Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Fitri Asta Pramesti
Jum'at, 10 Juli 2020 | 13:50 WIB
Robertus Robert, Sosiologi UNJ

SuaraJogja.id - Keberlanjutan bias urban dan kemiskinan desa yang permanen telah melahirkan ketidaksetaraan desa dalam relasinya dengan kota.

Hal tersebut disampaikan oleh Sosiolog UNJ Robertus Robert dalam Kongres Kebudayaan Desa pada Jumat (10/7/2020), menggarisbawahi tentang ketidakadilan spasial yang terus membayangi desa.

Dalam bias urban, Robert menjelaskan hal ini sebagai suatu fenomena praktek kebijakan yang dikriminatf, lebih menguntungkan kota ketimbang desa.

"Mendorong pembangunan cenderung di wilayah urban, menyebabkan orang kota cenderung lebih cepat dalam mencapai kesejahteraan dibanding orang desa," ujar Robert.

Baca Juga: Hadapi Pandemi, Kepala BKKBN Sebut Pentingnya Membangun Ekonomi Keluarga

Ketidaksetaraan mengakibatkan tingkat kemiskinan di desa masih lebih tinggi jika dibandingkan di kota, di mana hal ini telah terjadi sejak tahun 1993.

Untuk itu, Robert menyebut bahwa teori tentang mengentaskan kemiskinan di kota akan secara tidak langsung menghapuskan kemiskinan di desa menjadi tidak relevan.

"Meskipun terjadi urbanisasi, banyak orang desa pergi ke kota, namun kemiskinan selalu berada di desa," sambungnya.

Ilustrasi pedesaan. (Pixabay/keulefm)

Ketimpangan juga dibentuk oleh pandangan-pandangan yang menempatkan desa berada di bawah kota.

Desa dipandang sebagai ruang yang tradisional, bergantung dengan alam, dan keadaannya selalu dianggap konstan dan stabil. Sementara, kota dianggap sebagai tempat kemajuan dengan segala perkembangan teknologi.

Baca Juga: New Normal Wabah Corona, WNA Boleh Masuk Indonesia

"Desa dianggap sebagai masa lalu dan kota dianggap sebagai cita-cita," katanya.

Robert juga menyorot bagaimana relasi desa dan kota dalam hal produksi dan konsumsi tak lagi saling mengisi karena adanya globalisasi dan intervensi perusahaan-perusahaan asing yang memutus hubungan desa dan kota.

Globalisasi menghambat desa dalam memasok hasil produksinya ke kota. Ia mencontohkan, bagaimana kota kini lebih bergantung pada produk-produk impor.

Menjawab problema ketimpangan dan ketidaksetaraan desa ini Robert mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menguatkan asosiasi-asosiasi politik di desa.

"Cara mendapatkan kesetaraan desa yang lebih luas adalah harus ada syarat politik yang dipenuhi yakni dengan membangun asosiasi-asosiasi politik yang terorganisir," bebernya.

Lembaga politik yang terorganisir akan membantu warga desa meningkatkan bargaining position-nya di mata kota atau negara. Membuktikan bahwa desa memiliki posisi yang kuat dan mandiri, alih-alih hanya bergantung pada kota.

Selain itu, desa perlu menjadikan dirinya sebagai life-space yang otonom dengan mengandalkan kedekatannya dengan alam. Menurut Robert, alam akan menjadi kekuatan tersendiri di masa mendatang.

Sekedar informasi, webinar Kongres Kebudayaan Desa yang digelar pada Jumat (9/7) berupaya mengumpulkan dan menawarkan ide tatanan baru Indonesia dari desa.

Desa sebagai satuan pemerintah terkecil di Indonesia, dinilai perlu menjadi titik awal untuk merumuskan tata nilai dan tata kehidupan baru dalam bernegara dan bermasyarakat.

Pun webinar ini diharapkan bisa memberikan gagasan tentang kebijakan dan budaya antikorupsi pada pemerintah serta masyarakat desa.

Load More