Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 29 September 2020 | 15:35 WIB
Ilustrasi cover buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. [Ikbal Saputro / grafis SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Sebuah kamar berteralis besi tampak menyendiri di lantai satu Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta kala itu. Aroma menusuk hidung tercium begitu ruang yang mirip sangkar itu dibuka. 

Di dalam ruangan berukuran 4x3 yang nyaris tak pernah terjamah manusia itu terlihat bersemayam tumpukan koran-koran lawas berikat tali rafia. Sebagian ditumpuki rumah rayap, sebagian lainnya penuh kotoran hewan pengerat. 

Tapi siapa kira, di balik ruang yang berkesan angker itu, tersimpan nyanyian Lembaga Kebudayaan Rakyat yang konon disebut-sebut sebagai onderbow Partai terlarang PKI

Ya, di balik ruang dingin berpintu teralis itu, berbendel-bendel koran Harian Rakjat yakni harian politik bikinan PKI yang terbit di tahun 1950-an merekam secara intensif gerak dan geliat lembaga kesenian yang dikenal dengan akronim Lekra.

Baca Juga: Terdampak Tol Jogja, Sebagian Warga Tirtoadi Diminta Relokasi Mandiri

Bersumber dari tumpukan koran-koran usang itulah buku bertajuk Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, terbit. Namun, buku yang oleh sebagian sejarawan disebut sebagai produk alternatif yang mengungkap misteri Lekra itu sempat dibredel.

Menjelang akhir dekade Reformasi, buku itu disebut masuk dalam deretan buku terlarang untuk dibaca. Tapi, setahun kemudian, buku yang berisi sumber langka mengenai Lekra itu kembali diperbolehkan terbit.

Setelah 10 tahun, Suarajogja beroleh kesempatan untuk mengulik proses kreatif perihal penerbitan buku tersebut dengan dua penulisnya yakni Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan

Bermula dari Seabad Pers Kebangsaan

Tepatnya medio 2007, Rhoma memulai misinya untuk mengumpulkan seluruh tulisan dari koran Harian Rakjat. Bersama Muhidin M Dahlan, ia secara khusyuk mendokumentasikan tiap helai lembaran koran tersebut.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Jogja Hari Ini, Selasa 29 September 2020

Rhoma berkisah proses kreatif penyusunan buku Lekra tersebut bisa dibilang terjadi lantaran "kecelakaan".  Dirinya mengaku saat itu tak terpikir untuk merangkum belasan ribu tulisan koran Harian Rakjat di perpustakaan yang kini bernama Jogja Library Centre.

Ia mengaku disebut kecelakaan lantaran misi awalnya yakni mencari media untuk tugas menulis buku Seabad Pers Kebangsaan yang merupakan proyek yang dikerjakannya untuk lembaga periset IBokoe. Rhoma saat itu mengawali pencarian sumber bukunya di perpustakaan nasional (perpusnas) Jakarta. 

Terletak di lantai 9, suasana penyimpanan koran-koran lawas itu tampak gelap. Ia pun harus dibantu penerangan seadanya untuk mencari buku atau koran tahun 1900-an yang dibutuhkan.

Dalam proses pencariannya, dosen sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu melihat tumpukan surat kabar Harian Rakjat terbitkan PKI yang banyak mendokumentasikan kegiatan Lekra.

Sempat bingung mau diapakan, ia pun mulai mengumpulkan tumpukan Harian Rakjat tersebut. Dibantu Muhidin M Dahlan, di tengah tugasnya menyelesaikan buku Seabad Pers Kebangsaan, ia mulai merunut dan merangkum kembali potongan berita-berita berkait dengan Lekra.

Khusyuk di kamar terlarang

Karena keterbatasan waktu, Rhoma harus kembali ke Yogyakarta. Misi untuk merangkum surat kabar itu nyaris pupus. 

Namun sebelum kembali ke rumahnya pada waktu itu, ia mendapat informasi jika di Jogja Library Centre menyimpan koran yang sama.

Di kamar yang tak begitu luas dengan pintu berteralis besi yang terletak di lantai satu perpustakaan, Rhoma dan Muhidin melanjutkan misinya mengumpulkan sumber-sumber berkait Lekra yang terserak.

"Mulai dari situ, kami menulis ulang surat kabar ini. Memang bisa di foto copy namun saat itu alatnya tidak ada dan rawan jika koran usang itu harus di foto copy. Sehingga kami berinisiatif memotret sumber-sumber koran tersebut dan sebagian ditulis ulang saat di perpustakaan, ketika sampai rumah saya ketik lagi di laptop," ujar dia, Senin (21/9/2020).

Sejak pukul 08.00 wib ketika perpustakaan dibuka, Rhoma dan Muhidin langsung bergegas menuju ruang terlarang itu. Mereka berhenti ketika perpustakaan ditutup pada pukul 21.00 wib. Bahkan pada waktu tertentu mereka meminta izin hingga tengah malam.

Ilustrasi cover buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. [Ikbal Saputro / grafis SuaraJogja.id]

"Saya masih ingat ruangan itu baunya menyengat sekali. Koran-koran Harian Rakyat yang bertumpuk itu dipenuhi kotoran cecak hingga tikus. Rekan saya Muhidin sampai sakit lantaran tak kuat berlama-lama di ruangan tersebut," ceritanya mengingat proses pengumpulan data saat itu.

Ia mengaku proses pengumpulan sumber Lekra saat itu harus dilakukan berkejaran dengan waktu. Sebab, berdasar informasi dari pihak perpustakaan, berbendel-bendel koran yang terletak di kamar terlarang itu akan dibawa oleh Kejaksaan Agung ke Jakarta. 

"Kebetulan saat itu momennya pemerintah sedang gencar melakukan pengamanan terhadap segala hal yang berbau Kiri. Informasinya sih termasuk koran-koran harian Rakjat yang tersimpan di perpus daerah juga akan diambil ke pusat. Kami cuma punya waktu 3 hari untuk mengumpulkan semua sumber saat itu. Jadi pagi-pagi gitu sudah sampai di perpustakaan untuk menulis ulang. Akhirnya kami bagi tugas, saya menulis untuk bagian sastra, seni, ketoprak, wayang. Dan bung Muhidin di bagian lainnya," ujar dia.

Rhoma tak ingat betul tanggal dan bulan apa saat perintah menarik bebagai sumber beraliran kiri itu dilakukan. Namun memang benar, setelah tiga hari berlalu, sumber surat kabar tersebut sudah tidak ada lagi di dalam perpustakaan. Beruntung banyak lembar surat kabar yang telah diselamatkan dalam bentuk tulisan. Dari situ, Rhoma dan Muhidin mulai menyeleksi dan menjahit sumber yang ada jadi buku.

Dirangkai selama 1,5 tahun

Proses memindah ratusan ribu tulisan ke dalam sebuah buku juga memiliki cerita di baliknya. Dalam memberikan judul, Rhoma saat itu mendiskusikan dengan rekannya, Muhidin.

Pria yang lebih akrab disapa Gus Muh ini adalah yang memberikan judul buku. Lekra Tak Membakar Buku adalah judul yang disematkan di dalam buku itu diambil dari sebuah essay milik Gus Muh yang pernah diterbitkan di salah satu media ternama di Indonesia.

"Pada 2005 itu saya buat essay dan terbit di surat kabar Jawa Pos. Nah essay yang saya beri judul itu saya berikan ke dalam buku yang kami buat tahun 2008," terang Gus Muh saat ditemui di Museum Sonobudoyo, Rabu (23/9/2020).

Merangkum Harian Rakjat selama 1,5 tahun di dalam perpustakaan diakui Gus Muh tidak ada kendala seperti intimidasi atau ancaman. Pasalnya ketika itu masih dalam era reformasi dimana aktivitas masyarakat terkesan bebas.

Selama di perpustakaan mereka hanya menulis ulang surat kabar itu, tanpa membuat hal lain yang mengundang kecurigaan.

Perjalanan merangkai kliping Harian Rakjat menjadi sebuah buku tiba diujung misi yakni mencetak "harta karun". Karena tak ada kaitannya dengan tugas Seabad Pers Kebangsaan, mereka mencetak dengan dana pribadi.

Buku dipilih dengan bahan kertas buram. Selain itu huruf pada tulisan dibuat kecil pada kala itu. Alasannya untuk menekan biaya percetakan agar tak terlalu mahal.

Saripati dari ratusan ribu koran itu dicetak dan menjadi trilogi. Pertama Lekra Tak Membakar Buku, kedua Gugur Merah dan terakhir Laporan Dari Bawah. Dua buku terakhir berisi mengenai kumpulan cerpen dan puisi Lekra.

Sempat dibredel

Rhoma dan Gus Muh mengaku hasrat untuk menerbitkan buku berkait Lekra Itu sebetulnya lantaran hingga saat itu tak ada lagi sumber-sumber yang mampu memberi gambaran mengenai sosok Lekra.

Nyaris hanya segelintir sumber yang mengulasnya. Salah satunya yakni Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto.

"Hanya satu sumber Harian Rakjat saja, sengaja satu sumber tunggal, karena kami memberi bandingan wajah dari kaum yang memang dihilangkan. Kami beri corong-corong suara bisu untuk dilihat publik," tambah Gus Muh.

Namun nyaris kurang dari setengah tahun, buku terbitan tahun 2008 itu hilang di rak-rak buku. Tepatnya di tahun 2009, buku tersebut dibredel oleh pemerintah. Oleh Kejaksaan Agung kala itu, buku Lekra Tak Membakar Buku disebut sebagai salah satu buku terlarang.

Gus Mus mengaku ketika beberapa bulan dicetak dan disebar di sejumlah toko buku, Lekra Tak Membakar Buku disita oleh negara. Penulis mengetahuinya dari rekan wartawan yang memberitahu jika bukunya masuk dalam daftar "terlarang". Dua buku lainnya tidak masuk dalam pembredelan, sebab tak dicetak banyak.

"Awalnya cover buku menjadi polemik saat itu. Kemudian kami mengubah desain sampul buku yang awalnya terdapat lambang palu arit. Karena dipersoalkan, cover tersebut diganti dengan menutup lambang dengan desain gambar lainnya," terangnya.

Meski sudah dijawab dan mengganti cover, pemerintah tetap melarang buku itu beredar. Ketika itu tak hanya Lekra Membakar Buku saja yang disita, ada sejumlah buku lain yang dianggap berbahaya. Seluruhnya ditarik dari peredaran di toko buku di Indonesia.

Dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta, mereka mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan gugatan. Sidang dilakukan agar buku kembali dilegalkan. Setahun kemudian, tepatnya 2010, saat Mahkamah Konstitusi di bawah Mahfud MD, pelarangan dan pembredelan tersebut dicabut lantaran menyalahi konsitutis.

Riset Lekra macet

Menanggapi perjalanan Lekra Tak Membakar Buku yang nyaris dibungkam, Sejarawan Universitas Sanata Dharma, Baskara T Wardaya menilai bahwa dua pengarang tersebut cukup berani. Meski hanya bersumber pada satu sumber yakni Harian Rakjat, kedua penulis mampu menyuguhkan kepada publik apa itu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang cukup komprehensif.

Baskara menjelaskan, masyarakat saat ini sudah terlanjur memahami bahwa Lekra dianggap berbeda. Meleburnya lembaga ini ke PKI, membuat antusias masyarakat hampir tidak ada untuk menelisik lembaga yang bergerak untuk rakyat tersebut.

Kedua pengarang memang menunjukkan apa adanya dari sumber utama Harian Rakjat. Jika dianggap berbahaya, masyarakat harus lebih dulu membaca sehingga dapat menilai dengan sendirinya.

"Ini (Lekra Tak Membakar Buku) kan sebagai catatan sejarah, Rhoma dan Muhidin hanya mengatakan apa adanya. Mungkin karena saat itu orde baru, orang menjadi takut membicarakan buku ini," ujar pria yang biasa dipanggil Romo Baskara ini ditemui di kompleks Universitas Sanata Dharma, Kalurahan Maguwoharjo, Kapanewon Depok, Sleman, Senin (28/9/2020).

Sejarawan Universitas Sanata Dharma Baskara T Wardana. [Muhammad Ilham Baktora/ SuaraJogja.id]

Hingga era ini, penelitian yang kembali membahas terkait bagaimana Lekra dibentuk terkesan macet. Tidak ada kelanjutan yang menjadikan sebuah buku resmi seperti karya Rhoma dan Gus Muh. Namun bagi Baskara, artikel dan skripsi bisa saja dibuat namun tak banyak disebarkan.

Nyawa Lekra Tak Membakar Buku, sejatinya masih bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal itu menyusul kemunculan buku ini menjadi salah satu referensi yang bisa digunakan untuk melakukan penelitian.

Baskara tak menampik bahwa buku itu terkesan subjektif. Kendati begitu persoalan itu masih bisa didiskusikan kembali. 

Ia menambahkan, sumber lainnya saat ini masih bisa dicari namun sangat sulit. Contohnya anggota Lekra di era ini yang masih hidup, keadaan usia menjadi penghalang untuk memberi kesaksian.

Beruntung memang, rakyat Indonesia masih memiliki satu referensi yakni buku Lekra Tak Membakar Buku yang masih bisa dimanfaatkan. Baskara pun menilai penelitian yang akan mengembangkan sejarah Lekra dapat dimulai dari buku karangan Rhoma dan Gus Muh itu.

Dirinya juga berpendapat bahwa keberanian untuk kembali melanjutkan pembahasan Lekra adalah hal utama pada masa ini. Terlepas dari itu, ada sisi sejarah yang terkesan ditutupi. Masyarakat tinggal menilai untuk mengetahui kebenaran di baliknya.

Liputan khas ini ditulis oleh reporter SuaraJogja.id, Muhammad Ilham Baktora

Load More