Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Mutiara Rizka Maulina
Sabtu, 04 Juli 2020 | 16:51 WIB
Nur tengah menyemir sepatu di komplek kantor pemerintahan Bantul. [Mutiara Rizka M / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Profesi tukang semir sepatu hingga awal era 2000-an bisa dibilang masih mudah ditemui di jalanan kota-kota besar. Wilayah kota yang penuh dengan gedung perkantoran, banyak dihuni karyawan berpakaian rapi dan sepatu kulit yang mengkilat. Para tukang semir, biasa menjadi langganan mereka disela jam makan siang maupun waktu senggang lainnya. 

Saat ini, profesi tersebut sudah jarang ditemui di jalanan umum. Salah seorang tukang semir sepatu, Nur mengakui bahwa sudah jarang masyarakat umum yang menggunakan jasanya. Ia sendiri telah menggeluti profesi itu sejak tahun 2006 silam. Tepatnya, sudah 14 tahun ia memenuhi kebutuhan hidupnya dari kilau sepatu orang lain. 

"Ya sudah lama, sejak gempa itu. Sebelum gempa ya saya sudah nyemir sepatu," kata Nur sambil menyeka keringat di dahi. 

Sekarang, Nur bekerja menyemir sepatu dari kantor ke kantor. Setidaknya dari para pekerja kantor tersebut, Nur masih bisa menemui sepatu yang bisa ia sikat dan semir dengan peralatan sederhananya. Setiap satu minggu sekali, Nur berkunjung ke komplek gedung induk parasamya kantor Bupati Bantul

Baca Juga: Tak Pakai Masker di Jogja Siap-siap Kena Sanksi Denda

Ia biasa datang pukul 11:00 WIB dan langsung menuju masjid. Sambil menunggu persiapan sholat dzuhur, Nur mulai menyemir alas kaki para jamaah yang datang.

Selain membuat sepatu kulit lebih mengkilap, Nur juga membersihkan jenis sepatu lainnya dengan sikat dan air sabun. Setiap selesai menyemir, Nur akan menata sepatu tersebut secara berjajar. Selain rapi, pemiliknya juga akan mudah mencarinya. 

Ia tidak memasang tarif barang berapapun. Masyarakat bisa menbayar seberapa banyak dia akan dibayar. Biasanya, Nur akan meletakannya, lalu orang-orang mengisi sambil mengenakan sepatu yang susah mengkilap.

Tak jarang Nur menemui orang-orang yang tidak membayar jasanya. Meski begitu, Nur mengaku tidak merasa sedih. Baginya, ia bekerja sambil beribadah berbagi dan membantu masyarakat lainnya. 

"Ya gapapa, orang kan beda-beda, mungkin pas lagi kosong uangnya. Kerja sambil ibadah aja," ungkap Nur menghibur diri. 

Baca Juga: Masjid di Jogja Kembali Dibuka, Kemenag Sebut Baru 60 Persen Kantongi Izin

Selain tak dibayar, Nur juga pernah dimarahi pemilik sepatu yang alas kakinya tak mau disentuh. Dalam sehari, Nur bisa menyemir antara 25 hingga 30 sepatu, dengan pendapatan berkisar Rp 40.000 hingga Rp 50.000.

Setelah dipotong operasional seperti bensin dan makan, sisa uang Nur perharinya antara Rp5.000 hingga Rp15.000. Sisa uang tersebut kemudian ia kirim ke keluarganya di Magelang. 

Di Yogyakarta, Nur tinggal seorang diri di sebuah kamar kos berukuran 3x3 meter seharga Rp 250.000. Akibat adanya wabah corona, Nur sempat tak bekerja selama satu bulan. Bahkan, ia pernah dalam sehari bekerja hanya menerima Rp 5.000 saja. Tidak memiliki mata pencaharian lainnya, Nur bertahan hidup dengan berhutang pada tetangganya. 

Load More