Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 20 Oktober 2020 | 18:40 WIB
Ratusan massa ARB menggelar aksi penolakak UU Omnibus Law di Bundaran UGM, DI Yogyakarta, Selasa (20/10/2020). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Usai aksi penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja  yang berujung bentrok pada Kamis (8/10/2020), Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) kembali menggelar aksi demonstrasi di Bundaran UGM, Selasa (20/10/2020) siang.

Tak berbeda jauh dengan aksi sebelumnya yang meminta UU Omnibus Law Cipta Kerja dicabut, ARB juga menawarkan kepada masyarakat untuk membangun pemerintahan dengan sistem Dewan Rakyat.

Demonstrasi dihadiri oleh ratusan aktivis baik dari mahasiswa, buruh, petani dan sejumlah pelajar. Sekitar pukul 13.20 wib massa datang dari arah timur, dengan diiringi mobil komando, massa ARB berorasi di Bundaran UGM.

Humas ARB, Revo menjelaskan bahwa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf saat ini sudah tak memperhatikan keadaan masyarakat. Negara yang semula didirikan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan, menentang penghisapan satu manusia terhadap manusia lainnya, sudah tak dilakukan.

Baca Juga: Jelang Aksi, Beredar Hoaks Surat Perintah Pengamanan Aksi Polresta Jogja

"Hari ini kami kembali mendengungkan mosi tidak percaya, DPR kali ini sudah tak berpihak pada rakyat. Terlihat bagaimana lahan hanya dimiliki segelintir orang. Rentang 2014-2019 tercatat 2.047 perampasan lahan warga oleh negara dan perusahaan pada sektor perkebunan, properti, pembangunan infrastruktur, pertanian, pertambangan dan kehutanan," terang Revo ditemui di Bundaran UGM.

Tak hanya itu ditengah pandemi Covid-19, banyak buruh yang terdampak. PHK massal terus mengalami kenaikan dan diperkirakan jumlah karyawan yang di PHK dan dirumahkan mencapai 15 juta orang. Hasil survei Asian Development Bank menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia terus melakukan pengurangan karyawan setiap bulannya.

"Pemerintah tak hadir di sini. Banyak buruh yang terdampak, melawan pun tidak digubris. Terlebih disahkannya UU Omnibus Law yang makin menyengsarakan masyarakat, termasuk buruh," kata Revo.

ARB juga menyoroti, isu gender, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin melonjak. Berdasar laporan yang diterima LBH APIK sepanjang Maret-April 2020, terdapat 33 kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga, 30 kasus kekerasan berbasis gender, delapan kasus pelecehan seksual, dan tujuh kasus kekerasan dalam hubungan pacaran, dan 97 kasus kekerasan seksual.

Ragam persoalan yang terjadi di saat ini dikarenakan sistem kekuasaan hanya menindas kehidupan masyakarat sepanjang sejarah Indonesia. Pasca proklamasi kemerdekaan, sistem politik senantiasa berubah, tapi selalu gagal merumuskan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat kecil. 

Baca Juga: Wajib Tahu, Ini 5 Kosakata Pergaulan Khas Bahasa Jogja

"Artinya tidak ada keterlibatan rakyat dalam merencanakan, memutuskan, hingga mengontrol keputusan yang menyangkut kehidupan dan penghidupannya. Oleh sebab itu segala kebijakan politik dan ekonomi yang dibuat oleh negara tidak pernah menyasar kepentingan dan kebutuhan atas kesejahteraan rakyat kecil," kata dia 

ARB melihat tatanan yang saat ini dipakai tidak bisa dipertahankan lagi. Rakyat membutuhkan sebuah tatanan masyarakat yang baru dan mampu menjadi jawaban atas ketimpangan di segala hal. 

Maka dari itu, ARB merumuskan beberapa prinsip yang menurutnya dapat diimplementasikan. Pendelegitimasian ini tidak hanya ditujukan pada persona yang berkuasa, tapi pada sistem. Artinya, perubahan harus dilakukan secara menyeluruh dengan merombak sistem yang telah lama bercokol di Indonesia dan terbukti tidak dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat kecil.

"Maka dari itu kami tawarkan transisi Dewan Rakyat. Karena DPR yang kami tahu saat ini tak mewakilkan sama sekali suara rakyat," ujar dia.

Humas ARB lainnya, Lusi mengatakan dalam program transisi menuju sistem Dewan Rakyat, pihaknya memberikan sejumlah masukan diantaranya, menghapus utang luar negeri. Mayoritas rakyat tentu menolak menanggung utang luar negeri yang dipergunakan rezim. bhal itu bukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat sama sekali.

"Kedua redistribusi kekayaan. Hal ini merupakan sesuatu yang krusial untuk perwujudan keadilan melalui pajak progresif 70% bagi orang kaya, sebab akumulasi kekayaan orang kaya berlangsung dengan cara memiskinkan mayoritas rakyat kecil," jelasnya.

Dalam transisi itu reforma agraria juga disoroti. Rakyat harus mendapat hal pengelolaan penuh. Termasuk peniadaan praktek monopoli lahan oleh segelintir pemodal.

Terakhir, aset asing dan swasta diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, dan juga mendukung perjuangan Hak menentukan nasib bagi bangsa Papua Barat.

Load More