Analisis Tajam Sabrang Letto: Kasus Tom Lembong Jadi Pertaruhan: Wasit Tak Adil!

Budayawan Sabrang Letto menyoroti kasus Tom Lembong yang viral, menyebutnya sebagai ujian berat bagi sistem hukum Indonesia

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 02 Agustus 2025 | 17:05 WIB
Analisis Tajam Sabrang Letto: Kasus Tom Lembong Jadi Pertaruhan: Wasit Tak Adil!
Sabrang Mowo Damar Panuluh, atau yang akrab disapa Sabrang MDP atau Sabrang Letto. [YouTube]

SuaraJogja.id - Nama Tom Lembong kembali menjadi perbincangan hangat, namun kali ini bukan dari panggung ekonomi atau politik praktis. Kasusnya kini menjadi cermin retak yang merefleksikan krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia, sebuah sorotan tajam yang diviralkan oleh budayawan dan pemikir Sabrang Mowo Damar Panuluh.

Analisis vokalis band Letto yang akrab disapa Sabrang Letto itu menguliti bagaimana kasus ini, terlepas dari substansinya, telah menjadi episentrum erosi keyakinan masyarakat terhadap keadilan dan imparsialitas penegak hukum.

Metafora 'Wasit Tak Adil': Peringatan Keras Sabrang untuk Aparat Hukum

Sabrang MDP dengan lugas mengibaratkan negara sebagai sebuah "permainan" besar di mana aparat hukum berperan sebagai wasit. Menurutnya, pondasi utama agar permainan ini bisa terus berjalan adalah wasit yang adil.

Baca Juga:Dampak Larangan Study Tour: Keraton Jogja Ubah Haluan, Tawarkan Wisata yang Bikin Anak Betah

Namun, kasus yang menyeret nama Tom Lembong dinilai telah merusak citra wasit tersebut di mata para pemain, yakni warga negara.

Kasus Tom Lembong, benar atau salah, telah menciptakan impresi di masyarakat,” ujar Sabrang dalam analisisnya yang viral, menekankan bahwa persepsi publik seringkali memiliki dampak yang lebih dahsyat daripada fakta hukum itu sendiri.

Anies Baswedan bersama Tom Lembong dan istri tercintanya usai pembebasan dari Rutan Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025) malam. [Suara.com/Faqih]
Anies Baswedan bersama Tom Lembong dan istri tercintanya usai pembebasan dari Rutan Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025) malam. [Suara.com/Faqih]

Ia memperingatkan adanya bahaya besar ketika publik tak lagi percaya pada wasit.

"Jika para pemain (warga negara) sudah tidak mau memainkan ‘game’ negara lagi karena wasitnya tidak adil, ini menjadi masalah,” tegas Sabrang.

Peringatan ini bukan sekadar retorika, melainkan sinyal potensi disintegrasi sosial ketika mekanisme formal penyelesaian sengketa tak lagi dipercaya.

Baca Juga:Jogja Darurat Sampah: Penertiban Swasta Berujung Tumpukan Menggunung, WTE Jadi Harapan Terakhir?

Ambiguitas dan Prasangka: Racun yang Menggerogoti Keadilan

Salah satu inti masalah yang diangkat Sabrang adalah bahaya dari proses hukum yang ambigu dan tidak transparan. Ketidakjelasan ini, menurutnya, adalah lahan subur bagi tumbuhnya prasangka dan asumsi liar di tengah masyarakat.

“Jika proses hukum tidak transparan dan konsisten, ini akan menimbulkan ambiguitas,” jelasnya.

Ambiguitas inilah yang menjadi akar ketidakpercayaan. Ketika sebuah keputusan hukum tidak disertai penjelasan logis dan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan, publik secara alami akan membangun narasi negatifnya sendiri.

“Jika tidak ada penjelasan yang masuk akal mengenai dasar keputusan, maka akan jatuh pada prasangka, yang berujung pada ketidakpercayaan pada sistem,” papar Sabrang.

Fenomena ini diperparah oleh dugaan standar ganda dalam penegakan hukum. Jika dua pelanggaran yang mirip ditangani dengan cara yang berbeda drastis, ini akan menimbulkan pertanyaan besar.

"Itu harus bisa dijelaskan. Jika tidak, berarti ada masalah," cetusnya, menyerukan adanya konsistensi dan keadilan tanpa pandang bulu.

Beban Moral Pemimpin: Jangan Korbankan Bangsa Demi Ego Pribadi

Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe Letto. (tangkapan layar/Youtube)
Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe Letto. (tangkapan layar/Youtube)

Sabrang MDP juga menyoroti tanggung jawab moral para pemimpin dan pengambil keputusan di era informasi yang serba terbuka.

Ia mengingatkan bahwa persepsi publik, terutama dari kalangan muda yang kritis, tidak bisa lagi dibeli atau dikendalikan.

"Para pemimpin, pejabat, dan pelaku politik tidak bisa membeli persepsi masyarakat, terutama anak muda yang semakin banyak berpikir sendiri," kata Sabrang.

Menurutnya, sebuah keputusan yang sarat dengan nuansa ketidakadilan bukan hanya merugikan individu yang menjadi target, tetapi berpotensi menghancurkan tatanan bangsa.

Ia bahkan melontarkan pernyataan keras tentang dampak jangka panjang dari sebuah kebijakan. "Satu keputusan kecil bisa lebih berharga daripada nyawa pembuat keputusan karena dampaknya pada jutaan orang dan masa depan."

Pernyataan paling menohok datang ketika ia menggambarkan skenario terburuk dari penyalahgunaan kekuasaan. "Tragis jika kasus Tom Lembong dipenjara hanya karena perintah satu orang yang sakit hati dan memiliki sumber daya, ini menghancurkan masa depan bangsa," ungkap Sabrang.

Jalan Keluar dari Krisis: Momen Perbaikan Bersama

Di tengah sorotan tajam ini, Sabrang tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan jalan keluar. Ia melihat kasus Tom Lembong sebagai momentum atau "cobaan bagi bangsa untuk benar-benar mau memperbaiki diri bersama-sama."

Kunci utamanya adalah imparsialitas. Para pemangku kepentingan didesak untuk menanggalkan ego pribadi, kepentingan politik sesaat, atau dendam personal demi kebaikan yang lebih besar.

Transparansi dan keterbukaan menjadi harga mati untuk memulihkan kepercayaan. "Perlu ada yang berpikir untuk negara dalam jangka pendek dan jangka panjang," tutup Sabrang, menekankan urgensi adanya visi kenegarawanan yang melampaui kepentingan sesaat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak