Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Minggu, 23 Agustus 2020 | 15:18 WIB
Dwi Lestari salah seorang penggagas batik siberkreasi di Kampung Batik Manding, Gunungkidul saat ditemui, Sabtu (21/8/2020). [Kontributor / Julianto]

SuaraJogja.id - Sebuah tugu berbentuk tangan yang sedang memegang canting bantik menyambut sesiapa saja yang hendak memasuki kampung Manding yang terletak di Wonosari Gunungkidul

Tak hanya itu, setelah disambut dengan tugu berbentuk tangan sedang memegang canting, mata para tamu yang memasuki kampung ini juga akan dimanjakan dengan beragam mural bermotif batik di beberapa sudut tembok kampung. 

Ya, keberadaan kampung yang dijuluki sebagai kampung batik ini tak lepas dari sentuhan pasangan suami istri Guntur Susilo (47) dan Dwi Lestari (44).

Warga Padukuhan Kepek I Kalurahan Kepek Kepanewonan Wonosari, tergerak menghidupkan kembali tradisi membatik lantaran prihatin dengan nasib salah satu warisan budaya yang sudah diakui UNESCO tetapi justru perlahan tenggelam ditelan zaman.

Baca Juga: DIY Diterpa Angin Kencang, BMKG Beberkan Alasannya

Berangkat dari kegelisahan itulah mereka kemudian mencari cara agar batik dan segala filosofi yang ada di dalamnya bisa tersampaikan kepada generasi saat ini.

Keduanya pun lantas berpikiran untuk menggunakan teknologi sebagai acuan membatik. Mimpinya ia mulai dengan melakukan pemberdayaan ibu-ibu sekitar tempat tinggalnya. Keduanya lantas berusaha menciptakan Kampung Batik Siberkreasi.

Guntur Susilo salah seorang penggagas batik siberkreasi di Kampung Batik Manding, Gunungkidul saat ditemui, Sabtu (21/8/2020). [Kontributor / Julianto]

Guntur awalnya berniat memberi kegiatan ibu-ibu di kampungnya dengan mengangkat tema Batik Sebagai Bekal Kearfian Lokal di Era Digital. Menurutnya, batik dan internet memang sama-sama media.

Jika zaman dahulu nenek moyang membuat batik sebagai media penyampaian pesan-pesan moral kearifan lokal dengan filosofi harapan positif, namun akhir-akhir ini batik malah mengalami krisis.

Krisis yang ia maksud ialah, banyak orang melihat batik hanya berdasarkan warnanya yang cerah dan harganya yang murah. Hal ini membuat pasaran batik tulis anjlok, sedangkan batik printing terangkat.

Baca Juga: Danai Film Tilik, Disbud DIY: Potensi Filmmaker Jogja Sangat Kuat

Padahal sejatinya, batik tak hanya sekadar kain yang diberi motif, namun proses pembuatannya sendiri mengandung makna dan pembelajaran.

"Batik printing yang kini menggeliat di pasaran sebetulnya bukan batik. Namun hanya kain bermotif hasil cetakan dan bermotif batik, bukan handmade juga tanpa perintangan malam," ucap Guntur kepada SuaraJogja.com ketika menyambangi rumahnya, Jum'at (21/8/2020).

Semua motif batik sejatinya memiliki makna dan filosofi yang cukup mendalam. Bahkan pembuatannya pun memiliki pembelajaran hidup yang luar biasa seperti kesabaran, ketekunan, keuletan, ketelitian, fokus, keseriusan sehingga mampu menghadirkan karya yang rupawan.

Menurutnya degradasi batik ini juga terjadi pada internet. Di mana internet sebagai media pun ia nilai tengah memasuki masa krisis. Ketika tidak bijak menggunakannya akan terjebak dengan berita hoax juga ujaran kebencian.

“Oleh karenanya dari Kampung Batik Manding, kami ingin mencoba berusaha merevitalisasi batik dan internet agar kembali kepada makna dan fungsinya,” ujar Guntur.

Dengan harapan, di era kemajuan seperti saat ini, masyarakat khususnya kaum milenial mampu berpegang teguh dan mempelajari nilai-nilai kearifan lokal melalui motif batik.

Dari sinilah Kampung Batik Siberkreasi tercipta dan direspon positif oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara.

Bahkan pada 2 Oktober 2018 lalu, Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Republik Indonesia meresmikan Kampung Batik Siberkreasi di Kampung Batik Manding. Perpaduan batik di era digital itupun kemudian menjadi suatu yang khas di Kampung Batik Manding.

Guntur menyebut saat ini ada sebanyak 15 rumah yang menyediakan batik yang dikelola oleh koperasi.

Ia sendiri menggunakan koperasi dengan harapan tidak ada persaingan yang tidak sehat antara pembatik satu dan yang lainnya. Setiap akhir tahun Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan kepada ibu-ibu yang merupakan pembatik.

“Masing-masing rumah memilki desain batik yang berbeda tergantung pemiliknya, namun yang khas di Kampung Baik manding ini ialah motif Manding dan Wonopawiro,” beber Guntur.

Seiring dengan seleksi alam, kini hanya ada 2 Kepala Keluarga yang serius menekuni batik karena sebagian besar ibu rumah tangga di kampung tersebut menganggapnya tidak memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan. Sehingga batik hanya digunakan sebagai profesi sambilan.

Kendati demikian Guntur dan istrinya tak pernah berkecil hati. Keduanya kini justru disibukkan dengan kegiatan pemberdayaan berkaitan dengan batik di kalurahan-kalurahan lain yang ada di seluruh Gunungkidul.

Guntur mengaku bersama istrinya memang sudah melakukan gerilya ke kalurahan-kalurahan sejak tahun 2012 yang lalu.

Kini mereka berdua telah melakukan pemberdayaan batik di 14 Kelurahan yang tersebar di wilayah kabupaten Gunungkidul.

Bekerjasama dengan pemerintah kelurahan setempat, dirinya bersama istrinya melakukan pemberdayaan dalam rangka mempertahankan eksistensi batik yang sesungguhnya.

"biasanya saya diminta untuk membuatkan motif batik masing-masing kalurahan sesuai dengan ciri khas mereka," ungkapnya.

Guntur mengaku kini telah menciptakan setidaknya 14 motif batik dari masing-masing Kelurahan yang bekerjasama dengan dirinya. Motif batik yang ia ciptakan didasarkan pada sejarah perkembangan Kelurahan tersebut.

Salah satu sudut di kampung batik Manding Gunungkidul tampak dihiasi lukisan motif batik di dinding dan sebuah tugu berwujud tangan yang sedang memegang canting. [Kontributor / Julianto]

Jika tidak ada sejarah maka motif yang ia ciptakan akan menonjolkan produk unggulan Kelurahan tersebut.

Dia mencontohkan untuk batik sinuwun yang sengaja dia ciptakan untuk padukuan Jelok. Saat datang pertama kali ke desa wisata Jelok tersebut ia mempertanyakan sejarah perkembangan dari desa wisata tersebut. Namun karena tidak memiliki sejarah Desa jelok maka ia Lantas membuat motif batik sinuwun.

"Kebetulan di Desa Wisata Jelok ada menu andalah Gudeg Sinuwun, gudeg berbahan dasar jantung pisang dikombinasi dengan ikan kali. Saya kombinasikan semuanya menjadi motif Sinuwun," terangnya.

Sang istri Dwi mengatakan proses perjalanan dirinya dengan suaminya mencintai batik dan bertekad untuk mempertahankan batik memang cukup berliku.

Keduanya bahkan mengaku belajar batik secara otodidak setelah mendatangi berbagai lokasi sentra batik yang ada di seluruh Indonesia.

"Saya lulusan akademi sekretaris. Suami lulusan pariwisata, tidak nyambung memang," ujarnya.

Tahun 2010 yang lalu suaminya memutuskan keluar dari pekerjaannya menjadi honorer di pasukan pemadam kebakaran Gunungkidul yang telah dilakukannya selama 5 tahun. Keduanya lantas berkonsentrasi ingin mempertahankan batik sebagai warisan adiluhung nenek moyang bangsa Indonesia.

Melalui berbagai cibiran dan omongan orang lain yang tidak mengenakkan keduanya berusaha untuk mempertahankan prinsip mereka tersebut.

Ia bersama dengan suaminya tidak lagi memperdulikan omongan orang lain yang meragukan konsep mereka. Karena biasanya omongan orang lain tersebut selalu menyandingkan antara idealisme dengan ekonomi.

"Kalau pengen kaya sebenarnya dari dulu kita bisa. Pernah ada pihak yang ingin membeli desain suami saya dengan nominal tidak sedikit, dan setiap bulan minimal 4 desain. Tetapi suami saya tidak mau karena desain tersebut akan digunakan untuk batik printing,"kenangnya.

Kini perlahan-lahan karya keduanya mulai diakui oleh berbagai kalangan. Tahun 2018 yang lalu Guntur pernah terpilih menjadi salah satu juri dalam lomba desain batik yang dilaksanakan oleh salah satu produsen perlengkapan bayi terkemuka di Indonesia.

Menurut Dwi, kepuasan menekuni idealisme mereka berdua bukan sekedar ekonomi semata. Namun kini banyak memiliki saudara bahkan hampir di seluruh Gunungkidul.

Tak jarang warga Kelurahan yang mereka dampingi datang ke rumah nya untuk bersilaturahmi. Setiap saat banyak yang mengirimi mereka hasil bumi masing-masing Kelurahan.

"Banyak sedulur. Kita tidak punya ladang saja tidak pernah kesulitan pangan,"ujarnya.

Kontributor : Julianto

Load More