Harus Sediakan 1.000 Ton per Hari, Pengolahan Sampah jadi Energi Listrik di Jogja masih Dilematis

PSEL di DIY terhambat syarat pasokan sampah min. 1000 ton/hari selama 30 tahun. Kontrak panjang bertentangan dg prinsip 3R. DIY timbang opsi biomassa/RDF dan mandiri kelola sampah.

Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 02 Oktober 2025 | 17:27 WIB
Harus Sediakan 1.000 Ton per Hari, Pengolahan Sampah jadi Energi Listrik di Jogja masih Dilematis
Ilustrasi pengolahan sampah yang menjadi tenaga listrik. (Ai.Google)
Baca 10 detik
  • Upaya DIY mengubah sampah menjadi energi listrik terancam pupus
  • Hal itu lantaran syarat untuk menyediakan 1.000 ton per hari tidak bisa stabil
  • Sejumlah wilayah di DIY sudah mandiri dalam mengolah sampah mereka

SuaraJogja.id - Di tengah persoalan darurat sampah, rencana pembangunan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) nampaknya masih menemui jalan terjal.

Bilamana tidak, ada sejumlah syarat yang diminta pemerintah pusat pada Pemda DIY maupun kabupaten/kota yang dilematis.

Sekda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti menyatakan, dalam pertemuan antara Pemda DIY dengan pusat pada Selasa (30/9/2025), ada sejumlah kriteria yang harus ditaati untuk merealisasikan program PSEL.

Salah satunya Pemda DIY harus mampu menyediakan sampah minimal 1.000 ton per hari selama 30 tahun ke depan.

Baca Juga:Sampah Sleman, Sisa Makanan jadi 'Biang Kerok', TPST Baru Terhambat Izin TKD

Syarat itu wajib dipenuhi karena pembangunan PSEL melibatkan PLN maupun investor.

"Positifnya, semua sampah bisa langsung masuk ke pengolahan energi listrik tanpa perlu dipilah-pilah lagi. Tapi konsekuensinya berat, karena daerah harus berkomitmen menyiapkan pasokan sampah dalam jumlah besar setiap hari selama tiga puluhan tahun diatas 1.000 ton per hari secara konsisten," ungkapnya.

Menurut Made, berdasarkan data, produksi sampah dari tiga wilayah utama di DIY memang bisa mencapai angka tersebut 1.000 ton lebih per hari.

Sebut saja Kota Yogyakarta yang menghasilkan sekitar 300 ton per hari, Sleman 400 ton dan Bantul 700 ton.

Jika digabungkan, totalnya mencapai lebih dari 1.400 ton per hari.

Baca Juga:Di Acara SMEXPO, Darurat Sampah Yogyakarta Jadi Sorotan Pertamina Foundation

Namun angka itu belum sepenuhnya stabil karena selama ini Sleman dan Bantul hanya menyumbang setengah dari total sampah yang dihasilkan ke TPA Piyungan.

Sisanya mereka kelola sendiri dalam berbagai program pengolahan sampah.

"Kalau digabung, sebenarnya bisa memenuhi syarat. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Masing-masing daerah sudah punya cara pengelolaan sendiri, misalnya RDF, incinerator, atau program pemberdayaan masyarakat dalam pengurangan sampah. Jadi tidak bisa langsung dilebur begitu saja," ujar dia.

Kontrak 30 tahun dengan skema penyediaan sampah minimal 1.000-1.200 ton per hari, lanjutnya memang menjadi kendala tersendiri.

Pasalnya, tren pengelolaan sampah saat ini justru mengarah pada pengurangan volume melalui prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Jika DIY justru diwajibkan menyetor sampah dalam jumlah besar, maka akan terjadi kontradiksi dengan kebijakan pengurangan sampah yang sedang digalakkan di masing-masing kabupaten/kota.

Namun bila Pemda DIY menolak program PSEL, maka konsekuensinya pengolahan sampah harus dilakukan sepenuhnya secara mandiri.

"Jadi kalau kita ikut program ini, konsekuensinya adalah semua harus diarahkan ke listrik. Tapi kalau tidak ikut, kita harus mandiri mengatasi persoalan sampah dengan cara lain. Itu yang sedang kita timbang," kata dia.

Made menyebut, Gubernur DIY, Sri Sultan HB X juga meminta sampah diolah menjadi biomassa atau bahan bakar alternatif untuk industri semen.

Sultan tidak mau seluruh sampah di DIY djadikan listrik.

Dengan skema ini, daerah yang tidak mampu memenuhi 1.000 ton per hari tetap bisa ikut serta dalam program pengolahan sampah skala besar tanpa harus menanggung kontrak panjang yang memberatkan.

Karenanya kebijakan pengolahan sampah akan dibicarakan secara intensif bersama bupati/walikota dalam waktu dekat ini.

"Kalau semua diarahkan ke listrik memang sulit. Ada juga opsi RDF untuk bahan bakar semen, atau biomassa. Bahkan ada tawaran dari investor asing untuk mengolah plastik menjadi energi. Jadi opsi-opsi ini masih dalam tahap diskusi," jelasnya.

Made menambahkan, rencana pembangunan fasilitas PSEL baru ditargetkan bisa berjalan pada 2028 mendatang.

Sementara itu, keputusan apakah DIY akan bergabung dalam skema besar ini atau memilih jalannya sendiri masih menunggu hasil pembahasan lanjutan.

"Minggu depan kami akan duduk bersama dengan para kepala daerah untuk menentukan sikap. Intinya, ini peluang, tapi juga penuh konsekuensi. Kita harus benar-benar menghitung kekuatan dan kebutuhan daerah," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak