Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Sabtu, 14 September 2019 | 04:30 WIB
Prosesi pemecahan dan pemindahan Watumanten. [Suara.com/Julianto]

SuaraJogja.id - Pemerintah terus berusaha menyelesaikan proyek jalur jalan lintas selatan-selatan di ruas Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meski proses pembebasan lahan hampir selesai dilaksanakan, kendala masih ditemui.

Kendala tersebut dialami saat proses land clearing di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop. Kepala Desa Semugih Sugiyarto mengemukakan proyek tersebut sempat terhenti selama sepekan akibat pelaksana proyek kesulitan meratakan batu sebesar backhoe kecil yang berada di Dusun Semampir.

Alat berat yang coba memecahnya tiba-tiba mati, padahal sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Kasak-kusukpun berkembang di padukuhan tersebut, perihal cerita mistis yang berkembang di balik keberadaan batu tersebut sehingga mengakibatkan batu tersebut tak bisa disingkirkan.

Bagi warga setempat, batu yang dikenal sebagai Watu Manten (Batu Temanten), memang disakralkan oleh warga sekitar.

Baca Juga: Proyek Jalan Jalur Selatan Jawa Timur akan Buka Daerah Terisolasi

"Kepercayaan kami cukup lama jika batu tersebut menyimpan cerita mistis bahkan kami anggap sebagai situs," tuturnya.

Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat Desa Semugih, di lokasi Watu Manten tersebut dulunya ada sepasang pengantin beristirahat dalam sebuah penjalanan. Ketika tengah beristirahat, sepasang pengantin yang baru menikah sekitar seminggu ini tiba-tiba ada batu cukup besar menimpa mereka berdua. Akhirnya, sepasang pengantin tersebut meninggal dunia tertimpa batu cukup besar tersebut.

Keberadaan batu tersebut lantas dilestarikan oleh warga sekitar dan bahkan sering ada warga yang melaksanakan ritual di batu tersebut. Selain itu, tumbuh dua pohon jati di atas batu tersebut yang disebut menyimbolkan keberadaan sepasang pengantin tersebut.

"Katanya batu dan pohon jati itu sudah ratusan tahun. Tapi pohon jatinya gedenya cuma segitu terus," tutur warga setempat Agus Sutoko.

Untuk menyingkirkan batu tersebut, pelaksana proyek berkonsultasi dengan tetua kampung di padukuhan tersebut. Akhirnya, melalui rembug warga, disepakati batu tersebut akan tetap disingkirkan.

Baca Juga: Kementerian PUPR Bangun Jalan Baru di Jalur Selatan Jawa

Namun, sebelum menyingkirkan, warga akan melakukan ritual khusus terlebih dahulu. Dalam ritual tersebut, mereka juga melibatkan pihak Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Tepat pada Kamis (12/9/2019), dalam kalender Jawa bertepatan dengan Kamis Kliwon menjadi hari yang disepakati oleh warga untuk pelaksanaan ritual tersebut.

Sedari pagi, warga beserta pelaksana proyek melakukan persiapan ritual untuk memindahkan batu tersebut. Berbagai rupa pun disiapkan sebagai pelengkap ritual tersebut di antaranya ingkung (olahan ayam utuh), nasi tumpeng, telur rebus, kelobot (kulit jagung), ikan lele dan kemenyan. Sepasang ayam jantan dan betina juga disiapkan di dalam sebuah wadah yang bernama Kiso (anyaman dari pelepah daun kelapa).

Prosesi pemindahan watumanten di Gunung Kidul. [Suara.com/Julianto]

Namun tetua kampung juga meminta agar adanya pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan lengkap dengan sanggulnya. Kedua pasang pakaian pengantin tersebut dipisahkan dalam wadah berbeda yang terbuat dari kayu. Ritual kemudian dimulai dengan melantunkan ayat-ayat suci Alquran.

Setelah selesai, serah terima pakaian pengantin tersebut kepada pihak desa. Konon rencananya pakaian pengantin tersebut akan disimpan oleh pemerintah desa sebagai 'Tetenger' (tanda) dan 'pengeling-eling' atau pengingat keberadaan Watu Temanten tersebut.

Selain itu, didahului dengan pembacaan doa, sepasang ayam jantan dan betina tersebut dilepaskan dari Kiso. Entah benar atau tidak, kedua ayam tersebut nampak gembira lepas dari Kiso dan keduanya juga nampak sangat akrab meskipun dua ayam tersebut dibeli terpisah sehari sebelumnya.

Tentu saja, peristiwa tersebut membuat warga mengaitkannya dengan cerita sepasang pengantin yang ada pada Watu Manten. Melalui pengeras suara, tetua kampungpun berpesan agar ayam tersebut tidak boleh ditangkap.

Wargapun mengamini dan timbul keyakinan di dalam benak mereka jika ayam ditangkap maka akan mendatangkan malapetaka.

Usai ritual selesai dilaksanakan, prosesi memecah batu Temantenpun mulai dilaksanakan. Namun, alat berat backhoe dan trailler terlebih dahulu dipasangi janur kuning. Dan aneh tapi nyata, usai dilakukan ritual, proses pemecahan watu manten dan juga pemindahannya berjalan sangat lancar. Hal ini tentu membuat warga semakin yakin dengan cerita yang selama ini berkembang.

Perwakilan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat GRM (Gusti Raden Mas) Hertriasning menuturkan Watu Manten merupakan tetenger yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dan cerita yang berkembang di masyarakat terkait keberadaan batu tersebut memang harus dihormati

"Sebenarnya batu ini bisa dipindah. Namun karena ini merupakan semacam situs maka disepakati untuk melakukan ritual sebelum dipindah," ujarnya.

Pihak keratonpun menginginkan agar batu tersebut tetap ada dan mungkin hanya digeser saja sebagai tetenger dari cerita rakyat tersebut. Karena batu tersebut merupakan kekayaan khasanah budaya di wilayah DIY yang harus dilestarikan.

Kendati telah selesai dipindah, muncul pesan baru di tengah masyarakat. Entah siapa yang memulai, namun kabar tersebut berkembang dengan cepat. Karena watu Manten tersebut lokasinya akan digunakan sebagai jalan, maka suatu saat nanti akan kembali memakan korban.

Sehingga warga sekitar mewanti-wanti jika jalannya sudah jadi maka nanti pengguna jalan ketika melintasi ruas tersebut harus hati-hati.

"Akhirnya Watu Temanten bisa dibego dikit demi sedikit tp tetep jaluk tumbal harap hati2 klau lewat jalur sana," tulis Susi, warga setempat dalam history media sosialnya.

Kontributor : Julianto

Load More