- Sandwich Generation menjadi persoalan yang sedang dihadapi sejumlah anak muda
- Sejumlah layanan konseling keluarga ikut ramai menerima klien
- Beban yang dialami sandwich generation ini tak hanya finansial tapi juga mental
SuaraJogja.id - Fenomena generasi sandwich makin terasa di kalangan pasangan muda.
Mereka tidak hanya harus menghidupi diri sendiri dan keluarga sendiri, tapi juga menanggung biaya hidup orang tua yang sudah tidak produktif.
Belum lagi beban itu ditambah dengan adik atau anggota keluarga lain yang belum mapan.
Situasi serba tanggung dan menjepit inilah yang membuat layanan konseling keluarga di Pusat Layanan Keluarga Sejahtera (Satyagatra) di Jogja kian ramai didatangi.
Baca Juga:Perdana Arie Veriasa Ditangkap Polda DIY, BEM KM UNY Tuntut Pembebasan, Ini Alasannya
Tak sedikit pribadi maupun pasangan muda datang untuk berkonsultasi, baik secara langsung maupun lewat fasilitas daring.
Di DIY, pola serupa juga tampak hingga ke tingkat kabupaten/kota dan bahkan kapanewon.
Melihat kebutuhan yang terus tumbuh, Perwakilan BKKBN DIY menggelar pembekalan bagi pengelola Satyagatra dari tingkat provinsi hingga kapanewon.
Ketua Tim Kerja KSPK Mustikaningtyas menjelaskan, tujuan pembekalan itu agar para konselor bisa lebih peka memahami akar persoalan yang dihadapi generasi sandwich.
"Tujuan kegiatan ini adalah agar dengan memahami penyebab timbulnya generasi dan upaya mengatasinya, para konselor dan pengelola Satyagatra dapat memberikan advis saat memberikan konseling," kata Mustikaningtyas, dikutip, Rabu (1/10/2025).
Baca Juga:UMKM DIY Menjerit, Kebijakan Tak Efektif? DPRD Janji Evaluasi Mendalam
Persoalan Pelik Generasi Sandwich
Beban generasi sandwich, menurut para ahli, bukan hanya soal finansial.
Melainkan ada sisi mental yang juga terkuras.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Reny Yuniasanti memaparkan hasil penelitian yang menunjukkan tekanan psikologis yang nyata.
"Situasi yang dialami generasi sandwich menimbulkan dampak tidak hanya beban ekonomi, melainkan juga menimbulkan gangguan psikologis," kata Reny.
Ia menyebutkan, 73 persen responden mengaku merasa bersalah jika tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga.