SuaraJogja.id - Sambil berteriak girang tiga anak kecil berlari-lari menyusuri jalan di kampung Mrican Rt 08/ Rw 22, Giwangan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta yang bersebelahan dengan selokan penuh ikan nila.
Tak seberapa jauh, mereka berhenti sambil menebar pelet yang dibeli di pintu masuk destinasi wisata Bendhung Lepen.
Di sudut lain sepasang muda mudi tampak asyik berswafoto dengan latar selokan yang dulunya kumuh tersebut.
Tak jauh dari tempat anak muda berswafoto, seorang pria berkaus kerah oranye terlihat sibuk menata gelas dan gerobak dagangannya.
Agus Susilo (43) merupakan satu dari sekitar 27 pedagang yang membuka warung usaha angkringannya di sekitar wisata Bendhung Lepen.
Ditemani pemuda berkaus hitam yang tak lain adalah anaknya, Yan Aditya Pradana Putra (26), Agus menyiapkan sejumlah minuman dan menata makanan yang dititipkan ke gerobak jualannya.
Agus merupakan salah seorang penggagas terbentuknya kampung wisata budidaya ikan nila di Kampung Mrican tersebut.
Ayah tiga anak ini tak menyangka jika tempat kelahirannya yang sebelumnya kumuh, berhasil disulap menjadi salah satu destinasi wisata pilihan masyarakat Yogyakarta.
Sambil menata makanan, Agus bersama anaknya menjawab pertanyaan yang diajukan SuaraJogja.id saat berkunjung.
Baca Juga: Ditanya Soal Tamu dari Jakarta di Jogja, Begini Jawaban Santai Zaskia Mecca
"Dulunya kawasan ini kumuh, jadi tidak diurus warga bahkan ada orang yang sengaja membuang sampah ke tempat ini," kata Agus sambil mengaduk kopi yang disuguhkan kepada pelanggan yang datang, Rabu (19/8/2020).
Tahun 1990-an, destinasi wisata yang bersebelahan dengan Kali Gajah Wong itu hanya sebuah tebing yang ditanami pohon pisang dan rumput-rumput liar. Selokan sepanjang lebih kurang 80 meter itu sudah ada sebagai irigasi sawah masyarakat di wilayah Bantul yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta.
Agus menerangkan, tidak ada pikiran masyarakat kala itu untuk memanfaatkan lahan tak terpakai tersebut untuk kepentingan bersama. Bahkan, lokasi berubah parah ketika Yogyakarta dilanda gempa pada 2006 silam.
Sejumlah tebing mengalami longsor, sebagian tanaman pisang mati. Selain itu, selokan juga tidak terurus, hingga menjadi kawasan kumuh.
Warga juga belum berencana memperbaiki, karena beranggapan lebih baik menata tempat tinggal yang terdampak gempa dahsyat. Kondisi seperti itu terbengkalai sampai 10 tahun lamanya.
Lantaran kumuh dan tak terurus lokasi tersebut kemudian menjadi tempat masyarakat sekitar membuang limbah rumah tangganya. Sampah pun berserakan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Rekomendasi Motor Matic untuk Keluarga yang Irit BBM dan Murah Perawatan
- 58 Kode Redeem FF Terbaru Aktif November 2025: Ada Item Digimon, Diamond, dan Skin
- 5 Rekomendasi Mobil Kecil Matic Mirip Honda Brio untuk Wanita
- Liverpool Pecat Arne Slot, Giovanni van Bronckhorst Latih Timnas Indonesia?
- 5 Sunscreen Wardah Untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Bantu Atasi Tanda Penuaan
Pilihan
-
Trofi Piala Dunia Hilang 7 Hari di Siang Bolong, Misteri 59 Tahun yang Tak Pernah Tuntas
-
16 Tahun Disimpan Rapat: Kisah Pilu RR Korban Pelecehan Seksual di Kantor PLN
-
Harga Pangan Nasional Hari Ini: Cabai Makin Pedas
-
FIFA Atur Ulang Undian Piala Dunia 2026: 4 Tim Unggulan Dipastikan Tak Segrup
-
Pengusaha Sebut Ketidakpastian Penetapan UMP Bikin Investor Asing Kabur
Terkini
-
Wajib Izin! Nasib Juru Parkir Pasar Godean di Ujung Tanduk, Apa Untungnya?
-
Beyond ATM: Cara BRI Proteksi Uang Anda di Era Perbankan Digital
-
Kritik Tajam MPBI DIY: Pemerintah Disebut Pakai Rumus Upah yang Bikin Buruh Gagal Hidup Layak
-
Pemkot Yogyakarta Targetkan 100 Rumah Tak Layak Huni Selesai Direnovasi Akhir Tahun 2025
-
Trah Sultan HB II Ultimatum Inggris! Ribuan Manuskrip Geger Sepehi 1812 Harus Dikembalikan