SuaraJogja.id - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis berupa hukuman pidana penjara selama 10 tahun kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menilai putusan terhadap SYL bisa lebih maksimal lagi. Walaupun memang secara vonis dan tuntutan sudah tidak jauh berbeda.
Zaenur mempertanyakan tuntutan SYL yang sejak awal hanya 12 tahun saja. Padahal tindak pidana korupsi yang dilakukan eks Mentan itu sangat destruktif tak hanya bagi institusi tapi juga ke bidang pertanian secara luas.
"Jadi seharusnya sih tuntutan, kalau pasal 12 itu kan maskimalnya undang-undang tipikor itu menyediakan maksimal di angka 20 tahun. Seharusnya dia (SYL) dituntut maksimal, sehingga nantinya putusannya juga bisa maksimal," kata Zaenur, dikonfirmasi, Kamis (11/7/2024).
Secara umum, Zaenur bilang kalau berpatokan pada tuntutan awal maka putusan ini sudah relatif memuaskan. Tetapi kalau dilihat dari kejahatan dan keseriusan akibat dampak kejahatan yang dilakukan oleh SYL seharusnya hukuman bisa jauh lebih tinggi.
"Dan seharusnya majelis hakim tidak terikat pada masa pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, boleh saja majelis hakim menjatuhkan pidana yang lebih tinggi. Sekali lagi melihat persidangan yang sangat gamblang jelas, betapa perbuatan SYL itu sangat jahat seharusnya memang tuntutannya maksimal, putusannya seharusnya juga sangat maksimal," tegasnya.
Selain putusan hukuman tak maksimal, Zaenur turut menyoroti hukuman untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp14,1 miliar ditambah USD30 ribu dalam waktu satu bulan. Menurutnya nilai uang pengganti itu juga belum sepasan dengan kerugian negara.
"Kalau kita dengar keterangan KPK awal kerugian itu bisa sampai Rp40an miliar ya, tapi yang berhasil yang bisa dibuktikan itu hanya sekitar Rp14 miliar yang dinikmati oleh SYL dan keluarganya. Artinya ada kerugian keuangan negara yang itu tidak bisa direcovery dari SYL," tuturnya.
"Nah ini nanti apakah bisa direcovery dari terdakwa lain saya juga enggak tahu tuh, karena terdakwa lain apakah ikut menikmati atau tidak, kalau tidak ikut menikmati kan artinya mereka tidak diminta untuk uang pengganti," imbuhnya.
Dia menilai perlu ada revisi terhadap Pasal 18 Undang-Undang Tipikor tersebut. Sehingga terdakwa juga seharusnya dibebani uang pengganti senilai total kerugian bukan hanya senilainyang dinikmati saja.
Kasus Harus Dikembangkan
Terakhir Zaenur menyebut bahwa kasus SYL ini masih perlu untuk dilanjutkan. KPK bisa lebih mengembangkan kasus ini terkait potensi dugaan tindak pidana lain di dalamnya.
"Kasus ini masih harus dilanjutkan dikembangkan, masih ada dugaan tindak pidana lain yang dilakukan oleh pihak-pihak lain juga mungkin oleh SYL sendiri, yang belum diproses hukum," ujar Zaenur.
"Apa jelasnya, misalnya ada keterangan soal auditor BPK meminta uang Rp12 miliar diberikan Rp6 miliar, juga ada dugaan juga soal greenhouse di Kepulauan Seribu, kalau memang itu hasil dari kejahatan itu harus diungkap diperiksa oleh KPK, kalau memang itu hasil kejahatan pidana korupsi harus dibuka kasus baru," tambahnya.
Termasuk berbagai kemungkinan kasus tindak pidana lain yang terjadi di Kementan. Berbasis kepada keterangan-keterangan yang telah disampaikan dalam kasus SYL ini.
"Jadi KPK tidak boleh berhenti harus diungkap lebih lanjut," pungkasnya.