Rendang Hajatan Jadi Petaka di Klaten, Ahli Pangan UGM Bongkar Masalah Utama di Dapur Selamatan

Melihat kemungkinan jeda waktu 12 jam itu, kata Sri, cukup waktu bagi bakteri untuk berkembang biak.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 17 April 2025 | 18:55 WIB
Rendang Hajatan Jadi Petaka di Klaten, Ahli Pangan UGM Bongkar Masalah Utama di Dapur Selamatan
Petugas kesehatan memberi penanganan bagi warga yang keracunan makanan di Posko penanganan kejadian luar biasa keracunan massal di Karangturi, Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah, Selasa (15/4/2025). [ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/Spt]

SuaraJogja.id - Kasus keracunan kembali terulang belum lama ini. Terbaru ada sebanyak 127 warga Desa Karangturi, Klaten, Jawa tengah menjadi korban keracunan makanan usai menyantap nasi kotak dalam hajatan wayangan pada hari Sabtu (12/4/2025) kemarin.

Nahas bahkan satu orang warga harus meninggal dunia karena diduga juga mengidap penyakit bawaan atau komorbid.

Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Sri Raharjo, menyebut peristiwa keracunan makanan sudah sering kali dialami warga masyarakat akibat mengonsumsi makanan dalam berbagai acara hajatan.

Menurutnya, jumlah kasus keracunan makanan seperti ini setiap tahun sesungguhnya banyak terjadi. Hanya saja ada pihak yang melaporkan dan tidak dilaporkan.

Baca Juga:Guru Besar UGM Dipecat Karena Kekerasan Seksual, Kok Masih Digaji? UGM Buka Suara

"Sebagian ada yang dipublikasikan oleh media dan ada yang tidak. Sayangnya kasus keracunan semacam ini jarang sekali yang dilanjutkan pemberitaannya hingga hasil uji laboratorium terkait jenis bakteri atau toksinnya yang mungkin menjadi penyebab," kata Sri, Kamis (17/4/2025).

Kondisi itu kemudian salah satu faktor yang membuat kasus keracunan kembali berulang.

"Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu kendala mengapa upaya untuk meminimalkan terulangnya kasus keracunan makanan tidak efektif," imbuhnya.

Terkait kasus keracunan massal di Klaten, kata Sri, disebabkan oleh beberapa faktor secara bersamaan. Pertama terkait dengan kondisi mutu dan keamanan bahan pangan segar yang diolah.

Kedua terkait dengan cara mengolah makanan yang dikonsumsi. Di antaranya kondisi para masak, peralatan dan cara pemakaiannya, kondisi lingkungan, serta waktu pengolahan dan konsumsinya.

Baca Juga:UGM Dituding Tak Berani Jujur Soal Ijazah Jokowi, Amien Rais: Ada Tekanan Kekuasaan

Dari sajian makan menurut pemberitaan berupa nasi, rendang daging sapi, krecek, acar, kerupuk dan snack.

Jika dilihat potensi bahaya makanan, menurut Sri Raharjo, rendang daging sapi dan krecek berisiko lebih tinggi dibanding sajian acar, kerupuk dan snack.

Dia mempertanyakan kondisi daging sapi itu, apakah masih segar dan terjaga kebersihannya, dingin atau beku.

Jika tidak, disebutnya dimungkinkan berpotensi memiliki tingkat cemaran bakteri atau toksin cukup tinggi di atas batas normalnya yang dianggap aman.

Dosen Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu menggambarkan jika untuk hajatan tersebut dibuat 200-300 box, dan tiap kotak berisi sekitar 50 gram daging maka membutuhkan 10-15 kg daging segar.

Daging sebanyak itu dimasak beserta bumbunya mungkin menggunakan peralatan masak ukuran rumah tangga, dan biasanya tidak rampung dalam sekali masak. Kemungkinannya, kata dia, dimasak 3-5 kali.

Hal ini berarti masakan yang pertama dilakukan awal pagi dimisalkan sekira pukul 07.00 di hari yang sama atau mungkin dimasak sehari sebelumnya.

Kondisi ini tentu berisiko karena ada jeda waktu lebih dari 10 jam hingga dikonsumsi.

"Kalaupun tersedia alat masak yang besar dan dapat dipergunakan untuk memasak 10-15 kg daging sekali masak maka inipun berisiko panas tidak merata untuk mematangkan beberapa potong daging," ujarnya.

"Sehingga tidak cukup untuk mematikan bakteri atau melemahkan toksin yang mungkin sudah mencemari daging dengan level yang cukup tinggi akibat kondisi daging segar yang kurang terjaga," imbuhnya.

Sri Raharjo pun membayangkan setelah selesai masak daging dan krecek yang kemudian dimasukkan ke dalam nasi kotak maka sajian tentunya baru dikonsumsi oleh warga pada malam hari sekitar jam 19.00-20.00 WIB.

Jika memang begitu, ada interval waktu 12 jam hingga makanan dikonsumsi warga.

"Tentu dimakan di malam hari karena hajatan wayangan. Jika proses memasak dalam jumlah besar, dimungkinkan panasnya tidak tuntas mematangkan masakan, dan berisiko masih menyisakan sedikit bakteri atau toksin penyebab sakit," paparnya.

Melihat kemungkinan jeda waktu 12 jam itu, kata Sri, cukup waktu bagi bakteri untuk berkembang biak lagi mencapai jumlah yang membahayakan.

Mereka yang mengonsumsi rendang daging atau krecek boleh jadi tidak mengalami sakit perut, muntah, ataupun diare karena kondisi kesehatannya baik.

Sedangkan warga yang menjadi korban keracunan bisa jadi ketika mengonsumsi kondisi kesehatannya kurang baik alias daya tahan tubuhnya melemah.

Diperlukan pemahaman yang benar terkait cara mengolah makanan dalam jumlah besar. Hal itu untuk meminimalisir kemungkinan peristiwa serupa kembali terjadi.

Penyiapan secara gotong royong oleh warga bisa menjadi salah satu cara. Termasuk untuk memperhatikan peralatan pengolahan dan cara pemakaiannya secara tepat, serta kewaspadaan jika masakan yang sudah siap saji baru dikonsumsi lebih dari 10 jam.

"Hal-hal semacam ini penting untuk diperhatikan, dan dilakukan. Para warga pun diharapkan untuk selalu menjaga kondisi kesehatannya. Secara bersama kita upayakan meminimalkan risiko kemungkinan terjadinya keracunan makanan," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak