Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Kamis, 17 Oktober 2019 | 02:15 WIB
Seorang petani salak memperhatikan tanaman yang dirawatnya di perkebunan kawasan Sleman. [Suara.com/Uli Febriarni]

SuaraJogja.id - Musim kemarau kerap kali diidentikan dengan peliknya persoalan air yang dihadapi petani. Pun tak terkecuali yang dihadapi petani salak di Daerah Turi, Sleman, Yogyakarta.

Sigit Widianto, begitu nama salah satu petani salak yang rumahnya dikunjungi Suara.com pada Rabu (16/10/2019). Suasana mendung yang seolah memberikan harapan turunnya hujan, masih menggelayut di kawasan tempat tinggal Sigit.

Saat diajak berbincang, Sigit Widianto sedang asyik dengan asap rokoknya. Sembari duduk santai, cerita kemudian mengalir begitu saja. Sigit memperkirakan waktu panen akan terjadi pada November tahun ini.

Sekitar Maret 2019 lalu, angin puting beliung merusak tanaman salak miliknya. Tercatat, Kecamatan Pakem menjadi lokasi dengan dampak terparah dari bencana tersebut. Tapi, Kecamatan Turi yang menjadi bagian Sleman Utara juga tak lepas dari nahasnya.

Baca Juga: BMKG: Kemarau Diperkirakan Berakhir Pertengahan November

Bukan hanya efek puting beliung, di musim kemarau seperti sekarang, di kediamannya, Daren, Donokerto, Turi, pengairan susah. Kalau air bagus, masih bisa diatur.

"Cuaca sangat berpengaruh. Air hujan itu sama dengan pupuk," ungkapnya.

Mei dan November menjadi jadwal panen besar salak di Turi dan Pakem. Sigit menanam salak pondoh super, walaupun di desanya ada juga petani yang menanam salak madu, salak gading dan jenis lainnya.

Sepengetahuannya, bila sedang sedikit barangnya di pasaran seperti sekarang ini, harga salak cukup memuaskan. Bisa menyentuh Rp 10.000 per kilogram untuk salak ukuran besar dan Rp 7.000 - Rp 8.000 kilogram untuk campur (isi salak kecil, sedang, besar).

Sigit memang sedang menunggu cuaca dan pengairan di kebunnya membaik. Tapi di sisi lain, ia juga ketar-ketir dengan harga salak. Panen raya tak dipungkiri bisa saja menyebabkan harga salak terjun bebas. Ketersediaan buah berkulit keras itu tumpah-ruah di pasaran.

Baca Juga: Hadapi Kemarau, Embung Jadi Solusi untuk Mengairi Lahan

Ia masih ingat betul, beberapa tahun yang pernah dilalui sebelumnya. Panen raya tiba, petani Turi, Tempel, Pakem ramai-ramai memetik salak dari kebun mereka.

Menurutnya, harga ideal salak itu Rp 3.500 atau Rp 4.000 per kilogram. Tetapi di kala itu, pedih tak terelakkan. Harga salak hanya terpojok di kisaran Rp 2.000 per kilogram. Bahkan pada panen tahun lalu, ada petani rela melepas salak yang mereka rawat pada harga Rp 1.500 per kilogram, itupun dibayar utang. Bulan berikutnya baru dibayar oleh pengepul.

"Kalau petani itu pendapatannya hanya bergantung pada satu sawah atau kebun salaknya tok, bagaimana? Ya gak masuk. Biaya untuk sekolah anak-anak gimana?," tuturnya.

Sigit menjelaskan, usia tanaman salak punya usia maksimal 7-20 tahun. Semakin tua tanaman, panennya sedikit tapi buahnya besar-besar, kulit buah juga lebih tebal. Sedangkan tanaman salak muda, hasil produksinya banyak, hanya saja ukuran buah kecil-kecil.

"Kalau dihitung untung rugi ya sama saja," ujarnya.

Selama ini, salak dirawat dengan teknik tertentu agar produktif. Mulai dari pemupukan sekira setahun dua kali atau setahun sekali.

Diikuti selanjutnya pemangkasan pelepah, membersihkan tangkai paska panen untuk membantu penyerbukan.

"Supaya siklus panen tidak hanya setahun dua kali, paling tidak setiap saat ada buahnya," ucapnya.

Ditemui di lokasi berbeda, warga Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Darto mengungkapkan, di kampungnya sejumlah kebun salak sudah berganti menjadi tanaman lain. Ia tidak tahu pasti kapan fenomena itu mulai terjadi. Hanya saja, diperkirakan petani salak mulai beralih dari menanam salak ke jenis tanaman lain.

"Sukar sekarang jadi petani salak. Apalagi salak bukan hanya di Sleman, menjualnya agak susah," ungkapnya.

Hama di Kebun Salak

Berjuang menanam salak di Turi bukan hanya harus menghadapi musim kering, melainkan juga hama. Hama salak di Turi, bukan hanya ulat di musim penghujan, melainkan juga manusia.

Sigit Widanto menjelaskan, di musim hujan, kemunculan ulat bergantung pada kondisi kebun. Bila kebun bersih, maka ulat tak banyak. Bila kotor, bisa dipastikan ulat akan banyak muncul mengganggu salak. Dalam satu malam saja, ulat bisa menghabiskan sampai satu kilogram salak di pohon.

"Kita tidak tahu, makannya dari dalam. Tahu-tahu kulitnya busuk," kata dia.

Namun, ia mengungkapkan hama yang dihadapi, salah satunya adalah manusia.

"Ya eksportir nakal, tengkulak nakal," sebutnya.

Sekarang ini, petani salak butuh pendampingan terus-menerus dari pemerintah, tambahnya.

Bibit, pupuk tak banyak berguna bagi petani. Kalau setelah panen hanya ditinggal begitu saja.

"Harga murah (kami) dibiarkan," ujarnya.

Tak berhenti di sana, Sigit juga mengeluhkan soal peraturan penjualan bibit salak, yang sebetulnya menjadi masalah yang dibuat oleh pemerintah sendiri.

Beberapa tahun lalu ada aturan penjualan bibit salak yang diatur oleh pemerintah. Karena itu, di mana-mana, bahkan di luar Jawa bibit salak mudah ditemukan, harga salak Sleman jadi jatuh.

"Sebetulnya ada masalah penting, petani sulit memahami program pemerintah yang sebetulnya bagus. Dan PPL tidak tahu, gak mudengan (tidak paham) dengan program pemerintah yang lebih tepat untuk petani," ujarnya.

Baginya, kebijakan dan bantuan yang tepat dari pemerintah kepada petani akan membuat bantuan tepat sasaran. Tidak sia-sia dan buang-buang anggaran semata.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More