Scroll untuk membaca artikel
Reza Gunadha | Hadi Mulyono
Sabtu, 17 Oktober 2020 | 21:32 WIB
Awak BPPM Balirung saat liputan turun ke lapangan. (Arsip BPPM Balairung)

Mendengar penjelasan Fahmi, Faza yang duduk di depannya spontan meluruskan apa yang diungkapkan pemimpinnya tersebut.

“Sebenarnya bukan dibredel, tapi kayak dimatikan untuk dibuat baru. Jadi tokohnya ini bernama Pak Daniel Dakhidae, kalau nggak salah dosen komunikasi. Itu dialihfungsikan karena istilahnya melawan bapak sendiri, melawan almamater. Topiknya kala itu menggantung Sutarji atau apalah itu,” sambung Faza mencoba meluruskan.

Berjalan mundur menyusuri masa lampau, Faza mengungkap adanya pembungkaman suara kritis mahasiswa yang kala itu selalu dibenturkan dengan alasan problem etis.

Padahal menurutnya, problem etis seharusnya tidak bisa dijadikan landasan untuk membungkam. Sebab, seringkali pihak pembungkam belum membaca tulisan yang dianggap bermasalah secara keseluruhan.

Baca Juga: Nadiem Terjunkan Mahasiswa Bidikmisi Bantu Siswa Belajar Dari Rumah

Di awal-awal penerbitannya, Balairung lebih banyak menelurkan tulisan artikel tema yang bukan bentuk tulisan jurnalistik.

Baru kemudian pada suatu masa lahirlah rubrik wawancara dengan beberapa ahli medio tahun 1988 atau 1989 untuk menyuguhkan artikel tema.

Kala itu, papar Fahmi, BPPM Balairung mulai berani mengangkat isu-isu teraktual di sekitar kampus, Jogja dan Nasional seperti saat ini.

November 1998, Balairung ikut andil dalam sarasehan pers mahasiswa yang melahirkan konsep pers komunitas dan pers wacana.

Sejak saat itulah, kedua konsep tersebut diimplementasikan ke dalam produk-produk jurnalistik BPPM Balairung hingga hari ini.

Baca Juga: Tolak Omnibus Law, BEM SI Geruduk Kawasan Patung Kuda

Majalah Balairung sebagai bentuk pers komunitas, dan jurnal ilmiah multidisipliner Balairung sebagai implementasi pers wacana,” urai Fahmi.

Load More