SuaraJogja.id - Nama pelukis asal Semarang, Slamet Juniarto, menjadi perbincangan dunia maya dalam beberapa hari terakhir. Pasalnya, ia membongkar adanya kelompok warga yang membuat peraturan dan melarang nonmuslim tinggal di Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Setelah ramai diberitakan, Slamet akhirnya diperbolehkan tinggal di perkampungan tersebut.
Suara.com pun mencoba menggali kehidupan Slamet dengan menyambangi langsung rumah kontrakannya pada Kamis (4/04/2019). Lelaki berambut gondrong itu tinggal di kontrakan seharga Rp 4 juta per tahun bersama istrinya, Maria Florentina Priyati, dan keempat anaknya.
Slamet mengaku telah menetap di Yogyakarta sejak 2001. Meski telah berpindah rumah kontrakan sebanyak 14 kali, baru awal April lalu, ia mendapati pengalaman ditolak warga karena beragama Katolik.
"Saya sudah pindah ke mana-mana, sudah 14 kali sejak 2001. Tapi baru di sini ditolak," kata Slamet di rumahnya.
Baca Juga: Taklukan Ranking 12 Dunia, Kevin / Marcus Perpanjang Superioritas
Slamet mengaku telah mencintai dunia melukis sejak sekolah dasar. Awalnya, ia belajar secara autodidak dengan berbekal bakat yang ia peroleh dari neneknya, Samadi.
Slamet mulai mendalami bakatnya ketika sekolah di SMK St. Fransiskus, Semarang. Meski mengambil jurusan batik, ia terus melatih kemampuan melukisnya. Ia juga belajar membuat patung.
Dari keahliannya, sejak SMK ia sudah menghasilkan uang. Ia mulai menjual lukisan-lukisannya. Ia juga menerima order sablon bersama teman-temannya.
"Lalu nikah. Jadi saya jual lukisan untuk menikah," kata dia.
Slamet mengaku memiliki dua rumah, warisan dari kedua orang tuanya. Satu rumah ia kontrakan, sementara yang lain ditinggali sanak keluarga.
Baca Juga: BPN Klaim Pilot Pesawat Prabowo Subianto Ditekan Pihak Tertentu
Slamet memilih menjalani laku seninya di Yogyakarta. Ia merasa, apresiasi seni dan budaya di kota itu jauh lebih baik, begitu pula suasana persaingannya.
Pindahnya Slamet ke Yogyakarta meninggalkan banyak cerita. Ia menuturkan, ketika itu dirinya hanya memiliki uang Rp 200 ribu. Istrinya sempat menangis ketika ia hendak pergi ke Yogyakarta. Wajar saja, keduanya terbiasa selalu bersama.
Kepada sang istri, ia hanya meninggalkan uang Rp 25 ribu. "Sisanya saya bawa ke sini (Yogyakarta). Saya naik bus waktu itu Rp 8 ribu," kata dia.
Sesampai di Yogyakarta, ia pun mencari becak dan menyewa tempat tinggal. Uang yang tersisa tak cukup untuk membiayai kosnya yang hanya seharga Rp 65 ribu.
Slamet membuka lapak lukis di depan Gedung Agung. Selama sepekan, belum ada seorang pun yang memintanya melukis. Sementara uang di sakunya kian menipis.
Untuk mengobati pergumulan hatinya, Slamet pun berdoa dan meminta rezeki kepada Tuhan. Pagi harinya, seorang perempuan datang dan memesan dua lukisan sebagai hadiah untuk orang tuanya.
"Deal Rp 750 ribu. Saya nangis waktu itu," kata dia.
Keduanya lalu bertukar cerita. Mendengar kisah Slamet, perempuan asal Godean itu bersedia membayar uang muka 50 persen dan meminta Slamet pulang menemui istrinya.
"Jadi pagi saya dapat pesanan, sekitar jam 12.00 saya pulang," ujar Slamet.
Istri Slamet terkejut melihat kedatangannya. Siang itu juga, Slamet memboyong istri dan anaknya yang masih balita ke Yogyakarta. Kini, Slamet telah sekitar 18 tahun tinggal di Kota Budaya. Bersama para perupa Yogyakarta, ia sempat membuat Sanggar Arundaya. "Tapi masih berupa WA Group," kata dia.
Slamet menyenangi lukisan-lukisan realis. Namun, sesekali ia juga membuat lukisan ekspresionis maupun abstrak. Lukisan-lukisannya bernilai hingga Rp 50-60 juta. Banyak pembelinya berasal dari kalangan kolektor. Ia biasanya menyertakan sertifikat sebagai tanda keotentikan karyanya.
Slamet juga sering membuat lukisan berbau kebudayaan Indonesia dan lukisan bertema relijius. Karya paling berkesan adalah lukisan Barabudhura dan Parabrahman. Keduanya menggambarkan Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Untuk lukisan bertema relijius, ia tak hanya membuat gambar alkitabiah, namun juga kaligrafi Islam.
Dimulai dari sketsa wajah di pinggir jalan, kini ribuan karya Slamet telah tersebar di seluruh Indonesia. Dari kegiatan melukis pula, ia membangun jaringan di Yogyakarta.
Kontributor : Sri Handayani
Berita Terkait
-
Kisah Pelukis di Yogyakarta Ditolak Ngontrak Rumah karena Bukan Muslim
-
Salib Dipotong hingga Tolak Sedekah Laut, 4 Kasus Intoleransi di Yogyakarta
-
Melawan Hukum, Bupati Bantul Minta Aturan Larang Pendatang Nonmuslim Diubah
-
Kasus Slamet, Warga Kleret Khilaf Larang Pendatang Beda Agama Bermukim
-
Slamet Jumiarto Ditolak sebab Bukan Muslim, Setara: Stop Eksklusi Minoritas
Tag
Terpopuler
- Selamat Datang Penyerang Keturunan Rp 15,6 Miliar untuk Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- 5 Rekomendasi Mobil Tangguh Mulai Rp16 Jutaan: Tampilan Gagah dan Mesin Badak
- 5 Rekomendasi Mobil Bekas Tipe SUV Juni 2025: Harga di Bawah 80 Juta, Segini Pajaknya
- 36 Kode Redeem FF Max Terbaru 5 Juni: Klaim Ribuan Diamond dan Skin Senjata Apik
- 6 Rekomendasi Sunscreen Mengandung Tranexamic Acid: Atasi Flek Hitam & Jaga Skin Barrier!
Pilihan
-
5 Rekomendasi Mobil Kabin Luas Muat 10 Orang, Cocok buat Liburan Keluarga Besar
-
Indonesia Jadi Tuan Rumah Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026, Apa Untungnya?
-
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
-
Daftar 5 Sepatu Olahraga Pilihan Dokter Tirta, Brand Lokal Kualitas Internasional
-
10 Mobil Bekas Punya Kabin Luas: Harga di Bawah Rp100 Juta, Muat Banyak Keluarga
Terkini
-
Beda dari Tahun Lalu, Ini Alasan Grebeg Besar 2025 Yogyakarta Lebih Tertib dan Berkah
-
KPK Dapat Kekuatan Super Baru? Bergabung OECD, Bisa Sikat Korupsi Lintas Negara
-
Pemkab Sleman Pastikan Ketersediaan Hewan Kurban Terpenuhi, Ternak dari Luar Daerah jadi Opsi
-
8 Tersangka, 53 Miliar Raib: KPK Sikat Habis Mafia Pungli TKA di Kemenaker
-
Dapur Kurban Terbuka, Gotong Royong Warga Kauman Yogyakarta di Hari Idul Adha