SuaraJogja.id - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari sebelumnya 11 persen menjadi 12 % pada Januari 2025 menuai beragam kontroversi di masyarakat. Tak terkecuali, kebijakan ini turut disoroti oleh Pakar Ekonomi Makro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Imamuddin Yuliadi, SE., M.Si. Ia meminta agar kenaikan PPN 12% ini sebaiknya ditunda dan dilakukan pengkajian ulang.
Sebagaimana diketahui, kenaikan PPN 12% ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa tarif PPN 11% mulai berlaku pada 1 April 2022, dan PPN 12% akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Namun Imamuddin menilai, menaikkan PPN menjadi 12% di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang masih memiliki PR, akan berpotensi memperburuk sektor riil.
“Sebagai bagian dari masyarakat, selama masih ada pilihan lain selain menaikkan pajak, saya minta agar kenaikan pajak ini dapat ditunda dan dikaji ulang,” katanya seperti dilansir dari laman UMY, Jumat (22/11/2024).
Dampak dari kebijakan ini dinilai akan menggerogoti roda ekonomi, seperti menggerus daya beli masyarakat, konsumsi mengalami penurunan, serta dunia bisnis terutama UMKM akan menghadapi kenaikan biaya produksi dan berisiko kehilangan pasar. Hal ini disebabkan, kenaikan PPN 12% ini akan mengakibatkan barang dan jasa yang dikonsumsi mengalami kenaikan harga, sehingga besar kemungkinan akan terjadi inflasi.
Baca Juga:Kasus Penyekapan Sesama Mahasiswa UMY Berakhir Damai
“Untuk kalangan menengah ke atas, mungkin kenaikan ini tidak akan berdampak signifikan, tetapi untuk kalangan menengah terutama UMKM jelas akan menekan biaya produksi mereka. Oleh karena itu, solusi perlu dicari untuk kelompok yang rentan ini agar dapat mengurangi beban produksi bagi pelaku usaha,” jelas Sekretaris Dewan Guru Besar UMY ini lagi.
Meskipun kebijakan ini dibuat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap berjalan sesuai dengan yang sudah ditetapkan, serta sebagai upaya agar agenda-agenda pembangunan yang telah dimulai oleh pemerintahan sebelumnya dapat terus berjalan. Namun Imamuddin berpendapat, sebenarnya protes masyarakat bukan hanya terkait dengan kenaikan pajaknya, tetapi juga sejauh mana akuntabilitas pemerintah dalam mengelola pajak.
Oleh karena itu, Imamuddin menilai, kajian ulang perlu dilakukan yang harus mengacu pada fungsi pajak yang mencakup tiga aspek, yakni stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Artinya, jika penerimaan pajak pemerintah meningkat, maka pengeluaran fiskal pemerintah juga harus meningkat, terutama untuk memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat.
Distribusi dan alokasi pajak, lanjutnya, harus tepat sasaran, seperti untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Selain itu, stabilisasi ekonomi juga perlu dilakukan dengan menggerakkan sektor-sektor yang vital.
“Pemerintah juga harus profesional. Jika masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari pembangunan yang dibiayai oleh pajak—seperti jalan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, fasilitas kesehatan yang lebih baik, dan pelayanan publik yang lebih profesional, masyarakat mungkin akan lebih menerima kebijakan tersebut. Di negara lain, masyarakat cenderung tidak mempermasalahkan soal pajak karena mereka mendapatkan timbal balik yang lebih besar,” ungkap Guru Besar UMY bidang Ilmu Ekonomi ini.
Baca Juga:Heboh, Gadis 17 Tahun Disekap di Kos wilayah Bantul, Diduga Dihamili Pria Dewasa
Berbicara tentang kebijakan fiskal di Indonesia, Imamuddin mengatakan, masih ada ruang untuk perbaikan dengan meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas pemerintah agar kepercayaan masyarakat semakin baik. Oleh karena itu, sebelum kebijakan ini diterapkan, perlu ada sosialisasi yang jelas kepada masyarakat mengenai bagaimana penggunaan dana pembangunan dilakukan dengan benar, akuntabel, serta penekanan terhadap kebocoran dana dan praktik korupsi.
“Selain itu, pemerintah sebaiknya mengundang para pakar dan pemangku kepentingan terkait, baik itu dari sektor pariwisata, perbankan, dan lainnya, agar masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka, dan solusi yang terbaik dapat ditemukan. Pemerintah juga harus memberikan pilihan pembangunan alternatif lainnya yang dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat, agar tidak menimbulkan reaksi emosional,” tandasnya.