Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 16 September 2020 | 21:21 WIB
Ketua Kelompok Tani Lahan Pasir Manunggal Subandi - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Soeharsono menjelaskan, BPTP memperkenalkan beberapa teknologi, di antaranya ada pengolaan lahan air, varietas, tata kelola, seperti pemupukan, dan kelembagaan, atau pembentukan kelompok tani. Menurutnya, perkembangan yang ditunjukkan oleh kelompok tani lahan pasir ini sangat pesat.

Hal itu terbukti dengan kemampuan lelang hasil panen yang hampir bisa dilaksanakan setiap hari. Artinya, petani dapat menjual komoditas yang bahkan tiap hari harganya berubah.

Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta Soeharsono - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

"Para petani juga sudah melakukan kolaborasi dan terintegrasi untuk dapat membangun pasar, yang tidak hanya di lokal Bantul, tapi bisa ke luar Bantul, di tingkat provinsi hingga antar provinsi bahkan ada jaringan antar pulau. Artinya ini spesial karena memang komoditas pertanian di DIY itu kecil, tapi bisa dinamis, bisa memberikan produknya hingga ke berbagai daerah," ujar Soeharsono.

Soeharsono memaparkan bahwa kualitas hasil panen dari para petani lahan pasir ini lebih baik ketimbang di lahan sawah pada umumnya. Pasalnya, kualitas panen di lahan pasir memiliki kadar air yang lebih tinggi.

Baca Juga: Dongkrak Harga Cabai Merah, Petani Lahan Pasir Pesisir Bantul Gelar Lelang

Hal itu nanti akan menjadikan para petani mendapatkan bobot per kilogram dengan jumlah cabainya lebih sedikit dibandingkan dengan lahan sawah, ditambah juga menjadikan hasil panen di lahan pasir lebih awet untuk disimpan.

"Kalau cabai cepat rusak itu karena kadar airnya sedikit. Jadi memang untuk hasil panen baik cabai atau bawang merah di lahan pasir ini kualitas lebih baik," paparnya.

Soeharsono menambahkan, kesulitan teknis yang dihadapi pihaknya dan para petani sendiri hingga saat ini tidak terlalu dirasakan. Hal itu karena memang dulu pihaknya telah menimbun lahan pasir tersebut dengan tanah liat.

Tidak tanggung-tanggung, dulu dibutuhkan tanah liat yang mencapai 20 ton per hektare yang akan digunakan. Namun setelah semua itu terlewati, pihaknya mengakui tidak merasakan kesulitan secara teknis lagi.

"Dulu sudah sempat ditimbun dengan tanah liat. Nah, tanah liat sendiri tidak bisa habis, sehingga sekarang hanya perlu ditambah pupuk organik saja jika ingin menanam sesuatu. Kendala sekarang hanya di pasca panen karena tidak bisa mengendalikan harga cabai yang fluktuasinya tinggi," tandasnya.

Baca Juga: Lagi Asyik Foto, Seorang Pemuda Lenyap Terseret Ombak Pantai Selatan

Load More