SuaraJogja.id - Sekitar 20 seniman jalanan di Yogyakarta menyuarakan kritik sosial melalui seni grafiti di Jembatan Kewek dan perempatan Pojok Beteng Wetan, Senin (1/9/2025).
Namun tak sampai 24 jam, karya grafiti yang berbunyi "Reset System" dan "Awas Intel" berwarna pink dan hijau yang menggambarkan aksi solidaritas dan perlawanan yang tengah marak dalam berbagai unjukrasa sudah dihapus oleh orang tak dikenal.
Kinky20, salah satu seniman yang terlibat di Yogyakarta, Rabu (3/9/2025) menyatakan, karya tersebut memang dibuat untuk menyinggung aksi represif aparat dalam aksi unjukrasa di sejumlah daerah, termasuk di Yogyakarta.
Sebut saja kematian pengemudi ojek online mahasiswa di Jakarta dan mahasiswa Amikom Yogyakarta yang melibatkan para aparat.
Baca Juga:Ricuh Depan Mapolda DIY: 60 Orang Diamankan, Satu Pelajar Bawa Bom Molotov
"Kami buat karya senin [1/9/205], tapi kemarin selasa [2/9/2025], karya yang di jembatan sudah dihapus, sedangkan yang di Jokteng Wetan sebagian kata dihapus," paparnya, Rabu.
Para seniman menilai tindakan ini sebagai bentuk pembredelan kreativitas dan pengekangan kebebasan berekspresi.
Kinky20 menyebut, awalnya ada dua mural yang mereka kerjakan bersama sekitar 20 seniman. Proses dimulai sejak siang hingga malam hari pada Senin kemarin.
Namun tiba-tiba mereka didatangi segerombolan orang.
Massa yang datang mengaku polisi dan bertanya tentang kegiatan mereka melukis grafiti.
Baca Juga:Korban Luka Demo Capai 29 Orang di RSUP Sardjito, Satu Meninggal setelah Gagal Resusitasi Jantung
"Ini sudah kami diskusikan jauh-jauh hari. Setelah mural selesai, sekitar pukul 19.30 WIB, kami tiba-tiba didatangi segerombolan orang berpakaian preman. Mereka marah-marah, menyinggung mural tentang polisi, dan merasa tersinggung," ujar Kinky.
Menurutnya, kelompok itu meski datang tanpa seragam resmi diyakini merupakan aparat.
Apalagi ada mobil polisi yang ikut terparkir di dekat mereka.
Mereka menginterogasi tujuan mural, bahkan hampir mengintimidasi para seniman dengan nada keras.
Namun para seniman memberikan penjelasan terkait karya seni tersebut.
Namun aparat tetap bersikeras para seniman jalanan tidak membuat grafiti tersebut.
Bahkan mereka meminta seniman membuat karya lain tentang keindahan.
Dialog sempat dilakukan dan para seniman menjelaskan karya tersebut adalah respons mereka terhadap isu nasional, khususnya soal korban aksi demo di berbagai daerah.
"Tapi mereka bilang, karya kami sebaiknya yang indah-indah saja. Permintaan itu tidak masuk akal. Masa kami harus melukis pemandangan di saat teman-teman kami berjuang di jalanan, ada yang diculik, ada yang dipukul aparat? Indah itu relatif. Kami pekerja seni punya hak untuk bicara lewat karya," tandasnya.
Polisi pun, lanjutnya sempat meminta maaf setelah sempat meninggikan suara.
Namun tak lama kemudian, tiga orang lain kembali datang menyinggung mural yang sama.
"Intinya, mereka ingin mural kami tidak menyinggung soal polisi. Kami sudah bilang, aksi ini dilindungi hukum. Tapi mereka tetap ngotot," jelasnya.
Namun keesokan harinya, mural tersebut sudah hilang. Beberapa orang saksi melihat ada beberapa orang yang datang.
"Pagi-pagi, teman-teman lihat ada sekitar lima orang pakai helm datang. Ternyata mural sudah bersih. Jadi jelas ini bentuk pembredelan kreativitas. Oknum atau institusi tertentu tidak bisa membatasi ruang ekspresi seniman," tandasnya.
Kinky20 menambahkan, mural itu dibuat dengan biaya sendiri, hasil iuran para seniman, tanpa dukungan pihak mana pun. Mereka juga turun ke jalan dengan resiko besar, tanpa jaminan keamanan.
"Ketika karya kami dihapus, jelas ini menyinggung kami. Ini negara demokrasi, seharusnya suara rakyat tidak dibungkam," ujarnya.
Ada Upaya Penjemputan para Seniman
Kenky20 menambahkan, tak hanya upaya pembredelan karya seni, dalam aksi itu juga sempat ada upaya penjemputan.
Malam saat mural hampir selesai, lebih dari 20 orang datang, termasuk satu truk polisi.
"Indikasinya jelas, seolah mau menjemput kami. Tapi karena kami tidak melakukan kriminal, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka bahkan bicara soal geledah identitas. Itu kan aneh," tandasnya.
Meski mendapat intimidasi, para seniman tetap tenang dan memilih untuk berdialog.
Mereka sepakat jangan ada satupun seniman yang lari.
Sebab bagi mereka, aksi grafiti itu bukan sekadar coretan.
Namun lebih dari itu merupakan pesan moral yang bisa terus menggema di ruang publik.
"Hadapi bersama. Tidak ada yang takut. Kalau ada tulisan 'Awas Intel' kemudian dihapus berarti memang ada yang tersinggung. Kalau mural dihapus, sejarah dan komunikasinya juga ikut hilang. Padahal isu ini nasional, musuh kami adalah DPR, bukan polisi. Tapi karena polisi jadi tameng, represif, memukul, menculik, ya kami tersinggung," ungkapnya.
Meski begitu, para seniman belum memutuskan apakah akan membuat karya baru dalam waktu dekat.
Mereka memilih melihat situasi, mengingat wajah mereka sudah banyak difoto saat kejadian.
Mereka sudah berkoordinasi dengan lembaga bantuan hukum (LBH).
Hal itu dilakukan agar posisi mereka lebih kuat. Di tengah tekanan, Kinky menegaskan mereka akan terus bersuara.
"Kalau kalian tidak menyenggol kami, kami tidak akan turun ke jalan. Tapi ketika ada yang berusaha membungkam, kami tidak akan tinggal diam. Kami pekerja seni, dan seni adalah suara rakyat," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi