Polemik Lahan Transmigran di Konawe Selatan Terancam Digusur, Pemkab Sleman Turun Tangan

Bupati Sleman Harda Kiswaya bersama rombongan yang beranggotakan 17 orang termasuk Kepala Dinas Tenaga Kerja.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 17 Juni 2025 | 12:48 WIB
Polemik Lahan Transmigran di Konawe Selatan Terancam Digusur, Pemkab Sleman Turun Tangan
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Sleman, Sutiasih memberi keterangan pada wartawan. [Hiskia/Suarajogja]

Diungkapkan Sutiasih, sebanyak 12 KK transmigran di Konawe Selatan itu akhirnya memutuskan pulang secara mandiri tanpa melapor ke Pemerintah Kabupaten Sleman.

"Jadi yang 12 pulang sendiri, pulang mandiri. Kami saja tidak tahu, tidak dilapori. Dia tidak lapor," ucapnya.

Sutiasih menambahkan bahwa jika pemerintah daerah setempat ingin mengganti kebijakan awal dengan kompensasi lain seperti ternak sapi, seharusnya dilakukan perubahan perjanjian secara resmi, bukan sepihak.

"Kalau ada kebijakan lain kan harus diadendum, harus diubah, ya kan, tidak sepihak gitu. Itu akan dipertanyakan di sana," tegasnya.

Baca Juga:Promosi ke Liga 1, PSIM Jogja Ngebet Kandang di Maguwoharjo, Ini Kata Bupati Sleman

Warga Melapor

Adapun informasi awal mengenai persoalan ini mencuat setelah anggota Komisi XII DPR RI, Totok Daryanto, menerima laporan langsung dari para transmigran asal Sleman saat berkunjung ke Konawe Selatan pada Mei 2025.

Dalam kunjungan itu, Totok mendengar keluhan bahwa para warga yang ditempatkan di Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Arongo sejak 2011, hingga kini belum memperoleh seluruh jatah lahan dua hektare per keluarga sebagaimana dijanjikan dalam program transmigrasi pasca-erupsi Merapi 2010.

Program tersebut sebelumnya menjanjikan 1.500 hektare lahan untuk sekitar 500 kepala keluarga dari berbagai daerah, namun realisasinya baru mencapai 312 hektare.

Dari total itu, hanya sebagian kecil yang diterima transmigran asal Sleman, sementara mayoritas dibagikan ke transmigran dari luar daerah dan warga lokal.

Baca Juga:Bupati Sleman Murka, Proyek Parkir Pasar Godean Tak Nyambung, Evaluasi Total

Hal ini memicu ketimpangan dan kekecewaan di kalangan penerima manfaat awal.

Situasi semakin pelik sejak 2015, ketika para transmigran menghadapi konflik lahan dengan salah satu perusahaan sawit di sana yang juga memiliki izin lokasi di atas lahan yang digarap warga.

Akibatnya, sekitar 40 hektare lahan transmigran digusur sepihak tanpa proses musyawarah, dan menyisakan hanya 272 hektare lahan garapan untuk seluruh penghuni.

Konflik memuncak pada periode Agustus hingga Desember 2023, ketika penggusuran kembali terjadi disertai dugaan tindakan represif yang melibatkan aparat desa.

Warga merasa tidak pernah diajak mediasi atau diberi kesempatan menyuarakan keberatan.

Totok menilai konflik ini belum mendapatkan penanganan serius secara hukum maupun administratif dari pihak berwenang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak