Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Mutiara Rizka Maulina
Selasa, 09 Juni 2020 | 20:10 WIB
Supartono, pemilah sampah anorganik di Kelompok Usaha Pengelola Sampah (Kupas) Panggungharjo, Sewon, Bantul, menceritakan pengalaman saat diberitakan koran Australia setelah selamat dari badai salju, Selasa (9/6/2020). - (SuaraJogja.id/Mutiara Rizka)

SuaraJogja.id - Seorang pria berbaju merah tampak sibuk memisahkan botol plastik bekas dari tumpukan sampah lainnya. Pria bernama Supartono tersebut bekerja sebagai pemilah sampah anorganik di Kelompok Usaha Pengelola Sampah (Kupas) Panggungharjo, Sewon, Bantul.

Sudah satu tahun belakangan, Supartono bekerja di unit Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Panggung Lestari tersebut. Sebelumnya, Supartono menggelar lapak pengelolaan sampah pribadinya sejak tahun 2000. Sayangnya, usaha tersebut gulung tikar dan membuat Supartono harus bekerja di unit usaha milik orang lain.

Bekerja selama delapan jam untuk memilah sampah setiap harinya diakui Supartono sangat ia nikmati. Baginya, ia bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Supartono juga ingin melakukan pekerjaan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Supartono, pemilah sampah anorganik di Kelompok Usaha Pengelola Sampah (Kupas) Panggungharjo, Sewon, Bantul, menceritakan pengalaman saat diberitakan koran Australia setelah selamat dari badai salju, Selasa (9/6/2020). - (SuaraJogja.id/Mutiara Rizka)

"Pekerjaan yang saya lakukan hari ini selain bermanfaat untuk lingkungan, ke depannya juga bermanfaat untuk orang banyak," kata Supartono dengan senyum lebar di wajahnya pada SuaraJogja.id, Selasa (9/6/2020).

Baca Juga: Jeff Bezos Hanya Follow Satu Akun di Twitter, Tapi Tidak Difollback

Selama pandemi, Supartono tetap melaksanakan tugasnya. Ia menyebutkan bahwa sampah tidak memiliki musim, sehingga pekerjaannya tidak bisa terhenti sewaktu-waktu. Terkait pandemi, Supartono mengaku pasrah kepada Tuhan. Meski demikian, ia mengungkapkan bahwa tempatnya bekerja tetap menjalankan protokol kesehatan dan memberikan suplemen kesehatan.

Dalam setelan merah yang ia kenakan tersebut, ada kenangan dari masa lalunya yang sangat membekas dalam hidupnya. Pada tahun 1988 hingga 1998, Supartono pernah bekerja sebagai seorang awak kapal yang bertugas menjaga freezer tempat penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan dari laut.

Supartono bercerita, ketika muda, ia bercita-cita dapat berkuliah dan lulus sebagai seorang insinyur bangunan. Cita-cita itu sendiri ia dapatkan karena melihat ayahnya yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan. Rasa iba melihat kerja keras ayahnya membuat Supartono berkeinginan menjadi insinyur seperti Si Doel Anak Sekolah.

Sayangnya, kondisi ekonomi membuat Supartono hanya bisa memandangi teman-temannya yang kuliah di berbagai daerah. Rasa dendam akibat gagal duduk di bangku perguruan tinggi mengantarkan Supartono untuk bekerja sebagai seorang awak kapal.

"Saya itu dulu pokoknya pengin bisa nyari uang yang banyak untuk mengalahkan teman-teman yang bisa kuliah itu," tuturnya.

Baca Juga: Anak Lakukan Pemeriksaan Rontgen? Orangtua Wajib Tanya Ini ke Dokter

Selama menjadi pelaut, Supartono sudah berkunjung ke berbagai negara di dunia kecuali Rusia dan China. Sayangnya, langkah Supartono mengelilingi dunia terhenti ketika kapalnya berada di perairan Pulau Tasmania, Australia. Tiba-tiba kapal yang ia tumpangi diterpa badai salju di bagian lambung.

Load More