SuaraJogja.id - Tidak sedikit masyarakat yang saat membaca berita atau cerita tentang virus corona penyebab COVID-19 tiba-tiba merasa tenggorokan nyeri, gatal, hingga meriang. Kondisi itu dapat disebut sebagai reaksi psikosomatik yang disebabkan oleh kecemasan seseorang.
Wabah corona di Indonesia masih menjadi perhatian banyak pihak. Hingga kini, kasusnya makin meluas di beberapa daerah. Pemerintah pun terus berupaya untuk menekan penyebaran virus corona melalui berbagai cara.
Salah satunya, terus mengimbau masyarakat untuk melalukan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), ditambah dengan pembatasan interaksi sosial secar alangsung, atau social distancing, hingga gerakan Work from Home (WFH). Namun kadang meski sudah menjalankan anjuran pemerintah, perasaan cemas, mual, hingga jantung berdebar secara tiba-tiba muncul, apalagi setelah membaca berita terkait corona.
Kondisi ini dimaklumi betul oleh Psikolog Edilburga Wulan Saptandari, yang merupakan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kepala Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi UGM.
Menurut Wulan, semua informasi terkait virus corona yang berseliweran di sejumlah media, lalu dikonsumsi oleh publik, akan selalu berpotensi memunculkan reaksi psikosomatik tubuh. Hal tersebut dikarenakan, memang tak semua orang mampu meredam kecemasan menghadapi bencana nonalam ini. Akibatnya, kesehatan jiwa mereka pun mulai terusik.
"Psikosomatis adalah kondisi di mana secara fisik sehat, tetapi merasa sakit. Di tengah wabah COVID-19 ini, tak sedikit orang yang tiba-tiba merasa hidungnya gatal, tenggorokannya nyeri, dan meriang walaupun ketika diukur, suhu tubuhnya normal. Hal ini merupakan hal yang wajar terjadi. Penyebab utamanya adalah kecemasan yang makin meningkat akibat paparan informasi mengenai meluasnya wabah COVID-19 ini," jelas Wulan, saat dihubungi SuaraJogja.id, Rabu (25/3/2020).
Ia melanjutkan bahwa dengan penerapan social distancing ini, banyak orang yang tidak bisa bertemu secara fisik dan kehilangan acara-acara sosial seperti minum kopi di kafe, arisan, ronda, atau bahkan sekadar duduk-duduk mengobrol bersama teman dan tetangga. Tak heran, kondisi ini kemudian menjadikan seseorang berteman makin akrab dengan gawai.
Sebagai masyarakat komunal yang sedang berada di tengah situasi krisis seperti ini, yang jika biasanya mendapatkan dukungan sosial dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial, social distancing itu membuat ada sesuatu yang menghilang dan tidak bisa digantikan hanya oleh komunikasi lewat gawai saja.
Wulan menambahkan, kini masyarakat juga mulai kehilangan kegiatan-kegiatan keagamaan. Artinya, tidak bisa salat di masjid, tidak bisa ibadah di gereja, atau yang lainnya. Sedangkan, bagi masyarakat Indonesia, aktivitas keagamaan yang dilakukan bersama mempunyai dampak pada aspek psikologis, sosial, maupun spiritual yang besar, sehingga ini bisa jadi membuat masyarakat makin cemas.
Baca Juga: Apa Itu Karantina Wilayah, RS dan Lab Rujukan hingga Cara Buat Disinfektan
Informasi yang makin bertebaran, lanjut Wulan, juga merupakan akibat yang terjadi karena masyarakat terlalu dekat dengan gawai. Sebagian besar masyarakat mendapat informasi mengenai penyebaran COVID-19 ini dari media sosial, mulai dari grup WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya. Mereka tak henti-hentinya memaparkan berita tentang COVID-19, yang kadang juga belum tentu benar.
"Penelitian yang dilakukan oleh Chan dkk (2016) menunjukkan bahwa di tengah situasi wabah penyakit, media sosial menimbulkan kecemasan yang lebih tinggi jika dibandingkan media tradisional [TV, surat kabar]," ungkap Wulan.
Ia menuturkan, salah satu cara penting untuk mengatasi kecemasan yang kemudian berakibat pada psikosomatis ini adalah dengan membatasi diri dari terlalu banyak informasi mengenai COVID-19, menyaring informasi yang masuk, dan memastikan mendapat informasi dari sumber yang benar.
Kemudian, kata dia, masyarakat juga perlu mengenali diri sendiri. Jika sudah merasa overwhelmed atau kelelahan dengan berbagai berita yang simpang siur, Wulan menyarankan untuk menghentikan semua kegiatan yang berkaitan dengan itu, mulai dari browsing hingga membicarakan topik mengenai wabah COVID-19.
Berita Terkait
-
Batuk Kering Menjadi Salah Satu Gejala Covid-19, Apa Tandanya?
-
Sama-Sama Sesak Napas, Apa Bedanya Gejala Asma dengan Gejala Covid-19?
-
Gejala Awal Hendry Saputra Sebelum PDP Corona: Demam hingga Susah Makan
-
Gercep Lawan Corona, Kodim Kulon Progo Semprot Tamu dengan Disinfektan
-
Risiko Tularkan Virus Corona Covid-19, Hindari Hubungan Seks "Bohemian"
Terpopuler
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
Pilihan
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
-
Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
-
Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
-
5 HP RAM 12 GB Paling Murah, Spek Gahar untuk Gamer dan Multitasking mulai Rp 2 Jutaan
-
Meski Dunia Ketar-Ketir, Menkeu Purbaya Klaim Stabilitas Keuangan RI Kuat Dukung Pertumbuhan Ekonomi
Terkini
-
Warga Jetisharjo Geger! Mortir Perang Dunia II Ditemukan Saat Gali Tanah
-
Banjir & Longsor Mengintai: Kulon Progo Tetapkan Status Siaga Darurat, Dana Bantuan Disiapkan?
-
Gunungkidul Genjot Pendidikan: Bupati Siapkan 'Dukungan Penuh' untuk Guru
-
DIY Percepat Program Makan Bergizi Gratis: Regulasi Bermasalah, Relawan Jadi Sorotan
-
Rebut Peluang Makan Bergizi Gratis: Koperasi Desa di Bantul Siap Jadi Pemasok Utama