Jejak Sunyi Menjaga Tradisi: Napas Panjang Para Perajin Blangkon di Godean Sleman

Mbah Oden, 75, pelestari tradisi blangkon di Desa Beji, Sleman. Tradisi turun-temurun ini terancam regenerasi. Perajin berharap ada showroom dan dukungan pemerintah.

Budi Arista Romadhoni | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 01 Desember 2025 | 11:12 WIB
Jejak Sunyi Menjaga Tradisi: Napas Panjang Para Perajin Blangkon di Godean Sleman
Para perajin blangkon di Beji, Sidoarum, Godean, Sleman, Minggu (29/11/2025). [Suara.com/Hiskia]
Baca 10 detik
  • Khoirudin (Mbah Oden) adalah perajin blangkon 75 tahun di Desa Beji yang melestarikan tradisi sejak 1965, pernah melayani pesanan Keraton hingga artis terkenal.
  • Desa Beji merupakan sentra blangkon sejak 1970-an dengan sekitar 14 perajin yang kini menjual produk secara daring menjangkau pasar internasional.
  • Para perajin menghadapi tantangan regenerasi yang sulit serta mengharapkan adanya pendampingan pemerintah untuk hak paten dan pembangunan *showroom* bersama.

SuaraJogja.id -  Di sebuah sudut tenang di Desa Beji, Sidoarum, Godean, Sleman, tradisi membuat blangkon terus menyala. Meski api tradisi kian kecil tapi tetap dipelihara dengan penuh kesetiaan. 

Salah satu penjaga tradisi itu adalah Khoirudin, atau yang akrab dipanggil Mbah Oden. Usianya yang sudah menyentuh angka 75 tahun, tak menyurutkan semangatnya.

Hari-harinya masih ditemani kain batik dan bentuk-bentuk kerangka blangkon yang sudah ditata rapi. 

Perjalanannya dimulai sejak 1965 ketika Mbah Oden belajar dari pakdenya.

Di masa-masa awal itu, pesanan datang dari berbagai penjuru, termasuk dari Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan HB IX. 

"Dulu banyak yang pesan dari keraton," ucap Mbah Oden lirih, seolah mengingatkan bahwa masa kejayaan itu turut membesarkan namanya sebagai perajin blangkon.

Sebelum pandemi Khoirudin sempat memiliki delapan karyawan. Namun situasi berubah sehingga ia kembali mengerjakan semuanya seorang diri. 

Para perajin blangkon di Beji, Sidoarum, Godean, Sleman, Minggu (29/11/2025). [Suara.com/Hiskia]
Para perajin blangkon di Beji, Sidoarum, Godean, Sleman, Minggu (29/11/2025). [Suara.com/Hiskia]

Kini dalam sehari, ia hanya sanggup menyelesaikan dua blangkon. Namun baginya kualitas lebih penting daripada jumlah.

Pesanan besar tetap datang sesekali. Ia bahkan pernah membuat ratusan blangkon untuk pernikahan Raffi Ahmad setelah ajudannya datang langsung ke rumahnya. 

"Untuk nikahan [Raffi Ahmad], lupa tahun berapa tapi pesan 275, ya biasa aja sudah sering dapat pesanan, ajudannya datang ke sini," ungkapnya. 

Ia bahkan terpaksa menolak penambahan 40 pesanan sebab saat itu waktu yang diberikan terlalu mepet. Mulai dari perajin kecil di desa, produk blangkonnya sudah berkeliling nusantara bahkan menembus jauh hingga Suriname, Belanda, serta Jepang.

Silsilah Panjang dan Sentra yang Terus Bertahan

Desa Beji memang menyimpan sejarah panjang sebagai sentra blangkon Sleman sejak awal 1970-an. Tepatnya dimulai dari sosok Mbah Somo, perajin generasi pertama yang membuka jalan bagi anak-cucu meneruskan keterampilan ini.

Wawan, salah satu perajin lain menerangkan bahwa hampir seluruh perajin di Beji adalah keluarga besar yang mewarisi keahlian membuat blangkon. 

"Ini asli turun-temurun untuk blangkon di sini," ujar Wawan. 

Kini jumlah perajin blangkon di Beji ada sekitar 14 orang. Masing-masing bekerja dari rumahnya, dengan pola produksi yang mirip dan saling mengenal satu sama lain. 

Mereka memproduksi blangkon gaya Jogja Mataram, gaya khas yang tidak pernah berubah dari generasi ke generasi.

Dalam hal pemasaran, Wawan menjelaskan bahwa para perajin tidak hanya mengandalkan penjualan ke pedagang di Pasar Beringharjo. Namun kini dengan perkembangan zaman, mereka telah merambah penjualan daring. 

Dengan itu, blangkon Beji dapat menjangkau pemesan dari seluruh Indonesia, bahkan hingga ke negara-negara tetangga. 

"Kalau online itu sudah seluruh Indonesia," tuturnya.

Harga blangkon pun beragam. Dari Rp75 ribu hingga jutaan rupiah untuk blangkon berbahan batik tulis. Bahan baku mereka dapatkan dari berbagai sumber, mulai dari pembatik asli di Bantul hingga wilayah sekitar Keraton.

Regenerasi yang Tertahan di Tangan Waktu

Namun, di balik geliat usaha itu untuk tetap menjaga nyala api itu, tersimpan kegelisahan yang perlahan tumbuh. Para perajin sepuh mulai menua, sementara generasi muda masih ragu untuk meneruskan tradisi ini. 

Wawan mengungkapkan bahwa anak-anak muda di lingkungan perajin belum menunjukkan minat kuat untuk belajar. 

"Sementara belum ada yang mau belajar," ujarnya.

Beberapa di antara mereka memang sesekali membantu orang tua, tetapi belum ada yang benar-benar terjun sepenuh hati. Pola belajar pun lebih banyak hanya melihat dan meniru, tanpa proses formal yang dapat memastikan keberlanjutan tradisi. 

"Sebenarnya ada, cuma belum fokus," imbuhnya.

Kegelisahan lain yakni soal persaingan dengan perajin dari kabupaten lain di Yogyakarta yang kian ketat. Mereka perlu menjaga kualitas agar tetap bisa bersaing. 

Namun, dengan produksi terbatas dan modal yang kecil, langkah itu tidak selalu mudah. Omset perajin pun tidak stabil sebab akan bergantung pada pesanan pula.

Tradisi, Tantangan, dan Ketidakpastian

Para perajin blangkon di Beji, Sidoarum, Godean, Sleman, Minggu (29/11/2025). [Suara.com/Hiskia]
Para perajin blangkon di Beji, Sidoarum, Godean, Sleman, Minggu (29/11/2025). [Suara.com/Hiskia]

Warsidi, Dukuh Beji, memberikan gambaran yang lebih luas tentang dinamika kerajinan blangkon di desanya.

Ia menegaskan bahwa kerajinan membuat blangkon bukanlah tradisi baru. Melainkan warisan turun-temurun yang telah diwariskan sejak generasi leluhur.

Bahkan, dulu Beji merupakan satu-satunya sentra blangkon yang ada di Bumi Sembada. Sebelum akhirnya tradisi itu menyebar ke wilayah lain.

Warsidi menuturkan bahwa kunjungan dan pendampingan dari pemerintah atau pihak luar sangat penting bagi perkembangan perajin. 

Jumlah perajin memang banyak, tetapi kemampuan bersaing membutuhkan dukungan, terutama dalam pemasaran dan perlindungan karya blangkon buatan para perajin.

Langkah-langkah itu dapat memberikan perlindungan sekaligus meningkatkan posisi tawar para perajin di pasar yang semakin kompetitif.

"Disarankan untuk bisa memberikan hak paten karya blangkon yang ada di wilayah Beji. Jadi, untuk pemasarannya nanti, bilamana ada hak paten, bisa terlindungi secara undang-undang," ungkapnya.

Mimpi Bersama: Sebuah Showroom Blangkon

Di tengah berbagai keterbatasan, para perajin blangkon di Beji memiliki harapan tentang sebuah showroom bersama, tempat semua perajin dapat memajang karya mereka. 

Wawan mengatakan bahwa ide ini sudah lama dibicarakan dalam berbagai pertemuan. Meski belum pernah diajukan secara resmi kepada pemerintah. 

"Ingin punya showroom [blangkon] tersendiri," ungkap Wawan.

Showroom itu diharapkan menjadi ruang yang menyatukan semua produk blangkon Beji dalam satu tujuan. Termasuk memudahkan konsumen sekaligus mengangkat wajah Beji sebagai sentra resmi. 

Dengan begitu, perajin tidak harus bekerja sendiri-sendiri dalam memasarkan produk.

Ia berharap pemerintah kalurahan, kapanewon, dan dinas terkait dapat memberikan pendampingan lebih intensif. Selain showroom, bimbingan mengenai hak cipta hingga pemasaran digital juga menjadi kebutuhan yang mendesak. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak