30 juta.
Apabila calon mahasiswa tadi memperoleh subsidi 75 persen sesuai golongan UKT-nya. Maka, besaran nominal IPI yang harus dibayarkan yakni 25 persen dari Rp20 juta, yakni Rp5 juta. Skema tersebut berlaku untuk semua golongan UKT.
"(UKT subsidi 100 persen atau UKT 0) ya IPI-nya 100 persen. Jadi enggak bayar (IPI) juga," jelasnya.
Namun dengan pembatalan keputusan kenaikan biaya pendidikan kemarin, kata Andi Sandi, penerapan uang pangkal atau IPI pun dimungkinkan bakal dikembalikan ke tahun 2023.
"Kalau logic sederhananya itu akan kembali ke 2023 karena dilarang kan untuk naik, oke kita kembali ke 2023 tetapi 2023 itu belum ada standarnya seperti Permendikbudristek 2/2024 ini, makanya perlu diusulkan kementerian untuk diusulkan kembali," tandasnya.
Urgensi Penerapan IPI
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan UGM, Supriyadi, mengatakan penerapan IPI atau uang pangkal di UGM sebagai salah satu bentuk subsidi silang. Termasuk untuk mendukung biaya operasional kampus.
"Sebenarnya kalau yang simpel alasan yang sering kami gunakan atau yang banyak juga digunakan yang sebenarnya juga kemudian kami lakukan itu adalah semacam subsidi silang," kata Supriyadi saat berdialog dengan mahasiswa di halaman Gedung Balairung UGM, Kamis (30/5/2024).
Diungkapkan Supriyadi, pada kondisi saat ini UKT mahasiswa secara keseluruhan dari jenjang S1, S2 dan S3 sudah menutup Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) UGM sekitar 35 persen. Sedangkan untuk UKT jenjang S1 dan S1 Terapan berkisar di angka 18 persen dari kebutuhan total RKAT atau biaya UGM setiap tahunnya.
"Sebenarnya di situ kan juga banyak orang tua mahasiswa yang mempunyai sebenarnya kemampuan yang lebih baik maka kemudian diharapkan ada mekanisme subsidi silang karena kami juga memberikan beasiswa 100 persen, 75 persen dan seterusnya. Sehingga kita mencoba kembali untuk bisa menstabilkan di angka 18 persen itu dengan menggunakan IPI yang dulu SSPU," terangnya.
"Itu pun penggunaannya eksplisit sudah kita tetapkan adalah untuk membantu berbagai macam, beasiswa kepada mahasiswa, membantu kegiatan-kegiatan mahasiswa, mengalokasikan tambahan top up untuk usaha kegiatan UKM, kegiatan kemahasiswaan," imbuhnya.
Sekretaris UGM Andi Sandi memastikan bahwa kampus tidak tinggal diam. Apalagi dengan statusnya kini PTNBH, dana itu dicarikan dari berbagai sumber lainnya.
"Bukan semua dari situ (UKT dan IPI) karena realitas dana UKT itu hanya mengcover 30an persen. Jadi untuk S1 itu 18 persen. Sisanya itu UGM tidak berdiam diri, kami juga kerja sama ada hibah mulai penelitian dan lain-lain, itu lah yang paling banyak membantu kita," ujar Andi Sandi.
"Ini komposisinya kita, ingredients itu yang kami punya hak juga untuk menyimpan, untuk menjaga bahwa ini tetap roda Universitas Gadjah Mada tetap berjalan. Meskipun dengan tambahan seperti ini," imbuhnya.
Subsidi silang itu kemudian dibuktikan dengan data mahasiwa yang kemudian mendapatkan bantuan biaya kuliah hingga 100 persen. Direktur Pendidikan dan Pengajaran UGM, Gandes Retno Rahayu menyatakan selalu akan membantu tiap mahasiswa yang memang kesulitan.
"Untuk 2023 itu yang mendapat UKT subsidi 100 persen ada 720 dari semua jalur SNBT ,SNBP, PBU, UM UGM, maupun afirmasi dikti," ungkap Gandes.
Kemudian bagi mahasiswa yang tidak mendapatkan subsidi 100 persen, kata Gandes, ada upaya lain dari universitas untuk memberikan bantuan. Salah satunya dengan keringanan besaran UKT.
"Data di 2023 itu mahasiswa baru yang mendapat persetujuan keringanan UKT, artinya awalnya ditetapkan sekian kemudian mengajukan PK (peninjauan kembali), itu 876 yang diacc (diterima) untuk keringanan ini," terangnya.
Selanjutnya jika memang pengajuan keringanan itu belum diterima, maka masih ada cara lain. Bentuk bantuan lain yang bisa diakses yakni penundaan pembayaran.
"Kalau misalnya sudah ditetapkan begitu, semester 1 bisa mampu kemudian ternyata semester 2 mengalami kesulitan, ini juga ada bentuk untuk disetujui permohonan misalnya penundaan," ujarnya.
"Tahun 2023 itu yang mengajukan penundaan ada 47 dan nanti kalau kemudian direview ternyata memang ada kesulitan yang bersifat permanen, penyesuaian UKT tentu saja dilakukan," imbuhnya.
Kendati belum merinci total jumlah mahasiswa yang mengajukan keberatan UKT itu, Gandes mengatakan proses verifikasi itu selalu dilakukan. Ia menekankan kampus tetap mempunyai solusi untuk itu.
"Tentu saja dengan bantuan mahasiswa untuk verifikasi itu semua diverifikasi, yang layak kemudian untuk diturunkan mesti diturunkan. Poin pentingnya we have a solution kalau ada yang kesulitan dan itu bareng-bareng kita lakukan," ucapnya.
Sikap PTN
Tidak hanya UGM yang bersuara tentang pembatalan kenaikan UKT pada tahun 2024 ini. Sebagai bentuk tindaklanjut dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nomor 0511/E/PR.07.04/2024 tanggal 27 Mei 2024 tentang pembatalan kenaikan UKT tahun 2024, UPN "Veteran" Yogyakarta pun turut merespon keputusan itu.
Dalam keterangan resmi tertulisnya, pencabutan peraturan tentang kenaikan UKT itu berdampak pada tarif UKT yang diterapkan di kampus. UPN Veteran Yogyakarta sendiri memilih untuk kembali menggunakan tarif UKT 2023.
Namun tak berhenti di situ, perubahan ini pun berdampak pada mahasiswa yang akan mengalami kelebihan pembayaran dan kekurangan pembayaran. Termasuk dengan kelompok biaya UKT yang sebelumnya ditetapkan dalam 10 kelompok, kini kembali menjadi 8 kelompok UKT.
Rektor UPN Veteran Yogyakarta, Muh Irhas Effendi, menyatakan dirinya telah berkoordinasi dengan jajaran terkait untuk membahas implikasi dari keputusan ini. Setidaknya ada tiga poin utama yang diputuskan.
"Mahasiswa yang mengalami kelebihan pembayaran akan menerima pengembalian selisih pembayaran tersebut. Mekanisme pengembalian akan diinformasikan lebih lanjut melalui pemberitahuan resmi," ujar Irhas.
Kemudian untuk mahasiswa yang mengalami kekurangan pembayaran akan dibebaskan dari kekurangan tersebut. Apabila ada mahasiswa yang belum melakukan daftar ulang karena alasan administratif akan diberikan kesempatan untuk melakukan daftar ulang sampai batas waktu yang ditetapkan.
Sebelumnya UPN Veteran Yogyakarta telah menetapkan besaran UKT yang sudah diajukan dan disetujui kementerian di tahun 2024. Dalam prosesnya UPN Veteran Yogyakarta telah memberikan kesempatan untuk melakukan sanggah dan permohonan penurunan.
Dari jumlah 1192 mahasiswa yang diterima pada jalur SNBP 2024, terdapat 671 mahasiswa yang mengajukan sanggah dan sebanyak 423 mahasiswa atau 63 persen disetujui. Kemudian yang mengajukan sanggah banding sebanyak 171 mahasiswa dan 160 mahasiswa atau 93.6 persen disetujui.
"Keputusan ini diambil sebagai bentuk komitmen UPN Veteran Yogyakarta dalam mendukung mahasiswa dan memastikan proses pendidikan berjalan lancar tanpa hambatan finansial," tuturnya.
Akar Persoalan Biaya Pendidikan Mahal
Aktivis Pendidikan Tamansiswa, Darmaningtyas menilai pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada tahun ini belum akan membuat persoalan biaya pendidikan yang kian mahal selesai begitu saja. Keputusan itu seolah hanya menjadi peredam polemik yang tengah ramai sekarang saja.
"Pembatalan kenaikan UKT tahun 2024 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim itu hanya sekadar meredam kehebohan saja," kata Darmaningtyas.
Darmaningtyas menyoroti era privatisasi PTN menjadi PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum). Hal itu yang kemudian berdampak pada merangkak naiknya biaya pendidikan.
Uang kuliah yang kian mahal merupakan konsekuensi atas kebijakan itu. Hingga sekarang kemudian semakin mempersempit akses masuk ke PTN bagi golongan miskin.
"Memprivatisasi dan liberalisasi PTN. Perubahan PTN menjadi PTN-BH itu yang menjadi akar masalahnya karena dari situ anggaran negara menjadi berkurang," ujarnya.
Sebagai diketahui privatisasi ini yang kemudian mendorong PTNBH membuka ujian masuk melalui jalur mandiri. Kemampuan membayar calon mahasiswa kemudian menjadi dasar penerimaannya. Pola ini sekarang mulai diikuti oleh semua PTN.
Privatisasi ini hanya diterapkan ke PTN yang dianggap mampu secara institusional mencari sumber pendanaan dari sektor lain termasuk swasta. Walaupun kini bukti itu belum tampak nyata dan justru berdampak pada biaya kuliah yang mahal.
Anggaran untuk sektor pendidikan pun disebut belum dapat dimaksimalkan. Padahal sudah seharusnya hal tersebut cukup bisa membantu.
"Anggaran pendidikan itu kan macam-macam untuk gaji guru dan dosen, itu masuk anggaran pendidikan. 20 persen tapi kan tidak sepenuhnya untuk sektor pendidikan, ya idealnya negara memberikan modal yang cukup," cetusnya.
Diketahui kini kampus terkhusus PTNBH masih berpedoman kepada Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional.
Pendidikan Tinggi (SSBOPT) dan Kepmendikbudristek Nomor 54 Tahun 2024. Menurutnya akan sia-sia pembatalan kenaikan UKT tahun ini jika aturan tersebut tidak ikut dicabut.
"Bila Permendikbud ini tidak dicabut, maka Permendikbud ini tetap akan berlaku pada tahun-tahun yang akan datang. Padahal, Permendikbud ini tidak hanya mengatur soal UKT saja, tapi juga mengatur soal Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang besarannya bisa maksimal 4 kali lipat biaya operasional kuliah per orang atau disebut biaya kuliah tunggal (BKT)," paparnya.
Sehingga pembatalan kenaikan UKT di tahun 2024 ini seolah hanya semu dan sementara saja. Pasalnya masih ada aturan lain yang kemudian memberi dampak kepada besaran uang kuliah.
Aturan itu, masih menjadi celah untuk kampus mencari dana dari mahasiswanya. Mungkin saat ini tidak melalui UKT tapi tetap tidak menutup kemungkinan bisa pula dari IPI.
"Bisa saja UKT tidak naik, tapi nanti pimpinan kampus akan memungut IPI. Oleh karena itu, pencabutan Permendikbud ini lebih penting dan mendesak daripada membatalkan kenaikan UKT," tegasnya.
"Kalau cuma sekadar membatalkan UKT tapi tidak mencabut Permendikbud, maka sebetulnya hanya melempar tanggung jawab kepada Mendikbud yang akan datang saja," imbuhnya.
Pencabutan Permendikbud 2/2024 itu, dinilai Darmaningtyas yang lebih mendesak. Setidaknya menjadi solusi yang bisa ditawarkan pemerintah untuk saat ini.
"(Pencabutan Permendikbud) paling tidak sudah menjadi solusi pemerintah, berarti kan pemerintah tidak bisa lagi memakai aturan itu untuk memungut," ucapnya.
Polemik UKT sudah seharusnya dapat diselesaikan negara. Apalagi dengan tugas besar yang diembannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan justru pendidikan yang semakin dikomersialisasikan.
Apalagi dikelola dengan pendekatan dan prinsip bisnis dan keuntungan finansial semata. Padahal pendidikan menjadi krusial untuk menciptakan generasi berilmu atau bahkan emas, seperti yang dicita-citakan dalam beberapa puluh tahun ke depan.