Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Senin, 13 Juli 2020 | 11:54 WIB
Puncak Gunung Merapi terlihat dari Sungai Gendol, Bronggang, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (3/5). [ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah]

SuaraJogja.id - Baru-baru ini Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) mengungkapkan adanya perubahan fisik tubuh Gunung Merapi, di mana terjadi penggembungan. Juru kunci Gunung Merapi Bekel Anom Suraksosihono pun membagikan pengamatannya terhadap gunung yang lama tertidur setelah meletus hebat pada 2010 itu.

Menurut laki-laki yang akrab disapa Mas Asih ini, gejala tersebut masih terbilang wajar. Ia mengungkapkan bahwa penggembungan hanya bisa terlihat jelas ketika diamati menggunakan peralatan.

“Kalau menurut saya masih biasa-biasa saja. Memang, kalau diamati betul pakai alat, keliatan jelas kalau ada penggembungan. Tapi kalau dilihat sekilas itu enggak begitu keliatan. Aktivitas gunung pun masih terlihat wajar,” kata Asih kepada Harianjogja.com -- jaringan SuaraJogja.id, Minggu (12/7/2020).

Walaupun begitu, Asih tetap menasihati warga setempat agar selalu waspada. Warga diminta untuk tidak lalai terhadap gejala apa pun yang muncul dari Gunung Merapi. Apalagi, saat ini informasi terbaru seputar aktivitas vulkanik Gunung Merapi lebih mudah didapatkan.

Baca Juga: Aktivitas Gunung Merapi Meningkat, Potensi Bahaya Ada di Kawasan Gendol

Selain itu, ia juga meminta kepada siapa pun untuk tidak takut atau panik. Di saat yang sama, kata Asih, warga juga harus mematuhi radius aman 3 km dari puncak Merapi. Nasihat tersebut ditujukannya pula untuk warga setempat yang sering mencari rumput di lereng Merapi.

Sejak dilaporkan terjadi penggembungan, belum ada perubahan status bahaya atau potensi terjadi bencana. Namun, pemerintah daerah Sleman justru sudah ancang-ancang dengan merancang ulang langkah mitigasi bencana yang sesuai dengan protokol kesehatan Covid-19. Ketika diminta tanggapan soal itu, Asih menyambutnya secara positif.

Dirinya menilai, saat ini masyarakat punya inisiatif lebih tinggi. Ketika muncul gejala vulkanis seperti asap atau getaran dari arah Merapi, warga tak perlu menunggu komando untuk menyelamatkan diri, kata Asih. Selain itu, masyarakat juga terbantu oleh wawasan lokal tentang pengamatan arah letusan.

“Kalau semisal dilihat dari sini arah anginnya ke barat, utara, atau timur, itu artinya aman. Nah, kalau arahnya ke selatan, masyarakat pun juga enggak perlu terlalu panik. Masyarakat yang penting tenang dulu, terus pelan-pelan menjauhi bahaya,” tutur Asih.

Kendati demikian, ia mengakui bahwa letusan hebat pada tahun 2010 menghasilkan trauma yang begitu mendalam bagi banyak warga. Akibatnya, ada juga warga yang lari begitu mendengar suara dentuman dari puncak Merapi.

Baca Juga: Tak Pernah Mandi, Suroto 10 Tahun Kurung Diri di Kamar Sejak Erupsi Merapi

Sebelumnya diberitakan, Kepala BPPTKG Hanik Humaida membenarkan bahwa memang terjadi penggembungan atau deformasi pada tubuh Merapi. Ia menyebutkan, deformasi memiliki dua konsekuensi: peningkatan potensi erupsi eksplosif atau timbulnya kubah lava. Namun, deformasi tidak menimbulkan peningkatan potensi terjadinya letusan besar.

Load More