Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 17 Desember 2019 | 19:51 WIB
Puluhan Pengusaha yang tergabung di Paguyuban Pengusaha Malioboro Ahmad Yani (PPMAY) berkumpul di Balaikota Yogyakarta sebelum melakukan mediasi dengan Pemkot, Selasa (17/12/2019). [Suara.com/Baktora]

SuaraJogja.id - Wacana Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta menjadikan kawasan Malioboro menjadi kawasan full pedestrian menimbulkan reaksi berbagai pihak.

Puluhan pengusaha yang tergabung dalam Paguyuban Pengusaha Malioboro Ahmad Yani (PPMAY) menolak wacana rencana tersebut. Mereka bahkan mendesakan tiga tuntutan kepada Pemkot Jogja sebelum mengubah destinasi wisata tersebut menjadi kawasan pedestrian.

"Pertama, kami meminta pemerintah merealisasikan janjinya untuk menata kelompok pedagang Tri Darma dan Pemali. Kedua, kami menuntut agar Pemkot melengkapi infrastruktur berupa lahan parkir di sekitar Malioboro. Hal itu untuk menunjang kemudahan pengendara maupun wisatawan yang akan berbelanja. Jadi pembeli tidak harus parkir jauh seperti di Taman Parkir Abu Bakar Ali," kata Ketua Umum PPMAY Sadana Mulyono kepada wartawan pada Selasa (17/12/2019).

Tuntutan yang ketiga, lanjut Sadana, memberikan dispensasi khusus untuk warga yang tinggal di sekitar Malioboro dan pelaku usaha untuk mengakses jalan protokol tersebut ketika wacana diberlakukan.

Baca Juga: Puluhan Pengusaha Kukuh Tolak Malioboro Jadi Pedestrian

"Saat ini, kami menolak sebelum tiga tuntutan itu mampu direalisasikan pemerintah setempat. Karena saat uji coba penutupan Malioboro bebas kendaraan bermotor maupun saat Selasa Wage, pengusaha dan warga merasa dirugikan," katanya.

Pihaknya juga menilai, pemerintah seharusnya mengkaji ulang untuk menjadikan Malioboro full pedestrian. Pasalnya sejumlah akses jalan lain di sekitar Malioboro menjadi macet.

"Saya rasa wacana ini belum siap. Pemerintah harus banyak berbenah dengan rencana tersebut. Satu hari ditutup saja sudah membuat semrawut akses jalan lain seperti Jalan Mataram dan Jalan KH Ahmad Dahlan," kata Sadana.

Ia menambahkan jika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan pengusaha dengan pemberlakuan full pedestrian, seharusnya ada jam-jam tertentu agar dilakukan penutupan akses jalan iti.

"Saat ini budaya berbelanja masyarakat dan wisatawan di Malioboro ini sudah berubah. Sebelumnya hampir tiap jam wisatawan datang berbelanja. Seiring waktu berjalan, kawasan maloboro lebih hidup pada siang, sore dan malam hari. Artinya penutupan jalan atau rencana full pedestrian ini tak seharusnya dilakukan seharian penuh. Jadi ada waktu dimana kendaraan bermotor ini bisa melintas di Malioboro," kata dia.

Baca Juga: Banyak Sampah di Kegiatan Selasa Wage Malioboro, Sultan: Ngga Usah Sambat!

Sadana juga mengeluhkan, beberapa warga sekitar merasa kesulitan ketika jalan bebas kendaraan ini diberlakukan seperti saat Selasa Wage. Hal itu mengingat kendaraan yang boleh melintas hanya ambulans, Trans Jogja, mobil kedinasan, andong dan becak.

"Saat Selasa Wage contohnya, warga sekitar itu mengeluh karena harus berdebat dengan petugas Dinas Perhubungan (Dishub) untuk memastikan, jika mereka warga di sini. Karena beberapa warga harus mengantar sekolah anak dan salah satu akses paling mudah melintasi Jalan Malioboro ini," kata dia.

Sadana juga menjelaskan seharusnya ada dispensasi khusus kepada warga sekitar. Sehingga bukan hanya kendaraan kedinasan maupun ambulans yang diperkenankan melintas di jalan itu.

Diberitakan sebelumnya, puluhan pengusaha yang tergabung dalam PPMAY telah melakukan mediasi dengan Pemkot terkait rencana malioboro menjadi kawasan full pedestiran di Balaikota Yogyakarta, Selasa (17/12/2019).

Wacana tersebut terus digodok Pemkot Yogyakarta. Rencananya pada Januari 2020 mendatang, penataan mulai dilakukan pemerintah dengan menyasar terlebih dahulu ke PKL Malioboro.

Load More